Hikayat Perang Sabil
Perang Sabil berasal dari kalimat jihad fi
sabilillah adalah sebutan untuk peperangan melawan musuh yang dianggap memusuhi
Islam. Seluruh perang melawan musuh Islam adalah perang sabil termasuk perang
Diponegoro di Jawa dan perang Aceh.
Kisah-kisah perang melawan Belanda di Aceh
tertulis dalam hikayat yang dikenal dengan nama Hikayat Perang Sabil atau
Hikayat Prang Sabi.
Di Aceh Hikayat Prang Sabi adalah nama yang
diberikan kepada sejumlah teks, baik yang diberi judul Hikayat Perang Sabil
maupun tidak, yang isinya membicarakan tentang perang sabil. Hikayat Perang
Sabil merupakan karya sastra perang karena memang diciptakan pada masa perang
dan memberi semangat kepada para prajurit untuk bertahan melawan musuh.
Hikayat dapat dikatakan sebagai sebuah kisah atau cerita naratif yang ditulis dalam bentuk berirama yang bertujuan untuk memberi nasihat dan semangat kepada orang-orang untuk terjun ke medan peperangan melawan orang-orang kafir. Isinya juga mengandung muatan ajaran dan petuah untuk bertakwa kepada Allah.
Berbeda dengan sastra Melayu yang mengenai hikayat sebagai prosa, dalam sastra Aceh hikayat adalah puisi di luar jenis pantun, nasihat, dan kisah. Hikayat ditulis dalam bentuk sajak. Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang artinya cerita, namun bagi orang Aceh tidak hanya berisi cerita fiksi belaka, tetapi berisi pula butir-butir yang menyangkut pengajaran moral.
Orang Aceh sangat senang mendengarkan pembacaan hikayat yang sampai pada awal abad 20 merupakan hiburan yang utama. Pembacaan hikayat perang sabil dilakukan sebelum orang maju ke medan pertempuran. Tradisi membaca hikayat sebelum orang terjun ke dalam peperangan adalah tradisi dalam kebudayaan Melayu. Ketika perang melawan Belanda, masyarakat Aceh membaca hikayat perang sabil di dayah-dayah atau pesantren, di meunasah, di rumah, maupun di tempat lain sebelum orang pergi berperang.
Sejauh ini baru diketahui dua naskah yang menyebut sumber hikayat perang sabil. Pertama adalah naskah dalam Bahasa Aceh tertulis pada 11 Sya'ban 1122H (5 Oktober 1710) yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Negeri Leiden Belanda. Meskipun nama pengarangnya tidak tercantum di dalam naskah hikayat perang sabil yang tertua itu, penggubahnya menyebutkan karangan yang disusunnya itu bersumber pada sebuah kitab berjudul Mukhtasar Muthiri'I-gharam. Pengarang juga menyebutkan bahwa sumber untuk menyusun kitab ini berasal dari Syaikh Ahmad Ibn Musa, yang mungkin sekali adalah penulis kitab Mukhtasar tersebut di atas.
Sumber yang kedua adalah hikayat perang sabil yang juga tertulis dalam Bahasa Aceh pada tahun 1834, beberapa puluh tahun sebelum pecahnya perang melawan Belanda pada tahun 1873. Meskipun nama pengarang juga tidak tersebut dalam naskah, namun penggubah hikayat ini menyebutkan bahwa sumbernya berasal dari kitab karangan ulama besar Syaikh Abdussamad al-Palimbani yang pada awal tahun 1760-an bertempat tinggal di Mekah. Syaikh Abdussamad al-Palimbani menulis berbagai kitab di Mekah. Salah satu di antaranya adalah Nasihat al-Muslimin atau lengkapnya Nasihat al-Muslimin wa Tadhkirat al-Mu'minin fi Fadha'il al-Jihad fi Sabilillah wa-Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah.
Dari segi genre atau jenis, Hikayat Perang Sabil mempunyai dua genre, yakni tambeh dan epos. Hikayat Prang Sabil bergenre tambeh kebanyakan ditulis oleh para ulama yang berisi nasihat, ajakan, dan seruan untuk terjun ke medan jihad fi sabilillah, menegakkan agama Allah dari rongrongan kafir demi mendapatkan imbalan pahala yang besar.
Hikayat Perang Sabil berjudul Hadzihi Qishshah Nafsiyyah yang merupakan saduran dari risalah Abdus Samad al-Palimbani berjudul Nashihatul Muslimin tersebut di atas adalah hikayat yang bergenre tambeh.
Sedangkan hikayat berjudul Hikayat Prang Sabi
adalah karya Teungku Chik Pante Kulu yang ditulis atas perintah kakaknya.
Diduga yang dimaksud dengan kakaknya tersebut adalah Teungku Cik Ditiro karena
pada tahun 1881 ia diangkat menjadi panglima perang sabilillah, sedangkan
Teungku Chik Pante Kulu sendiri merupakan tangan kanannya.
Sedangkan yang bergenre epos adalah hikayat yang melukiskan peristiwa perang yang berlangsung di berbagai tempat di Aceh. Hikayat ini menggambarkan keberanian dan keperkasaan perlawanan para pejuang Aceh hingga tewas sebagai syuhada.
Kisah-kisah kepahlawanan itu lalu dikisahkan dalam bentuk epos, seperti Hikayat Prang Sigli (1878), Hikayat Prang Geudong (1898), dan lain-lain. Dalam hikayat-hikayat perang yang terdapat di Aceh ini dikisahkan bahwa mati dalam berperang melawan Belanda yang dianggap kaphe (kafir) adalah mati syahid dan orang yang syahid akan diampuni segala dosanya serta dimasukkan oleh Allah ke dalam surga.
Dari segi isi, hikayat-hikayat perang sabil dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu: pertama, yang berisi anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan, dan kebahagiaan yang akan diraih. Kedua, yang berisi berita mengenai tokoh atau keadaan perang di suatu tempat yang patut disampaikan kepada masyarakat agar mendorong semangat orang-orang muslimin yang sedang berjihad. Ketiga, yang mencakup kedua kategori yang tersebut di atas. []
Sumber: Ensiklopedi NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar