Meluruskan Arah Kiblat
Bagi kaum muslimin mengetahui arah kiblat
merupakan sesuatu yang penting, sebab keabsahan ibadah shalat ditentukan oleh
ketepatan menentukan arah kiblat. Menghadap kiblat tidak sekadar menghadap ke
barat. Bisa jadi hal itu tepat, tetapi bisa keliru. Contohnya orang Jawa yang
bermigrasi ke Suriname Amerika Selatan berada di sebelah barat Ka’bah, tetapi
mereka tetap saja shalat menghadap barat, seperti ketika masih di Jawa. Mau tak
mau mereka akhirnya membelakangi Ka’bah, bukan menghadap ka’bah.
Di lingkungan masyarakat Islam Jawa sendiri
juga sering terjadi kekeliruan dalam menetapkan arah kiblat, terutama dalam
membangun masjid. Salah satunya yang dialami masyarakat Betawi (Jakarta) pada
abad ke-18. Alkisah setelah tugasnya belajar dan mengajar di tanah suci selesai
Kiai Arsyad Al banjari beserta rombongan antara lain Syech Abdussomad al
Palimbangi dan Daud al Patani, tidak langsung pulang ke Banjarmasin Kalimantan
Selatan, melainkan singgah dulu di Betawi.
Di ibukota itu mereka menguinjungi beberapa
ulama dan melakukan dakwah di berbagai masjid dan pesantren antara lain Masjid
Jami Jembatan Lima. Syeh Arsyad melihat arah kiblat Masjid tersebut terlalu
serong ke kiri, sehingga tidak tepat mengahap kiblat di Mekah, melainkan lebih
mengarah ke baitul Makdis Palestina.
Melihat itu segera sang kiai menemui imam
masjid. Tetapi usulan untuk menggeser arah kiblat tidak dihiraukan, karena
merasa sudah tepat arah. Akhirnya Kiai Banjar itu menunjukkan kesalahannya. Di
hadapan kiai dan para jamaah Syeh Arsyad menunjukkan yang sedang berada dalam
masjid itu mengangkat lengan menunjuk arah ka’bah yang sebenarnya. Saat itu
hadirin dibuat takjub sebab Ka’bah yang ada di Masjidil Haram itu kelihatan
sangat jelas dari Masjid mereka. Akhirnya sang imam beserta jamaah dengan suka
rela mengubah arah kiblat mereka.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 4
Shafar 1186 H atau 7 Mei 1772. Perubahan arah kiblat itu juga diikuti masjid
yang lain seperti mesjid Luar Batang dan Mesjid Pakojan. Selama beberapa bulan
ulama Banjar itu melakukan dakwah di Betawi, sehingga namanya sangat harum di
masyarakat, tidak urung kehadiran ulama besar itu membuat cemas pemerintah
Belanda, sebab khawatir sang ulama karismatik itu menyadarkan masyarakat untuk
melepaskan dari belenggu penjajahan, karena itu kegiatannya selalu diawasi. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar