Senin, 01 Juli 2013

Kang Said: Menanti Insan-insan Mandiri Energi


Menanti Insan-insan Mandiri Energi

Oleh: Said Aqil Siradj

Harian Kompas, Kamis, 27 Juni 2013

 

Beberapa hari menjelang kenaikan harga BBM, saya menerima surel dari seorang warga asal Lumajang, Jawa Timur. Dia menumpahkan segala unek-uneknya tentang kebijakan BBM di negeri ini.

 

Dia prihatin mengenai pengelolaan energi yang merupakan salah satu masalah mendasar di negeri kita yang hingga kini sepertinya masih centang-perenang sehingga dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan energi secara adil. Apalagi masih cukup banyak desa tertinggal dan banyak yang, misalnya, belum mendapatkan pasokan listrik.

 

Tak cuma itu, dia juga mengungkapkan tentang komunitasnya di Lumajang, tepatnya di Dusun Senduro, yang sejak 2010 telah memanfaatkan kotoran ternak sapi perah untuk membuat biogas skala rumah tangga. Dengan pasokan 80 kilogram kotoran dari 4-5 ekor sapi per hari yang menghasilkan 2-4 meter kubik gas metan, komunitasnya bisa memberikan manfaat kepada sejumlah keluarga miskin listrik untuk memasak dan penerangan selama 4-8 jam per hari.

 

Melalui upaya mandirinya itu, dia melayangkan mimpi untuk mengembangkan energi alternatif dan produk turunannya, seperti limbah biogas, bersama para santri dan pesantren di seluruh wilayah negeri. Tulisnya, "Saya yakin multiflier effect ekonomi akan tercipta, kemandirian akan didapat, mandiri energi, mandiri pangan, dan sejahtera dengan lingkungan yang sehat."

 

Tentu saja, membaca keliatan upayanya itu saya terharu sekaligus kagum. Sekonyong, saya jadi tercenung dan kian tersentak betapa soal energi perlu menjadi kepedulian bersama. Saya bangga di negeri kita ini ternyata sudah muncul kesadaran yang lantas dibuktikan dengan tindakan kreatif oleh sekelompok kecil masyarakat dengan mengendap-endap, tanpa perlu ekspos besar-besaran, demi mewujudkan apa yang diistilahkan sebagai "kemandirian energi". Melalui sumber daya yang tersedia, mereka mengolahnya menjadi energi yang juga merupakan energi ramah lingkungan.

 

Tegas dan transparan

 

Energi fosil yang terus dieksploitasi dirasakan sudah tak banyak diharapkan. Semakin lama akan berkurang dan habis. Sementara kebutuhan energi untuk berbagai bidang kehidupan semakin bertambah. Pertambahan penduduk yang melesak tajam akan sangat berpengaruh terhadap asupan energi.

 

Tampaknya kita pun sulit semata bergantung pada kebijakan pengelolaan dan pendistribusian energi semisal BBM. Harga yang fluktuatif karena disesuaikan dengan pasar akan rentan dari meroketnya harga yang bisa membuat kelabakan masyarakat. Pengurangan subsidi BBM lantas menjadi pilihan terakhir. Pertimbangannya demi mengurangi beban APBN yang sudah over load dalam soal subsidi BBM.

 

Kerumitan yang dirasakan pengambil kebijakan seiring dengan munculnya "rumor-rumor" yang beredar luas terkait adanya "mafia minyak" atau "broker minyak", yang juga menjadi salah satu pemicu naiknya harga BBM. Cara-cara mark up jadi kelaziman. Bukan lagi rahasia, sekian lama masyarakat menatapi soal kebijakan yang dipandang "miring". Impor minyak mentah mungkin saja logis karena negeri kita sudah pada posisi net importer. Pasokan minyak dalam negeri sudah tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara fakta lain, batubara yang melimpah justru dijual sangat murah kepada negara asing.

 

Hal-hal seperti ini perlu mendapatkan klarifikasi (tabayyun) secara tegas. Para pengampu kebijakan harus mau buka-bukaan untuk menjelaskan tentang kebijakan energi yang oleh masyarakat dilihat sebagai kontradiktif. Lebih dari itu, sudah waktunya melakukan langkah konkret dalam memberantas segala penyimpangan terkait dengan pengelolaan energi.

 

Bila hal-hal seperti itu tak tuntas diselesaikan, jangan heran bila rakyat mudah terbakar saat ada kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM yang berdampak kenaikan harga komoditas lain akan selalu memberatkan masyarakat—terutama kategori miskin, mendekati miskin, dan berpenghasilan rendah—yang secara kuantitas berjumlah besar. Bolehlah diistilahkan masyarakat yang ketiban susahnya, sedangkan mereka yang berada di pusaran bisnis perminyakan tetap nyaman dengan limpah ruah fasilitas dan gaji yang melangit. Lagi-lagi, negara wajib memberikan jaminan sosial (takaful ijtima'i) bagi warganya secara berkesinambungan, bukan instan atau sporadis seperti halnya BLSM yang hanya berumur empat bulan.

 

Komunitas tercerahkan

 

Kita masih beruntung ternyata di negeri ini sudah tumbuh kesadaran—baik secara individu maupun komunitas—untuk mewujudkan kemandirian energi. Mereka ini kelompok orang yang tak bergaji besar, bahkan ada yang hidup pas-pasan, tetapi punya tekad besar dan ketelatenan luar biasa untuk ikut berpartisipasi dalam urusan negara dan bangsa. Mereka tak terus larut dalam teriakan kemarahan atau kepedihan akan beban hidup yang kian mengimpit.

 

Berpikir global dan bertindak lokal! Itulah pameo yang menjadi "energi" mereka untuk terjun berkreasi dan berdedikasi. Dan, manfaatnya sungguh terasa bagi masyarakat sekitar.

 

Demikianlah kita saksikan civil society dalam sosok komunitas-komunitas mandiri energi bangkit bermunculan. Kita ambil contoh lagi komunitas Qaryah Thoyyibah di Salatiga yang berawal dari paguyuban petani, kemudian mendirikan pendidikan alternatif. Komunitas ini tak mau menyebut pendidikannya dengan "sekolah" karena mereka berpahaman bahwa sekolah telah menjadikan anak didik tidak lebih baik dan kreatif.

 

Lewat pendidikan, komunitas ini juga telah sekian lama mengembangkan energi alternatif dengan memanfaatkan kotoran hewan dan manusia untuk memasak dan penerangan. Kata-kata tokoh penggiatnya yang pernah saya dengar, "Kami sangat enjoy dengan cara mandiri energi. Biarpun harga minyak atau gas elpiji naik, kami tak ambil pusing karena kami tak bergantung semata pada negara."

 

Pesantren pun tak kalah gesit dalam berpartisipasi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Pesantren sebagai kapital sosial dan aset bangsa yang telah lama mewarnai pendidikan di negeri kita berpotensi besar dalam kiprah ini. Ada pesantren, misalnya, yang sudah memanfaatkan briket arang tempurung kelapa (biobriket) sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan gas elpiji. PBNU sendiri sudah melakukan langkah-langkah untuk mendorong pesantren di lingkungan NU dalam rangka kemandirian energi.

 

Pemerintah punya kebijakan konservasi dan diversifikasi energi nasional. Pemerintah pun meluncurkan program Desa Mandiri Energi sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan energi melalui energi terbarukan dan sumber daya lokal. Ada juga program Keluarga Mandiri Energi untuk mendorong setiap keluarga mampu memenuhi kebutuhan energi minimal 60 persen. Kebijakan ini tentu butuh partisipasi masyarakat yang berlanjut dengan harapan melahirkan makin banyak insan-insan Indonesia tercerahkan, yang kreatif dan mandiri, demi menuju Indonesia Mandiri Energi.

 

Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU

 

Sumber: Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar