Kiai Hasyim Tegur Keputusan Hisab Menantunya
Di lingkungan pesantren dan Nahdlatul Ulama
(NU), banyak sekali ahli ilmu falak (astronomi). Memang biasanya seorang kiai
tidak hanya menguasai satu ilmu, tapi lebih, biasanya seorang generalis. Tidak
sedikit ulama yang ahli ketabiban, falak, dan kanuragan, bahkan itu menjadi
tradisi ulama pesantren.
KH Maksum Ali, Jombang, seorang ahli falak
yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak
untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi)
dan rukyat(observasi/melihat hilal)-nya sendiri. Pada suatu hari sesuai dengan
hasil perhitungannya, Kiai Maksum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri
yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu.
Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadratus
Syeikh KH Hasyim Asy’ari kaget. Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur,
“Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedug-an duluan?”
Mendapat teguran dari mertuanya itu Kiai
Maksum segera menjawab dengan tawadlu (hormat), “Ya, Kiai, saya melaksanakan
Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan, ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan.
Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga
segala,” gugat Kiai Hasyim, pendiri NU tersebut.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus
di-ikhbar-kan (diwartakan), Romo?” tanya Kiai Maksum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk
diri sendiri, dan nabuh bedug itu artinya sudah mengajak, mengumumkan kepada
masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya
pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih (iya) Romo,” jawab Kiai Maksum
setelah menyadari kekhilafannya. []
Mun’im DZ,
Diceritakan kembali dari KH Ghazalie
Masroerie, Ketua Umum Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar