Bye Bye DPR
Ketika pada 2003 setiap parpol
harus menyusun daftar calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2004, Gus
Dur menyarankan saya tak ikut mendaftar untuk menjadi caleg. Sebab, kata Gus
Dur, saya tak cocok menjadi anggota DPR. "Pak Mahfud lebih cocok di bidang
penegakan hukum. Nanti kita usahakan Pak Mahfud masuk ke MA saja," katanya
ketika itu.
Gus Dur
juga menyarankan Alwi Shihab, Khofifah Indar Parawansa, dan A.S. Hikam yang
juga dari PKB tidak ikut menjadi caleg karena lebih tepat di lembaga non-DPR.
Tetapi, ketika itu, kami tetap menjadi caleg karena selain direkomendasi oleh
daerah, nanti masih dapat berpindah ke lembaga lain yang lebih tepat. Seperti
biasanya, Gus Dur tak memaksa. Menyetujui pilihan kami.
Interupsi
Celometan
Ketika
benar-benar terpilih sebagai anggota DPR, saya mempersiapkan diri dengan
serius. Buku-buku tentang parlemen, proses legislasi, teknik berargumen, teori
konstitusi, dan perundang-undangan saya siapkan untuk berlaga di DPR. Tetapi,
begitu dilantik dan mulai ikut dalam sidang-sidang DPR, saya agak
"shocked" karena apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa DPR seperti
"taman kanak-kanak" mulai terasa. Buku-buku bermutu yang saya siapkan
untuk berlaga di DPR tak ada gunanya karena tak diperlukan di sana. Pada
hari-hari pertama sidang DPR, saya punya kesan bahwa yang diperlukan adalah
keahlian celometan, rebutan ngomong tanpa arah melalui interupsi yang salah
kaprah.
Bayangkan,
sidang baru dibuka dan pimpinan baru memberikan pengantar sudah ada
teriakan-teriakan interupsi. Interupsi yang dalam teknik persidangan hanya
dipergunakan untuk meluruskan pembicaraan yang melenceng agar kembali ke pokok
masalah yang sedang dibahas ternyata dibelokkan menjadi alat celometan. Belum
ada pokok masalah yang dibahas sudah diinterupsi dengan berbagai hal yang remeh
temeh.
Bahkan,
menyebutkan interupsi pun banyak yang salah. Ada yang meneriakkan
"instruksi", ada yang meneriakkan "instrupsi", yang lain
lagi meneriakkan "intruksi". Bahkan, ada yang meneriakkan
"interaksi" tanpa kikuk. Kacaunya lagi, belum diberi izin bicara banyak
penginterupsi yang nyerocos berbicara. Kalau yang memimpin sidang kebetulan
Mbah Tardjo, saya agak terhibur juga karena politikus gaek asal PDIP itu bisa
berimprovisasi dengan ringan.
Misalnya,
ada adegan begini. "Interupsi pimpinan sidang, nama saya Sigit, nomor
anggota sekian...," kata sang penginterupsi. Mbah Tardjo merespons dengan
enteng. "Ono opo, Giiit," katanya. Setelah Sigit selesai berbicara
"bla bla bla", Mbah Tardjo kembali menjawab enteng. "Yo, wis tak
catet, mengko tak sampekne nang pemerintah, sopo ngerti dirungokne," kata
Mbah Tardjo disambut tepuk tangan peserta sidang.
Aneh
juga, ada anggota DPR yang menginterupsi anggota lain yang sedang menginterupsi
sambil mengatakan, "Harap jangan berpolitik dan mempolitisir masalah di
sini, ya." Padahal, di DPR memang tempatnya berpolitik dan memolitisasi
masalah untuk mencari keputusan politik.
Ada lagi
yang menginterupsi hanya untuk memberi tahu bahwa jepitan laundry di lengan
baju seorang pembicara belum dibuang. "Interupsi pimpinan sidang, harap
diingatkan kepada pembicara bahwa forum di DPR ini terhormat; itu yang sedang
berbicara jepitan laundry di lengan bajunya belum dibuang," katanya yang
juga disambut dengan tertawa riuh.
Serius
dan Bermutu
Tetapi,
sebenarnya tak semua anggota DPR bermutu rendah. Yang seperti itu mungkin tak
sampai 25 persen dari seluruh anggota DPR yang 550 orang. Sangat banyak anggota
DPR yang cukup bermutu dan bekerja sebagai wakil rakyat dengan baik. Hanya,
mereka tak bertingkah atraktif sehingga tak menarik untuk disorot media massa.
Itu saya
ketahui dari situasi di sidang-sidang komisi dan pansus di DPR. Sidang-sidang
di sana berjalan serius serta ditingkahi dengan adu argumen dan teori bermutu.
Mereka yang suka interupsi secara salah kaprah biasanya tak bisa berbunyi dalam
sidang-sidang komisi dan pansus yang serius dan bermutu itu. Sidang-sidang yang
serius itu sering sampai tengah malam, bahkan menjelang pagi.
Dalam
sidang-sidang yang serius tersebut, interupsi digunakan secara proporsional dan
biasanya orang yang suka interupsi dengan bekal pengetahuan yang pas-pasan tak
suka menginterupsi karena tak mampu membuat kontra argumen. Tetapi, suasana
serius yang seperti itu hampir tak pernah disorot media massa. Saya merasakan
bahwa pemberitaan media massa dalam konteks tersebut sering tidak seimbang.
Memang,
ada juga noda atas keseriusan dan mutu yang seperti itu. Yakni, isu politik
uang dalam pengambilan keputusan berbagai isu penting. Bau busuk tentang itu
memang menyengat, tetapi sulit membuktikan. Masalah yang seperti ini memang
harus dihantam habis dari berbagai penjuru, terutama oleh pers dan LSM.
Selamat
Tinggal DPR
Mulai
besok (1/4) saya pindah dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjadi
hakim konstitusi. Dengan segala kenangan manis dan pahitnya, saya mengucapkan
selamat tinggal kepada DPR. Selain bersyukur ke hadhirat Allah, saya berterima
kasih kepada Gus Dur yang telah meletakkan saya di tempat-tempat penting di
negara ini. Di negeri ini banyak orang pandai, banyak profesor, tapi tak banyak
yang beruntung seperti saya dalam berkarier.
Saya
akademisi yang dituntun Gus Dur untuk masuk ke tiga pilar negara demokrasi,
yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Saya direkrut ke ekskutif untuk
menjadi menteri saat Gus Dur menjadi presiden. Saya diantar masuk ke legislatif
untuk menjadi anggota DPR melalui posisi Gus Dur sebagai ketua dewan syura PKB.
Mulai besok (1/4) saya berkantor di lembaga yudikatif (MK) juga atas dukungan
Gus Dur. Kini saya akan berkhidmah di lapangan tugas yang baru.
Dimuat di
Jawa Pos, Senin, 31 Maret 2008
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar