Oleh: Said Aqil Siradj
Harian Kompas, Kamis, 27 Juni 2013
Beberapa hari menjelang kenaikan harga BBM,
saya menerima surel dari seorang warga asal Lumajang, Jawa Timur. Dia
menumpahkan segala unek-uneknya tentang kebijakan BBM di negeri ini.
Dia prihatin mengenai pengelolaan energi yang
merupakan salah satu masalah mendasar di negeri kita yang hingga kini
sepertinya masih centang-perenang sehingga dirasa belum mampu memenuhi
kebutuhan energi secara adil. Apalagi masih cukup banyak desa tertinggal dan
banyak yang, misalnya, belum mendapatkan pasokan listrik.
Tak cuma itu, dia juga mengungkapkan tentang
komunitasnya di Lumajang, tepatnya di Dusun Senduro, yang sejak 2010 telah
memanfaatkan kotoran ternak sapi perah untuk membuat biogas skala rumah tangga.
Dengan pasokan 80 kilogram kotoran dari 4-5 ekor sapi per hari yang
menghasilkan 2-4 meter kubik gas metan, komunitasnya bisa memberikan manfaat
kepada sejumlah keluarga miskin listrik untuk memasak dan penerangan selama 4-8
jam per hari.
Melalui upaya mandirinya itu, dia melayangkan
mimpi untuk mengembangkan energi alternatif dan produk turunannya, seperti
limbah biogas, bersama para santri dan pesantren di seluruh wilayah negeri.
Tulisnya, "Saya yakin multiflier effect ekonomi akan tercipta, kemandirian
akan didapat, mandiri energi, mandiri pangan, dan sejahtera dengan lingkungan
yang sehat."
Tentu saja, membaca keliatan upayanya itu
saya terharu sekaligus kagum. Sekonyong, saya jadi tercenung dan kian tersentak
betapa soal energi perlu menjadi kepedulian bersama. Saya bangga di negeri kita
ini ternyata sudah muncul kesadaran yang lantas dibuktikan dengan tindakan
kreatif oleh sekelompok kecil masyarakat dengan mengendap-endap, tanpa perlu
ekspos besar-besaran, demi mewujudkan apa yang diistilahkan sebagai
"kemandirian energi". Melalui sumber daya yang tersedia, mereka
mengolahnya menjadi energi yang juga merupakan energi ramah lingkungan.
Tegas dan transparan
Energi fosil yang terus dieksploitasi
dirasakan sudah tak banyak diharapkan. Semakin lama akan berkurang dan habis.
Sementara kebutuhan energi untuk berbagai bidang kehidupan semakin bertambah.
Pertambahan penduduk yang melesak tajam akan sangat berpengaruh terhadap asupan
energi.
Tampaknya kita pun sulit semata bergantung
pada kebijakan pengelolaan dan pendistribusian energi semisal BBM. Harga yang
fluktuatif karena disesuaikan dengan pasar akan rentan dari meroketnya harga
yang bisa membuat kelabakan masyarakat. Pengurangan subsidi BBM lantas menjadi
pilihan terakhir. Pertimbangannya demi mengurangi beban APBN yang sudah over
load dalam soal subsidi BBM.
Kerumitan yang dirasakan pengambil kebijakan
seiring dengan munculnya "rumor-rumor" yang beredar luas terkait
adanya "mafia minyak" atau "broker minyak", yang juga
menjadi salah satu pemicu naiknya harga BBM. Cara-cara mark up jadi kelaziman.
Bukan lagi rahasia, sekian lama masyarakat menatapi soal kebijakan yang
dipandang "miring". Impor minyak mentah mungkin saja logis karena
negeri kita sudah pada posisi net importer. Pasokan minyak dalam negeri sudah
tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara fakta lain,
batubara yang melimpah justru dijual sangat murah kepada negara asing.
Hal-hal seperti ini perlu mendapatkan
klarifikasi (tabayyun) secara tegas. Para pengampu kebijakan harus mau
buka-bukaan untuk menjelaskan tentang kebijakan energi yang oleh masyarakat
dilihat sebagai kontradiktif. Lebih dari itu, sudah waktunya melakukan langkah
konkret dalam memberantas segala penyimpangan terkait dengan pengelolaan
energi.
Bila hal-hal seperti itu tak tuntas
diselesaikan, jangan heran bila rakyat mudah terbakar saat ada kenaikan harga
BBM. Kenaikan BBM yang berdampak kenaikan harga komoditas lain akan selalu
memberatkan masyarakat—terutama kategori miskin, mendekati miskin, dan
berpenghasilan rendah—yang secara kuantitas berjumlah besar. Bolehlah
diistilahkan masyarakat yang ketiban susahnya, sedangkan mereka yang berada di
pusaran bisnis perminyakan tetap nyaman dengan limpah ruah fasilitas dan gaji
yang melangit. Lagi-lagi, negara wajib memberikan jaminan sosial (takaful
ijtima'i) bagi warganya secara berkesinambungan, bukan instan atau sporadis
seperti halnya BLSM yang hanya berumur empat bulan.
Komunitas tercerahkan
Kita masih beruntung ternyata di negeri ini
sudah tumbuh kesadaran—baik secara individu maupun komunitas—untuk mewujudkan
kemandirian energi. Mereka ini kelompok orang yang tak bergaji besar, bahkan
ada yang hidup pas-pasan, tetapi punya tekad besar dan ketelatenan luar biasa
untuk ikut berpartisipasi dalam urusan negara dan bangsa. Mereka tak terus
larut dalam teriakan kemarahan atau kepedihan akan beban hidup yang kian
mengimpit.
Berpikir global dan bertindak lokal! Itulah
pameo yang menjadi "energi" mereka untuk terjun berkreasi dan
berdedikasi. Dan, manfaatnya sungguh terasa bagi masyarakat sekitar.
Demikianlah kita saksikan civil society dalam
sosok komunitas-komunitas mandiri energi bangkit bermunculan. Kita ambil contoh
lagi komunitas Qaryah Thoyyibah di Salatiga yang berawal dari paguyuban petani,
kemudian mendirikan pendidikan alternatif. Komunitas ini tak mau menyebut
pendidikannya dengan "sekolah" karena mereka berpahaman bahwa sekolah
telah menjadikan anak didik tidak lebih baik dan kreatif.
Lewat pendidikan, komunitas ini juga telah
sekian lama mengembangkan energi alternatif dengan memanfaatkan kotoran hewan
dan manusia untuk memasak dan penerangan. Kata-kata tokoh penggiatnya yang
pernah saya dengar, "Kami sangat enjoy dengan cara mandiri energi. Biarpun
harga minyak atau gas elpiji naik, kami tak ambil pusing karena kami tak
bergantung semata pada negara."
Pesantren pun tak kalah gesit dalam
berpartisipasi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Pesantren sebagai
kapital sosial dan aset bangsa yang telah lama mewarnai pendidikan di negeri
kita berpotensi besar dalam kiprah ini. Ada pesantren, misalnya, yang sudah
memanfaatkan briket arang tempurung kelapa (biobriket) sebagai bahan bakar
pengganti minyak tanah dan gas elpiji. PBNU sendiri sudah melakukan
langkah-langkah untuk mendorong pesantren di lingkungan NU dalam rangka
kemandirian energi.
Pemerintah punya kebijakan konservasi dan
diversifikasi energi nasional. Pemerintah pun meluncurkan program Desa Mandiri
Energi sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan energi melalui energi
terbarukan dan sumber daya lokal. Ada juga program Keluarga Mandiri Energi
untuk mendorong setiap keluarga mampu memenuhi kebutuhan energi minimal 60
persen. Kebijakan ini tentu butuh partisipasi masyarakat yang berlanjut dengan
harapan melahirkan makin banyak insan-insan Indonesia tercerahkan, yang kreatif
dan mandiri, demi menuju Indonesia Mandiri Energi.
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU
Sumber: Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar