Kamis, 25 Juli 2013

(Taushiyah of the Day) Puasa, Meraih Predikat Muttaqin


Puasa, Meraih Predikat Muttaqin

Oleh: Mahrus Sholeh*

 

Setiap tahun terdapat satu bulan yang multi bonus, Ramadhan. Namun, apakah benar kita menyambut antusias terhadap datangnya bulan penuh berkah ini? Atau kita menyambutnya biasa-biasa saja tanpa ada ekspresi bahagia?

 

Dijelaskan bahwa predikat yang diperoleh oleh orang yang berpuasa adalah takwa, menjadi Muttaqin. Seorang muttaqin merupakan orang yang selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan oleh allah dan menjauhi segala larangannya.

 

Bagaimana meraih Predikat muttaqin dalam berpuasa? Coba kita tengok ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana predikat muttaqin melekat kepada orang yang bertaqwa, yaitu:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

 

Ibadah puasa adalah salah satu perintah yang meminta pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan tiap hari. Kalau perintah tidak dijatuhkan kepada orang yang beriman tidaklah akan berjalan.

 

Imam Ath Thabari menegaskan bahwa ayat ini ditujukan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya. Ibnu Katsir menyatakan, firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia.

 

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

 

Dari penjelasan di atas juga dapat dipahami bahwa peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru dibuat setelah Nabi, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu meskipun kitab Taurat tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada hal yang terkecil, namun didalamnya ada pujian dan anjuran kepada setiap orang agar berpuasa.

 

Puasa merupakan syariat yang penting di dalam tiap-tiap agama, mskipun ada perubahan-perubahan dari hari ataupun bulan. Setelah Rasulullah SAW diutus ditetapkanlah puasa bagi umat Islam pada bulan Ramadhan dan dianjurkan pula menambah (tathawwu’) dengan hari-hari yang lain.

 

Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, {لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} "Agar kamu bertakwa," karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah merealisasikan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

 

Dan di antara gambaran yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan jima' dan semacamnya. Semua itu adalah hal-hal yang biasanya dihalalkan dan diinginkan oleh nafsunya. Namun saat berpuasa, ia menahan diri dan menghindarinya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala.

 

Inilah hal yang merupakan ketakwaan, di antaranya juga sebagai gambaran bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya dengan selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, maka meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.

 

Orang yang berpuasa harus menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum, bersetubuh dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’.

 

Orang yang berpuasa akan melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya. Sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima’ dengan suami/istinya tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya.

 

Dari itu, mari menata kembali niat untuk mengarungi bulan penuh berkah ini, guna memperoleh predikat muttaqin seperti yang kita inginkan bersama.

 

* Mahrus Sholeh

Alumni Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin dan Nurul Jadid, masih menempuh pendidikan di Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN SunanAmpel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar