Indonesia Raya Berkumandang di Pesantren
BAGI Belanda mengucapkan istilah Indonesia
saja, sudah merupakan kategori subversif, penggunanya bisa ditangkap menurut
undang undang kolonial. Tetapi ketika menjelang kemerdekaan Soekarno telah
mengutus para komponis untuk menciptakan lagu kebangsaan. Akhirnya karya
komponis muda WR Soepratman berjudul Indonesia Raya yang dipilih sebagai lagu
kebangsaan, karena benar-benar mewakili filosofi bangsa ini dan memiliki
heroisme sebagaimana yang dibutuhkan.
Tetapi ingat, saat lagu itu digubah, masih
zaman kolonial, maka lagu kebangsan itu dilarang. Tetapi karena itu sebuah
tuntutan dan harapan, maka secara diam-diam dipelajari dan menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat, tidak terkecuali kalangan pesantren yang saat itu merupakan
basis perlawanan terhadap kolonial. Lagu kebangsaan itu dengana sendirinya
sangat popular di kalangan ustadz dan santri. Tidak hanya menghibur, tetapi
juga mampu menggugah spirit perjuangan.
Setiap hari, menjelang pengajian, seluruh
santri pesantren Tebuireng Jombang bersama para ustaz menyanyikan lagu
Indonesia raya dengan hikmat. Kebiasan yang berjalan sejak 1935-an, bukan
perintah dari Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi ia membenarkan langkah para santri
itu. Toh mereka belajar sendiri dan menyayikan sendiri secara spontan. Lagi
pula berguna untuk memperkuat integritas kebangsaan dan semanagat perjuangan.
Tentu saja langkah subversif itu segera mendapat sorotan dari pemrintah
kolonial, teguran pun dilayangkan pada sang Kiai.
Karena tidak mungkin bagi Kiai Hasyim untuk
menghentikan dinamika perjuangan kaum muda itu, maka kebiasan tersebut
dibiarkan. Apalagi pesantren besar itu telah berpengalaman dalam menghadapi
serangan Belanda, dibakar pada tahun 1914, selain itu juga banyak diganggu
kegiatannya. Maka ketika mendapat teguran dari Belanda, pesantren itu tetap
menjalankan kegiatannya, karena dinilai sangat berguna.
Melihat keteguhan sikap pesantren itu Belanda tidak berhenti mengintai pesantren tersebut, berbagai gangguan dan ancaman dilakukan. Tetapi pesantren dengan pimpinan kiai kharismatik itu tetap berjuang melakukan perlawanan. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar