Bambang Soesatyo
Inisiator Hak Angket Kasus Century/
Anggota Timwas Century DPR
Tak berlebihan jika Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa telah dibohongi oleh para pejabat BI yang dipimpin Gubernur Boediono. Materi yang disampiakan para pejabat BI kepada raoat KSSk memang sangat dipaksakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani seakan di-fait accomply untuk menerima keputusan bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik.
Sebagaimana hasil audit BPK, dijelaskan bahwa BI telah beberapa kali melakukan rapat konsultasi dengan KSSK untuk membahas kondisi Bank Century. Rapat konsultasi tersebut dihadiri oleh unsur-unsur BI, Departemen Keuangan, dan LPS pada tanggal 14, 17,18, dan 19 November 2008.
Di internal BI sendiri, juga ada pertemuan terus-menerus membahas soal Bank Century. Dari dokumen yang didapat Timwas Century DPR, pada awal Mei 2013, diketahui bahwa ada rapat dewan Gubernur (RDG) BI pada 13 November 2013 yang membahas FPJP.
Di sana dinyatakan, perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang menurunkan syarat penerima FPJP dari rasio kecukupan modal (CAR) 8 persen menjadi hanya positif (0%), patut diduga dilakukan untuk merekayasa agar Bank Century dapat memperoleh FPJP. Bahkan, dalam rekaman RDG BI pada 13 November yang membahas FPJP, jelas terdengar bahwa sejak awal para pejabat BI hanya menyebut-nyebut Bank Century. Karena itu, aturan mengubah CAR dari 8 persen menjadi positif pun disesuaikan dengan kondisi Bank Century yang saat itu hanya memiliki CAR 2,35 persen. Akibat perubahan PBI itulah, akhirnya pada 14 November 2008, Bank Century mendapat kucuran dana FPJP dari BI Rp 689 miliar. Inilah yang disebut "lawry engineering" atau rekayasa hukum untuk kepentingan tertentu.
Jadi, temuan penting dari rekaman RDG BI pada 13 November 2008 adalah kenyataan bahwa pengubahan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 mengenai FPJP, sejak awal memang didesain khusus untuk Bank Century. Ini sekaligus mementahkan pernyataan semua pejabat BI saat diperiksa pansus yang menyatakan bahwa perubahan PBI tersebut tidak dilakukan hanya untuk Bank Century, tapi untuk seluruh bank.
Temuan menarik lainnya bisa ditelusuri pada RDG 20 November 2008. Kala itu, RDG membahas penetapan Bank Century sebagai bank gagal. Peserta RDG pada 20 November pukul 19.00-22.00 WIB itu adalah Gubernur BI Boediono, Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom, dan enam Deputi Gubernur BI (Hartadi A. Sarwono, Siti Ch. Fadjrijah, S. Budi Rochadi, Muliaman D. Hadad, Budi Mulya, serta Ardhayadi).
Rapat itu diawali dengan presentasi Zainal Abiddin (Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1-DPB1).
Zainal, dalam dokumen "Ringkasan Eksekutif Permasalahan PT Bank Century Tbk," mengusulkan agar Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang diperkirakan berdampak sistemik. Namun, Zainal meminta KSSK yang memutuskan apakah kebijakan penanganan bank itu berdampak sistemik atau tidak. Zainal juga menuturkan, sejak FPJP senilai Rp 689 miliar diberikan kepada Bank Century, terjadi penarikan dana oleh nasabah yang angkanya jauh lebih besar, sehingga FPJP tak mampu memperbaiki kondisi likuiditas Bank Century. Belakangan diketahui, banyak penarikan itu dilakukan oleh pihak terkait Bank Century sendiri.
Berdasarkan transkrip rapat itu, diketahui bahwa Deputi Gubernur Siti Fadjrijah mengusulkan agar Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal. Deputi Gubernur Budi Rochadi lalu menginformasikan adanya dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKKBI) di Bank Century. Fadjriah menimpali dengan mengatakan adanya dana sejumlah BUMN di Bank Century.
Deputi Gubernur Muliaman Hadad juga meminta BI menyampaikan surat ke KSSK agar persoalan Bank Century dibahas di KSSK. Muliaman sudah menyatakan jika kasus Bank Century sudah bersifat sistemik. Gubernur BI Boediono lalu “memukul gong.” Ia menegaskan, di tengah situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian saat itu, ditambah dengan suasana yang rawan rumor, setiap bank dimungkinkan bakal berdampak sistemik. Maka dibahaslah analisis dampak sistemik Bank Century.
Fadjriah mengakui, secara institusi mikro, persoalan Bank Century tidak sistemik. Kendati dari sisi makro memang bisa sistemik. Menurut Fadjriah, kalau melihat data Bank Century saja, maka bank ini tak perlu diserahkan ke LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Cukup ditutup saja. Fadjriah juga sudah memeprkirakan, di KSSK akan ada suara yang menyatakan Bank Century tidak sistemik dan tak perlu diserahkan ke LPS.
Mendengar itu, Miranda Goeltom langsung menyela. “Mestinya,” ujar Miranda, “kesimpulan di sininya sudah bilang sistemik..” Upaya untuk mengarahkan hasil rapat seakan kian tegas. Budi Mulya masih berkutat di urusan data neraca bank yang tidak up date.
Persoalannya, tak ada ukuran yang jelas tentang dampak sistemik tadi. Hingga akhirnya muncullah keterangan dari Halim Alamsyah, Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan tentang empat aspek ciri-ciri bank berdampak sitemik, yakni:
-Dampak kegagalan bank terhadap institusi keuangan.
-Dampak kegagalan bank pasar keuangan.
-Dampak kegagalan bank infrastruktur keuangan.
-Dampak kegagalan bank sektor riil.
Gubernur Boediono sempat mempertanyakan landasan teori dari pernyataan Halim. “Supaya meyakinkan gitu, bukan karangan sendiri,..” ujarnya.
Halim menjawab jika pernyataannya didasarkan pemikiran yang berkembang di BIS (Bank for International Settlement). Miranda Goeltom menjawab sama. Lalu Halim mempresentasikan analisis dampak sistemik dengan menggunakan empat aspek berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation Between The Financial Supervisory Authorithies, Central Banks and Financial Ministries of The European Union: On Cross-Border Financial Stability tanggal 1 Juni 2008 (selanjutnya disebut MoU).
Halim memperoleh MoU itu dari seminar di Toronto, Kanada, pada Oktober 2008. Ia menyatakan bahwa metode itu masih coba-coba dan baru pertama kali digunakan di BI. Muliaman Hadad membenarkan hal tersebut.
Persoalan tak lantas usai. Bukan apa-apa, berdasarkan analisis yang diajukan Halim Alamsyah, justru tak tampak jika Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik. Bank ini nyaris tak punya pengaruh berarti institusi keuangan, terhadap pasar keuangan, terhadap infrastruktur keuangan, dan terhadap sektor riil.
Gubernur Boediono pun seakan kecewa. “Apa yang lainnya gak ada?” ujarnya, setelah menyaksikan sejumlah indikator yang ada justru memperlemah anggapan bahwa Bank Century berdampak sistemik.
Kekecewaan Boediono ditimpali Miranda Goeltom. Kebetulan, ketika mempresentasikan soal analisis dampak sistemik, Halim membawa data dalam bentuk matriks. Menurut Miranda, matriks itu justru menampilkan kesimpulan bahwa kasus Bank Century tak ada apa-apanya. “Kesimpulannya, gak ada apa-apanya..”
Muliaman Hadad pun melontarkan usul, “matriks ini dilepas saja..”
“Lepas aja..” ujar Boediono.
Fadjriah dan Miranda Goeltom tidak ketinggalan menyetujui dilepasnya data matriks dari analisis sisemik Bank Century.
Begitulah, para pejabat BI yang berlatar akademis sangat mumpuni ternyata hanya mampu bermain othak-athik gathuk dalam menentukan status sistemik bagi Bank Century. Tampilan data dan analisis yang tidak menyenangkan, mereka buang begitu saja. Dalam rapat itu, Miranda menyatakan, “masa dari lima kriteria, hanya satu yang (ada) keterkaitan (dengan sistemik).. Ya dianggap nggak ada urusan apa-apa..”
Tapi BI kadung harus menetapkan Bank Century berstatus sistemik. Maka, atas inisiatif Halim Alamsyah, ditambahkanlah lagi satu aspek penilaian dampak sistemik, yakni psikologi pasar. Aspek itu ditambahkan dengan pemikiran bahwa kegagalan sebuah bank bisa memicu sentimen negatif dan memengaruhi ketidakpastian atau gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran.
Nah, dengan analisis yang hanya seperti ini, tanpa permodelan dan perhitungan yang canggih, dan sepertinya lebih pantas dikerjakan mahasiswa ekonomi semester awal, pejabat BI menetapkan Bank Century berstatus gagal dan sistemik. Kebijakan yang memakan biaya Rp 6,7 triliun uang negara. Keputusan RDG tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dengan Surat No. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penetapan Tindak Lanjutnya.
Siasat Mengelabui Menkeu
Begitulah, RDG yang bertujuan mencari alasan ditetapkannya status sistemik bagi Bank Century usai digelar. Di sana tak dibahas lagi soal uang di Bank Century yang mengalir ke mana-mana dan pengawasan khusus oleh BI yang ternyata tidak menolong. Fokus bahasan hanya soal status sistemik. Bahasan lainnya, ya itu tadi, soal cara menyampaikan status sistemik ini ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Jadi, beberapa informasi ditutup dan tak ditampilkan. Informasi itu pun tidak mutakhir. RDG 20 November 2008 seakan konspirasi untuk menyelamatkan Bank Century.
Malam itu juga, usai RDG, para pejabat BI berbondong-bondong berangkat dari Kebon Sirih ke Lapangan Banteng, markas Departemen Keuangan, untuk mengikuti rapat KSSK. Sebelum rapat dimulai, BI melakukan rapat kecil dengan Sekretaris KSSK, Raden Pardede. Draf surat Gubernur Bank Indonesia soal Bank Century diperlihatkan BI kepada Raden.
Entah karena apa, Raden lalu meminta adanya perubahan dalam draf surat Gubernur BI tersebut. Perubahan itu menyangkut soal kebutuhan dana tambahan bagi Bank Century. BI mengajukan Rp 1,77 triliun. Tapi, Raden meminta agar jumlah dana yang diminta dari Bank Indonesia hanya Rp 632 miliar dengan tambahan kalimat, “Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring memburuknya kondisi bank....”
Budi Rochadi, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan bahwa Rp 632 miliar itu adalah angka yang diperoleh jika menggunakan neraca resmi per 31 Oktober 2008. Tapi BI memperkirakan angka yang dibutuhkan lebih besar karena mereka yakin bahwa sejumlah sertifikat surat berharga milik bank Century tak akan bisa ditagih.
Sebagian anggota Pansus Hak Angket Bank Century DPR menilai, draf yang belum diubah Raden sudah menyiratkan bahwa BI mengetahui data Bank Century setelah tanggal 31 Oktober 2008. Tapi, data itu disembunyikan dulu dalam rapat tersebut.
Setelah menerima Surat Gubernur BI No. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008--yang sudah diubah atas saran Raden Pardede--KSSK pun melakukan rapat. Rapat itu sejatinya berlangsung pada tanggal 21 November 2008, tepatnya pukul 11.00 WIB. Rapat tersebut diawali dengan rapat konsultasi KSSK hingga pukul 05.00 WIB. Presentasi BI yang menguraikan Bank Century sebagai bank gagal dan analisis dampak sistemik kembali dipaparkan, seperti yang sudah dibahas di BI sebelumnya.
Peserta rapat itu adalah para Menteri Keuangan (Ketua KSSK), Gubernur BI (anggota KSSK), Raden Pardede, para pejabat Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, Komisioner dan Direktur LPS, penasehat hukum LPS, serta dua orang pejabat yang tak termasuk dalam struktur KSSK dan LPS. Mereka adalah Marsilam Simanjuntak (Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi) dan Agus Martiwardojo (Direktur Utama Bank Mandiri).
Berdasarkan notulen Rapat Konsultasi KSSK tersebut, diketahui bahwa hanya BI yang bersikeras menyatakan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik—yang artinya perlu ditolong oleh KSSK melalui LPS. Peserta rapat lainnya pada umumnya mempertanyakan, bahkan tidak setuju terhadap argumentasi dan analisis BI yang menyatakan bahwa Bank Century ditengarai berdampak sistemik.
Darmin Nasution, Komisioner LPS, menyatakan bahwa analisis dampak sistemik dari BI sangat tidak terukur dan lebih banyak aspek psikologisnya. Sebab, perlu justifikasi yang lebih terukur untuk menentukan apakah Bank Century berdampak sistemik atau tidak.
Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Kuangan, sependapat dengan Darmin. Ia menegaskan, analisis mengenai dampak sistemik itu lebih dilandasi oleh kondisi psikologis. Menurut Anggito, belum cukup keyakinan untuk mengambil kesimpulan bahwa itu adalah kondisi sistemik.
Fuad Rahmany, Ketua Bapepam LK, bahkan menegaskan, kalau dari sisi pasar modal, kegagalan Bank Century jelas tidak sistemik. Dampak di pasar modal tidak akan ada.
Menanggapi pernyataan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan bahwa sangat sulit mengukur apakah hal tersebut dapat menimbulkan risiko sistemik atau tidak karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan cost/biaya yang timbul apabila penyelamatan dilakukan. Mengingat situasi yang tidak menentu, maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan, tapi dengan meminimalkan cost. Keputusan harus segera diambil dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore seperti saran LPS karena Bank Century tidak mempunyai cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.
Begitulah, rapat selama empat jam itu penuh dengan pembicaraan ngalor ngidul tak menghasilkan kesimpulan apa pun. Tidak ada pembahasan terkait sistemiknya kegagalan Bank Century. Yang muncul adalah kesan seolah-olah Bank Century harus diselamatkan.
Saya merasa, ada missing link hingga diadakannya rapat tertutup KSSK pada tanggal 21 November 2008 pukul 04.25 WIB hingga 06.00 WIB, yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (selaku Ketua KSSK), Gubernur BI (selaku anggota KSSK), dan Sekretaris KSSK (Raden Pardede). Rapat tersebut memutuskan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Dalam rapat itu, muncul pernyataan bahwa untuk membuat CAR Bank Century pulih menjadi 8%, diperlukan dana Rp 632 miliar. Lalu, untuk kebutuhan likuiditas selama tiga bulan ke muka, diperlukan Rp 4,59 triliun.
Keputusan KSSK tersebut ditindaklanjuti dengan Rapat Komite Koordinasi (KK) pada tanggal 21 November 2008 pukul 05.30 WIB yang dihadiri oleh Menteri Keuangan selaku Ketua KK, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS masing-masing sebagai anggota KK. Rapat tersebut memutuskan: (1) Menyerahkan penanganan Bank Century yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS; (2) Penanganan bank gagal tersebut dilakukan dengan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Keputusan Rapat KK tersebut selanjutnya dituangkan dalam Keputusan KK No. 01 /KK.01 /2008 tanggal 21 November 2008.
Atas keputusan tersebut, BPK tegas-tegas menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir, serta tidak berdasarkan kriteria yang terukur. Hasil analisis BPK terhadap proses assesment dampak sistemik oleh BI menunjukkan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapan MoU Uni Eropa, yaitu ada penambahan satu aspek berupa aspek psikologi pasar dalam pembuatan analisis dampak sistemik Bank Century oleh BI.
Selain itu, BI juga tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian terhadap dampak selain dampak pada institusi keuangan. Assessment pada masing-masing aspek lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung sejumlah kelemahan dalam penentuan indikatornya.
Proses pembuatan analisis dampak sistemik Bank Century oleh BI juga dinilai tergesa-gesa karena hanya dibuat dalam waktu dua hari, dengan menggunakan suatu metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah diujicobakan sebelumnya. Bahkan, data yang digunakan adalah data per 31 Oktober 2008 yang tidak mutakhir.
KSSK juga dinilai tidak mempunyai kriteria yang terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century. Pendekatan KSSK lebih didasarkan pada judgement. Dari aspek institusi keuangan terlihat bahwa size Bank Century tidak signifikan dibandingkan dengan industri perbankan secara nasional. Begitu juga dampaknya terhadap sektor riil.
Bahkan, aktiva antarbank Bank Century tercatat 24,28% dan pasiva antarbank-nya hanya 19,34%. Jadi, Bank Century mempunyai tagihan bersih sebesar 4,94% kepada bank-bank lain dalam hubungan pinjam-meminjam antarbank di pasar uang (inter bank call money market).
Sejumlah ekonom memang sulit menerima bahwa kegagalan Bank Century akan berdampak sistemik. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar