Ketika Lekra Menyabot Film Lesbumi
Produk unggulan Lembaga Seniman dan Budayawan
Muslim (Lesbumi) adalah film. Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang menguasai
sastra dan seni lukis, merasa tak berdaya menghadapi produksi film Lesbumi yang
sangat berpengaruh itu. Dari segi pengaruh politik dan finansial, memang film
belum bisa dikalahkan oleh produksi seni manapun.
Karena itu sangat kebetulan kalau Lesbumi
menguasai dunia perfilman, yang merupakan teknologi kesenian paling tinggi saat
itu.
Salah satu cara paling efektif adalah
melakukan sabotase, apalagi semua cara halal dilakukan untuk mencapai hasil.
Lalu didekatilah salah seorang produser film Lesbumi, yaitu Munir Abu Sudjak.
Kerana kedekatan itu sang produser mau mengedarkan film lewat teman dekat
tersebut. Sebenarnya Asrul Sani telah mengingingatkan sangat riskan bekerja
sama dengan Lekra atau PKI, karena mereka halal melakukan segala cara. Tetapi
dengan ketulusannya Abu Sudjak tetap memberikan akses untuk mengedarkan film
Lesbumi.
Film yang terkenal seperti Pagar Kawat
Berduri, Tauhid, dan sebaginya, itu yang menjadi favorit masyarakat saat itu.
Tetapi teman hanyalah sebatas kenalan, secara
ideologi adalah lawan dan itu harus dihancurkan demikian prinsip Lekra-PKI. Dengan
prinsip semacam itu maka film tersebut digunting-gunting dan disambung secara
acak, sehingga jungkar balik alur ceritanya. Ini sungguh merepotkan, apalagi
jaman itu film belum bisa digandakan secara massal, sehingga masternya itu yang
jadi andalan. Karena itu Lesbumi kelabakan untuk menata kembali film tersebut.
Malang tidak bisa dihindarkan, walaupun alur
kembali bisa disambung, tetapi beberapa adegan telah hilang, bahkan menurut
Asrul Sani bagian depan film itu yang hilang sehingga tidak bisa dipertunjukkan.
Hal itu dilakukan karena memang Lekra tidak memiliki pengetahuan di bidang
teknologi sinematografi, sementara kemampun Lesbumi sudah menguasai teknologi
perfilman yang sangat canggih saat itu.
Saat ini film tersebut disimpan di Cinematex
dalam keadaan tidak utuh. Tentu saja ini merupakan tindakan tidak berbudaya
yang dilakukan oleh sebuah lembaga kebudayaan, yang mengklaim sebagai
kebudayaan rakyat. Di situ anehnya, padahal rakyat Indonesia tidak sebrutal
mereka, lebih santun dalam menghadapi perbedaan padangan. Tidak seperti
Lekra-PKI, yang gelap mata menghadapi perbedaan, sehingga dengan teganya
merusak kreasi budaya. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar