Oleh:
Said Aqil Siradj
Harian
Kompas, Jumat, 12 Juli 2013
Waktu
terus berjalan. Sering orang merasakan betapa cepat hari berganti. Berganti
waktu, berganti pula segala hal. Usia bertambah, tubuh beralih rupa. Untung
atau malang mengikuti iringan waktu, saling menyapa. Tawa, gembira, sedih, dan
tangis berjalan menyandingi perjalanan waktu. Tak terasa pula, yang kita
kerjakan belum mencapai keinginan. Sehari semalam rasanya belumlah cukup
bergulat dalam amal.
Seorang
karyawan yang pagi hingga malam bekerja sekonyong-konyong tersadarkan betapa
rutinitas telah membuatnya kehilangan waktu senggang. Pengusaha yang banting
tulang memburu sukses sekonyong-konyong pula tersadarkan betapa hari-hari yang
ia lalui tak menyisakan waktu untuk melepas penat dan berkumpul bersama
keluarga. Menukil kata-kata Ali bin Abi Thalib, waktu bagaikan pedang.
Maknanya, siapa yang tak waspada dan tak mampu mengelola waktu dengan baik,
maka dia akan terpancung sendiri oleh cepatnya waktu berlalu.
Dalam
melesaknya perjalanan waktu itu, tak terasa kita akan berjumpa lagi dengan
Ramadhan. Ada penantian dan pengharapan. Bulan yang penuh kesak- ralan dan
keberkahan ini bolehlah diibaratkan sebuah "medan" yang penuh godaan
dan tantangan. Dan apakah kita berhasil memenangi pertarungan itu, ini yang
sejatinya perlu terus-menerus menjadi refleksi kita.
Pemaknaan
sakralitas
Nama Ramadhan yang berarti 'panas terik matahari' merupakan satu-satunya yang disebutkan dalam Al Quran surah al-Baqarah Ayat 18 yang berbunyi, "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk manusia". Sebutan untuk bulan Ramadhan pun berbilang nama, seperti syahrul najah (bulan keberuntungan), syahrul juud (bulan kedermawanan), syahrul quran (bulan Al Quran diturunkan), syahrul rahmah (bulan pelimpahan rahmat), syahrul shabri (bulan kesabaran), syahrul tilawah (bulan memperbanyak membaca Al Quran), dan syahrul Shiyam (bulan wajib berpuasa).
Sakralisasi
Ramadhan sesungguhnya telah terjadi sebelum kehadiran Islam di tanah Arab.
Dalam telaah Khalil Abdul Karim (2003), kalangan mutahannifin, yaitu penganut
tradisi agama hanif/Ibrahim, telah melaksanakan tradisi menyambut Ramadhan.
Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad, saban datang bulan Ramadhan akan
mengencangkan kain sarung (yang membelit pinggangnya) lalu bertolak menuju Goa
Hira untuk menyepi (khalwat) di sana serta memerintahkan masyarakat untuk
menjamu kaum miskin sepanjang bulan Ramadhan.
Dan di
bulan Ramadhan dititahkan bahwa setiap Muslim diwajibkan berpuasa sebulan
penuh. Benar, dari sisi pandang syariat, puasa sangat identik dengan
pengekangan lahiriah yang biasa diartikulasikan dengan "menahan diri dari
makan, minum, dan berhubungan dengan istri dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari". Hal ini dapat dirunut dari makna puasa secara
bahasa yang berasal dari bahasa Arab shama, yang berarti 'amsaka', yaitu
menahan, mengekang, berhenti, atau tidak bergerak.
Kata
shama ini juga merujuk pada aktivitas batiniah. Puasa juga bermakna menahan
hati dari berbagai hal-hal negatif yang bisa merusak jiwa. Dalam berpuasa
seorang Muslim sebenarnya dilatih menyinergikan antara dua eksistensi yang
berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah, sebab di dalam rohani kita terdapat
ide-ide kebaikan yang nantinya akan diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap
hidup keseharian.
Dalam
jagat rohaniah, manusia mempunyai beberapa ornamen, di antaranya adalah qalb
dan dlamir. Biasanya qalb diartikan dalam bahasa Indonesia dengan 'hati'. Akan
tetapi, makna sebenarnya bukanlah merujuk pada segumpal daging yang terletak di
dalam rongga tubuh manusia, melainkan lebih menunjuk pada sesuatu yang bersifat
rohani yang metafisik dan bukan jasmaniah. Qalb inilah yang sering juga disebut
sebagai mata hati, eye of heart, atau bashirah. Bashirah mempunyai potensi
melihat kebaikan dan keburukan. Bashirah adalah ruang dalam diri manusia yang
dapat memilah antara yang baik dan yang buruk. Bashirah merupakan alat
pendeteksi yang dianugerahkan Allah untuk manusia.
Apabila
bashirah hanya bisa melihat dan memilah antara yang baik dan yang buruk, maka
dlamir berfungsi memotivasi manusia berbuat kebaikan dan menjauh dari hal-hal
yang buruk. Oleh karenanya, dlamir juga dapat diartikan sebagai moral sehingga
jika dilihat dari sisi kualifikasi, konteks, dan batasannya, dlamir (moral)
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, dlamir ijtima'i, yakni moralitas yang
terbentuk karena lingkungan dan bersifat sosial. Di sini moralitas lahir sebagai
kesepakatan secara sosial. Kedua, dlamir qanuni, yaitu moralitas yang terbentuk
karena norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bersifat legal. Dan
ketiga, adalah dlamir dini, yakni moralitas berdasarkan petunjuk agama.
Nah,
puasa pada dasarnya merupakan pekerjaan dlamir, baik dlamir ijtima'i, qanuni,
maupun dlamir dini. Di dalam puasa terkandung berbagai macam aspek yang tidak
terbatas pada masalah keagamaan saja, namun juga norma dan sosial. Ketika kita
puasa dengan kesungguhan hati, hanya karena Allah, maka secara otomatis kita
telah ikut menjaga kestabilan lingkungan, keamanan, dan ketertiban. Karena
sebagai seorang yang menjalankan puasa (shaim), kita tidak akan melangkahkan
kaki dan mengayunkan tangan untuk hal-hal yang keji dan buruk.
Melampaui
rutinitas
Puasa Ramadhan jangan sampai sekadar menjadi simbol ibadah yang belum memberikan makna spiritual-transformatif. Ibarat orang yang pergi ke kantor saban hari, berangkat pagi pulang sore, sehingga sudah tidak "berasa" apa-apa, kecuali rasa lelah dalam berburu nafkah. Puasa Ramadhan setiap tahun datang sehingga akan memudahkan orang menjadikannya semata rutinitas dan banalitas. Yang dilakukan hanya itu-itu saja, tanpa ada peningkatan sikap dan perilaku yang lebih dahsyat. Perlu diingat bahwa setiap perintah agama pasti menyimpan banyak hikmah dan pelajaran bagi manusia. Karenanya, apa yang sering dinyatakan bahwa agama teralienasi dari pesan moral dan ajaran agama yang formal, janganlah sampai terjadi.
Kenyataan
sering berbalik-balik. Lalu banyak yang melihat dampak puasa belum ditumbuhkan
dalam kehidupan konkret. Buktinya, berbagai bentuk kezaliman terus merajalela,
korupsi masih menjadi kelaziman, kejahatan terus meningkat, kekerasan tetap
marak, dan proses dehumanisasi terus berlangsung dalam kehidupan.
Ajaran
Islam masih dipahami secara formalis-skripturalis. Ini merupakan
"jebakan" formalitas yang parsial sehingga belum mampu membangkitkan
spiritual umat dalam menghadapi kondisi riil masyarakat yang tengah dilanda
demoralisasi individual dan sosial ini.
Ada
hadis, "Banyak di antara umat Islam yang tidak mendapati apa-apa (hasil)
dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus". Di sini kita diingatkan bahwa
hakikat puasa adalah pengendalian diri, self control.
Seorang
mukmin yang tangguh pastilah terhujam sifat-sifat kebaikan, mahmudah, yang
menjadi modalitas untuk resistensi dan pengembangan diri. Dan juga, seorang
mukmin akan mampu memaknai waktu hidupnya untuk senantiasa berperilaku yang
lurus, menjauhi segala keburukan.
Nah, di
sinilah rutinitas puasa Ramadhan akan meraih makna transformatif yang dimulai
dari diri-pribadi ke masyarakat dan negara.
Said Aqil
Siradj
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Sumber:
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar