Mencari Titik Temu
NU-Muhammadiyah
Kontan perbedaan ini menjadi bahan berita
menarik bagi berbagai media massa. Secara “news” penetapan awal Ramadhan itu
sendiri sudah menarik karena melibatkan rasa ingin tahu masyarakat, apalagi
jika ada yang berbeda.
Beberapa media menyederhanakan perbedaan
penetapan awal bulan qamariyah itu sebagai perbedaan antara kubu hisab dan kubu
rukyat. Kubu hisab diwakili oleh Muhammadiyah yang menjalankan puasa lebih
dulu. Sementara kubu rukyat diwakili oleh NU yang didukung oleh pemerintah dan
beberapa perwakilan ormas yang menghadiri sidang itsbat.
Semestinya perbedaan tidak bisa
disederhanakan hanya persoalan hisab da rukyat saja. Menempatkan posisi hisab
dan rukyat secara berhadapan akan menjauhkan masyarakat dari akar perbedaan.
Kalau diikuti betul, mereka yang melakukan rukyat pasti juga melakukan hisab
atau perhitungan astronomis. Misalnya untuk mengetahui kapan matahari akan
terbenam, dimana posisi hilal, bagaimana kemiringannya, dimana posisi hilal dan
berapa derajat jaraknya dengan matahari, berapa ketinggian hilal saat matahari
tenggelam, dan berapa lama hilal berada di atas ufuk, semuanya pasti memerlukan
data hisab.
Penentuan awal bulan selalu menggunakan hisab
dan dalam perkembangannya data hisab yang dihasilkan tidak jauh berbeda antar
beberapa metode. Para ahli hisab sudah hampir menemukan titik akurasi yang
sepadan karena didukung berbagai alat yang canggih.
Perbedaan justru muncul dari bagaimana
menyikapi data hisab. Muhammadiyah memakai data hisab itu sebagai sumber utama
penetapan awal bulan dengan memakai satu teori "wujudul hilal", yakni
ketika peristiwa ijtima’ atau konjungsi atau bulan baru terjadi sebelum matahari
tenggelam, maka keesokan harinya sudah dinyatakan awal bulan. Teori ini tidak
mengharuskan adanya rukyatul hilal, karena jika dalam kondisi tertentu saat
waktu ijtima’ sangat dekat dengan waktu matahari tenggelam, posisi hilal sangat
rendah sehingga tidak akan bisa dilihat bumi.
Sementara NU menempatkan data hisab sebagai
pendukung pelaksanaan rukyat. Jadi hisab bukanlah penentu awal bulan, namun
hanya sebagai alat bantu pelaksanaan rukyat. Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad SAW sudah sangat sharih dan bahkan seperti satu petunjuk
pelaksanaan atau juklak, bahwa penetapan awal bulan qamariyah, khususnya
Ramadhan dan Syawal didahului dengan proses rukyatul hilal. Dengan demikian
teori wujudul hilal tidak bisa diterima karena mengabaikan proses rukyatul
hilal yang jelas-jelas diperintahkan oleh nash.
Persoalannya saat ini bukan bagaimana
menyikapi perbedaan, karena masyarakat sudah sangat siap dengan berbagai
perbedaan. Juga bukan soal apakah wajib mengikuti pemerintah atau tidak. Karena
bagaimanapun juga Kementerian Agama yang memegang mandat sebagai wakil dari
pemerintah adalah jabatan politis bisa diisi oleh orang yang lebih dekat dengan
satu ormas tertentu. Persoalannya adalah kemauan para ahli falak dan ahli fikih
lintas ormas untuk mempertemukan satu kriteria di bawah satu payung Negara
Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia.
Sidang itsbat juga bukan solusi, karena
metode sidang itsbat yang menggunakan pedoman hisab dan rukyat sekaligus, pasti
akan memenangkan rukyat, tepatnya memenangkan NU. Kritik yang sempat
dilontarkan oleh Muhammadiyah, bahwa sidang itsbat hanya menghabiskan anggaran
ada benarnya juga. Jadi sidang atau pertemuan antar ormas jika dimaksud untuk
menyatukan kriteria penentuan awal bulan mestinya diselenggarakan jauh hari
sebelum datangnya awal bulan qamariyah, terutama jika data hisab menunjukkan
adanya potensi perbedaan.
Jika perbedaan dalam penetapan awal bulan
qamariyah bisa disederhanakan menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah,
semestinya solusi ada di tangan para ahli falak/astronomi dari kedua ormas itu.
Dalam sejarahnya kedua ormas juga tidak menggunakan satu kriteria secara
permanen. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah juga memakai metode rukyatul hilal
dalam penetapan awal bulan qamariyah. Kriteria Wujudul hilal baru dipakai pada
sekitar tahun 50-an.
NU juga telah melakukan berbagai terobosan di
bidang ilmu falak, antara lain mengadakan penyerasian berbagai metode hisab
yang dipakai di kalangan pesantren, sehingga hasil perhitungan antara berbagai
metode atau berbagai kitab ilmu hisab bisa ditengah-tengahi. Pada tahun 2006 NU
juga telah menerapkan metode "imkanur rukyat" atau visibilitas
pengamatan dan diaplikasikan dalam almanak yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah.
penjelasan dari kriteria ini menyebutkan bahwa jika hilal dinyatakan belum
imkanur rukyat maka kesaksian siapa pun melihat hilal akan ditolak, yang
artinya secara tidak langsung NU sudah memakai hisab dalam penetapan awal
bulan. Dan dalam konsisi seperti ini, seperti halnya dalam penetapan awal
Ramadhan tahun ini, sebenarnya bagi NU tidak diperlukan adanya rukyat.
Artinya titik temu itu sangat mungkin ada,
hanya dengan sedikit mengubah kriteria penetapan awal bulan qamariyah
masing-masing ormas yang berbeda, yang dalam sejarahnya juga pernah mengalami
perubahan. []
(A. Khoirul Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar