Penentuan Awal Bulan
Qamariyah Perspektif NU
Judul di atas mengisyaratkan adanya keragaman
pandangan tentang sistem penentuan awal bulan qamariyah.
Semula umat Islam hanya mengenal sistem
rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal bulan
Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ketika ilmu hisab masuk dalam kalangan umat
Islam pada abad 8 Masehi di masa Dinasti Abasiyah, maka mulai berkembang
pemikiran untuk menggunakan hisab bagi penentuan awal bulan qamariyah. Dari dua
sistem tersebut lahirlah perbedaan antara hisab dengan rukyat, perbedaan di
dalam rukyat, dan perbedaan di dalam hisab.
Sistem rukyat melahirkan berberapa pendapat:
1.
Pendapat yang mendasarkan pada ruang
lingkup berlakunya rukyat, maka timbullah istilah: rukyat lokal, rukyat
nasional, dan rukyat global.
2.
Pendapat yang mendasarkan pada ada
atau tidak adanya persinggungan dengan hisab, maka timbullah: pendapat yang
mendasarkan pada rukyat minus dukungan hisab dan pendapat yang mendasarkan pada
rukyat plus dukungan hisab.
Sistem hisab melahirkan beberapa pendapat:
1. Pendapat yang mendasarkan pada adanya perbedaan metode hisab, yaitu:
a.
Metode Hisab Urfi.
b.
Metode Hisab Haqiqi Taqribi (disingkat
Taqribi).
c.
Metode Hisab Haqiqi Tahqiqi (disingkat
Tahqiqi).
d.
Metode Hisab Tadqiqi/’Ashri atau
Kontemporer.
2. Pendapat yang mendasarkan pada kriteria
awal bulan:
a.
Pendapat yang mendasarkan pada Waktu
Ijtima’.
b.
Pendapat yang mendasarkan pada Wujudul
Hilal.
c.
Pendapat yang mendasarkan pada Imkanur
Rukyat.
Meskipun terdapat keragaman, tetapi di dalam
sejarah sejak zaman Sahabat hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan,
ulil amri menggunakan sistem rukyat sebagai dasar itsbat awal bulan Ramadlan,
Syawal, dan Dzulhijjah.
Sesuai dengan judul di atas, maka dalam
makalah ini akan dibahas pandangan NU tentang penentuan awal bulan qamariyah,
khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.
NU (Nahdlatul Ulama) adalah Jam’iyah Diniyah
Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) yang berhaluan Ahlussunnah wal
Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW
serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Sebagai sebuah Jam’iyah Diniyah Islamiyah,
sesuai dengan tujuan keberadaannya, NU berkewajiban untuk senantiasa
mengamalkan, mengembangkan, dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang
diyakininya, termasuk di dalamnya adalah penentuan awal bulan qamariyah
khususnya yang ada hubungannya dengan ibadah, yakni bulan Ramadlan, Syawal, dan
Dzulhijjah.
Sikap NU tentang sistem penentuan awal bulan
qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah diambil
melalui keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo (1984), Munas Alim Ulama di
Cilacap (1987), Seminar Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu Sukabumi (1992),
Seminar Penyerasian Metode Hisab dan Rukyat di Jakarta (1993), dan Rapat Pleno
VI PBNU di Jakarta (1993), yang akhirnya tertuang dalam Keputusan PBNU No.
311/A.II.04.d/1994 tertanggal 1 Sya’ban 1414 H/13 Januari 1994 M, dan Muktamar
NU XXX di Lirboyo Kediri (1999).
Keputusan PBNU tersebut telah dibukukan
dengan judul “PEDOMAN RUKYAT DAN HISAB NAHDLATUL ULAMA”.
Menurut NU, penentuan awal bulan qamariyah,
khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada sistem
rukyat sedang hisab sebagai pendukung.
Rukyat adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar rukyatulhailal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.
Pandangan NU tentang rukyat sebagai dasar
penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan
Dzulhijjah didasarkan atas pemahaman, bahwa nash-nash tentang rukyat itu
bersifat ta’abbudiy. Ada nash al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah
rukyat, yaitu QS. al-Baqarah:185 (perintah berpuasa bagi yang hadir di bulan
Ramadhan) dan QS. al-Baqarah:189 (tentang penciptaan ahillah). Dan tidak kurang
dari 23 hadits tentang rukyat, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik,
Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi,
dan lain-lain . Dasar rukyat ini dipegangi oleh para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ittabi’in dan empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Rukyat atau pengamatan hilal akan menambah
kekuatan iman. Pengamatan terhadap benda-benda langit termasuk bulan adalah
bagian dari melaksanakan perintah untuk memikirkan ciptaan Allah agar lebih
dalam mengetahui kemahabesaran Allah, sehingga memperkuat iman.
Rukyat mempunyai nilai ibadah jika digunakan
untuk penentuan waktu ibadah seperti shiyam, ‘id, gerhana, dan lain-lain.
Rukyat adalah ilmiah. Rukyat atau
pengamatan/penelitian/observasi terhadap benda-benda langit melahirkan ilmu
hisab. Tanpa rukyat tidak akan ada ilmu hisab.
Sebagai konsekwensi dari prinsip ta’abbudiy,
NU tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil fi’li di lapangan, betapa pun
menurut hisab hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi ghairu imkanir
rukyat yang menurut pengalaman, hilal tidak akan kelihatan. Hal demikian ini
dilakukan agar pengambilan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada sistem
rukyat di lapangan yang tidak berhasil melihat hilal, bukan atas dasar hisab.
Rukyat yang diterima sebagai dasar adalah
hasil rukyat di Indonesia (bukan rukyat global) dengan wawasan satu wilayah
hukum NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan
hilal, maka hasil rukyat demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku
bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Rukyat yang dikehendaki oleh NU adalah rukyat
yang berkualitas didasarkan atas:
1.
Pemahaman terhadap hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari salah seorang sahabat Rasulullah
SAW., Rib’i bin Hirasy, yang di dalamnya terdapat ungkapan:
بِاللهِ لَأَهَلَّ الْهِلاَلُ (Demi Allah, bahwa sesungguhnya hilal telah tampak.)
بِاللهِ لَأَهَلَّ الْهِلاَلُ (Demi Allah, bahwa sesungguhnya hilal telah tampak.)
Kata sumpah, kata
sungguh, dan kata tampak dalam hadits itu mengisyaratkan, bahwa rukyatul hilal
itu benar-benar terjadi dan meyakinkan, sehingga Rasulullah SAW. menerima
laporan itu. Hal ini dapat dipahami, bahwa Rasulullah SAW. menerima laporan itu
karena rukyat itu berkualitas.
2.
Pemahaman terhadap qaul Imam Ibnu
Hajar al-Haitami dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj jilid III halaman 382, yang
artinya:
“Yang dituju dari
padanya ialah bahwa hisab itu apabila para ahlinya sepakat bahwa dalil-dalilnya
qath’i (pasti) dan orang-orang yang memberitakan (mengumumkan) hisab
tersebut mencapai jumlah mutawatir, maka persaksian rukyat itu ditolak. Jika
tidak demikian, maka tidak ditolak.”
Qaul ini dalam konteks laporan hasil rukyat
yang ditolak jika para ahli hisab yang mencapai jumlah mutawatir sepakat, bahwa
saat itu hilal ghairu imkanir rukyat secara hisab. Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa Ibnu Hajar al-Haitami menghendaki adanya rukyat yang
berkualitas.
Untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas,
maka NU menggunakan ilmu hisab dan menerima kriteria imkanur rukyat sebagai
pendukung proses pelaksanaan rukyat.
Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan sebagai
dasar penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal,
dan Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang dihasilkan oleh rukyat.
Ilmu hisab / ilmu falak adalah ilmu
pengetahuan yang membahas posisi dan lintasan benda-benda langit, tentang
matahari, bulan, dan bumi dari segi perhitungan ruang dan waktu. Ilmu Hisab
sebagai ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, maka berlaku
ketentuan-ketentuan ilmu itu; artinya dapat berkembang terus menerus sejalan
dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Pengamatan atau
penelitian/observasi (rukyat) terhadap benda-benda langit terus menerus dilakukan
oleh para ahlinya, sehingga berkembang pula ilmu hisab yang semakin tinggi
tingkat akurasinya.
Dewasa ini di kalangan Umat Islam berkembang
lebih dari 20 metode hisab (kitab hisab) yang dapat dibagi dalam 3 kelompok,
yaitu: metode haqiqi Taqribi (disingkat taqribi), metode haqiqi tahqiqi
(disingkat tahqiqi), dan metode Tadqiqi/’Ashri atau kontemporer.
Untuk mendukung proses pelaksanaan rukyat,
maka NU memilih metode yang tingkat akurasinya tinggi agar memperoleh hasil
yang berkualitas. Dalam konteks ini, NU pun menerima kriteria imkanur rukyat.
Kriteria imkanur rukyat hanyalah sebagai
instrumen untuk menolak laporan adanya rukyatul hilal, sedangkan para ahli
hisab telah bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq atau di atas ufuq tapi
ghairu imkanir rukyat. Jadi kriteria imkanur rukyat tidak digunakan untuk
menentukan awal bulan qamariyah. Jelasnya apabila menurut hitungan hisab bahwa
hilal sudah imkanur rukyat, tetapi kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil
dirukyat, maka penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan,
Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan atas dasar istikmal.
Jadi posisi ilmu hisab berikut kriteria imkanur
rukyat bersifat ta’aqquliy sebagai sarana untuk mendukung proses
penyelenggaraan rukyat.
Proses pengambilan keputusan yang diterbitkan
oleh PBNU sehubungan dengan hasil rukyat untuk menentukan awal bulan Ramadlan,
Syawal, dan Dzulhijjah melalui 4 tahap:
1.
Melakukan hisab awal bulan untuk
membantu pelaksanaan rukyat dan untuk mengontrol keakurasian laporan hasil rukyat.
2.
Menyelenggarakan rukyatul hilal bil
fi’li di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan di seluruh Indonesia.
3.
Melaporkan hasil rukyat dalam sidang
itsbat yang diselenggarakan oleh Menteri Agama.
4.
Kemudian setelah ada itsbat dari
pemerintah, maka PBNU mengeluarkan ikhbar sehubungan dengan itsbat tersebut
untuk menjadi pedoman warga NU. Ikhbar PBNU dapat sejalan dengan itsbat
pemerintah jika diterbitkan atas dasar rukyat. Jika itsbat tidak berdasarkan
rukyat, maka PBNU berwenang untuk mengambil kebijakan lain.
Jadi PBNU tidak dalam kapasitas mengitsbatkan
hasil rukyat. Hak itsbat ada pada pemerintah. Hak ikhbar ada pada PBNU.
Dari hal-hal yang dipaparkan di muka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penentuan awal bulan qamariyah
khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah perspektif NU didasarkan
atas rukyat, sedangkan hisab sebagai pendukung.
2.
NU dalam memahami dan mengamalkan
nash-nash al-Quran dan as-Sunah menggunakan asas ta’abbudiy dan dilengkapi
dengan asas ta’aqquliy.
3.
Sebagai konsekwensi dari penggunaan
asas ta’abbudiy ini, maka menurut NU sistem penentuan awal bulan qamariyah,
khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada
pemberlakuan otentitas nash, yakni dengan cara rukyat atau istikmal sesuai
dengan sunnah Nabi SAW serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
4.
Sedangkan konsekwensi dari penggunaan
asas ta’aqquliy untuk menyempurnakan ta’abbudiy, maka menurut NU rukyat itu
perlu didukung dengan ilmu hisab yang tingkat akurasinya tinggi disertai dengan
kriteria imkanur rukyat untuk mencapai hasil rukyat yang berkualitas.
5.
Rukyat memiliki nilai keimanan,
ibadah, dan pengembangan ilmu.
6.
NU berwawasan nasional, 1 wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam penentuan awal bulan qamariyah,
khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah.
7.
NU berpendapat, bahwa itsbat
pemerintah suatu keniscayaan.
8.
Ikhbar PBNU dikeluarkan sesudah terbitnya
itsbat pemerintah.
9.
Pandangan NU yang didasarkan pada
prinsip rukyat nasional didukung hisab dengan menerima kriteria imkanur rukyat
dan mengakui hak itsbat pemerintah diharapkan menjadi bahan perenungan menuju
kesatuan dalam mengawali shiyam, hari raya ‘Idul Fitri, dan hari raya ‘Idul
Adha.
KH. Ahmad Ghazalie Masroeri
Ketua PP Lajnah Falakiyah Nahdlatul
Ulama (LFNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar