Selamat Ber-Ramadan
Oleh: KH. A. Mustofa
Bisri
TIDAK ada momentum
paling afdol untuk menyela hari-hari sibuk yang tak karuan juntrungnya melebihi
bulan Ramadan. Sepertinya Allah memang sengaja menyediakan satu bulan -bulan
Ramadan ini - untuk kita. Ia tahu bahwa dalam bulan-bulan lain, kita begitu
sibuk dengan urusan dunia yang tak jelas benaruntuk apa.
Dan, atas rahmat-Nya
kepada makhluk yang istimewa bernama manusia ini, Ia anugerahkan satu bulan
bagi evaluasi diri. Dalam sebelas bulan yang lain, kita seperti kitiran
mengejar entah apa. Ke sana kemari dengan semangat penuh, seolah-olah besok
pagi kiamat.
Pengusaha begitu
ngotot ingin menguasai pasar. Penguasa begitu ngotot ingin menguasai negara.
Pegawai begitu ngotot ingin naik pangkat. Eksekutif begitu ngotot mengejar
karier. Sopir ngotot mengejar setoran. Yang miskin ngotot kepingin kaya. Yang
kaya ngotot kepingin lebih kaya lagi. Pendek kata, hampir setiap orang seperti
terkena penyakit lapar yang tak terkenyangkan.
Seandainya tidak ada
satu bulan seperti Ramadan, yang memiliki suasana khasnya sendiri, maka
penuhlah 12 bulan suntuk kita sibuk tanpa berkesempatan mengevaluasi kesibukan
kita, seolah-olah semua yang kita lakukan selama ini memang sudah seharusnya.
Kita tak punya
kesempatan untuk menghitung dan memperhitungkan perolehan dan kehilangan kita
dalam kehidupan ini. Untunglah ada Ramadan. Bulan yang apabila kita bisa
mencerdasinya dan memfungsikannya secara optimal, bisa diharapkan, setelah itu
kualitas kemanusiaan kita akan meningkat. Seperti kita ketahui bulan suci ini
memiliki suasana lain dari bulan-bulan yang lain. Tidak hanya jadwal makan,
tetapi gaya hidup dan perilaku orang (muslim khususnya) seolah-olah berubah
drastis dan total.
Mereka yang biasanya
hanya bertemu dengan kalangan terbatas, misalnya, tiba-tiba sering terlihat
kumpul-kumpul dengan banyak orang.
Pergaulan dalam
keluarga pun tampak begitu akrab sebagaimana mestinya. Mereka yang biasa
brangasan, tiba-tiba menjadi kalem atau agak kalem. Mereka yang biasanya tak
peduli, menjadi sangat atau sedikit ramah. Suasana batini religi terasa begitu
kental mewarnai, bahkan terhadap kegiatan duniawi. Padahal, biasanya
kebersamaan yang indah ibadah kepada Allah Sang Pencipta yang biasanya lebih
terasa sebagai beban, menjadi begitu ringan, kalau tidak nikmat, kita rasakan.
Walhasil suasana di
bulan istimewa ini benar-benar kondusif untuk melakukan upaya-upaya perbaikan
diri. Mengingat kembali jati diri kita sebagai manusia, atau bahkan
meningkatkan kualitas kemanusiaan kita. Manusia yang tidak hanya terdiri dari
daging, tapi juga roh; tidak hanya raga, tapi juga jiwa. Sebelas bulan kita
seperti hanya terus dan selalu memanjakan daging, melupakan roh; membangun
badan dan tak kunjung menyentuh pembangunan jiwa. Inilah saatnya yang tepat
untuk menyempurnakan diri kita sebagai manusia. Siapa tahu, karena intens kita
menghidupi dan menghayati kesucian bulan ini, kita dapat menyerap kesudiannya
bagi kesucian diri.
Siapa tahu, karena
penyikapan kita benar terhadap Ramadan yang sering kita sebut sebagai bulan
ampunan ini, juga benar dalam mengisi hari-harinya, kita kemudian dapat
menyikapi bulan-bulan lainnya secara benar pula. Proporsional melihat diri
sendiri. Proporsional melihat kehidupan. Ya, siapa tahu? []
Selamat Ber-Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar