Calon Independen: Bentuk Hukum
yang Diperlukan
Seperti dikemukakan pada edisi
kemarin, seandainya perspektif lain yang dicontohkan di atas yang dipergunakan
sebagai dasar putusan, maka putusan MK mengenai calon independen dalam pilkada
adalah salah—sekurang-kurangnya tidak lebih benar daripada seandainya MK
memutus bahwa pelarangan calon independen oleh UU No 32/2004 itu tidak
bertentangan dengan UUD. Tetapi benar atau salah,baik atau buruk, putusan MK
itu mengikat dan harus dilaksanakan. Soalnya, bagaimana bentuk hukum untuk
mengatur itu. Meski Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, bisa saja masalah
itu diatur dengan Peraturan KPU, tetapi itu harus ditolak. Walau dikatakan oleh
Ketua MK, tetapi itu bukanlah bagian dari putusan MK sehingga tidak harus
diikuti.
Prinsipnya
jelas, yang dibatalkan oleh MK adalah isi UU sehingga peraturan penggantinya
pun UU atau peraturan perundang-undangan yang selevel dengannya, yakni
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Sesuai dengan ketentuan
Pasal 22 UUD 1945 dan sesuai pula dengan isi Pasal 9 UU No 10/2004, perppu
adalah pengganti UU yang materinya sama dengan materi UU. Yang membedakan
keduanya adalah pembentukan dan masa berlakunya. Perppu dapat dikeluarkan sendiri
secara sepihak oleh presiden dengan alasan ada hal ihwal kegentingan yang
memaksa. Ukuran kegentingan yang memaksa itu bersifat subjektif. Artinya,
terserah pada pertimbangan subjektif presiden. Karena ukurannya subjektif dan
dibuat sepihak, maka masa berlaku perppu itu terbatas sampai masa sidang DPR
berikutnya. Pada masa sidang itu, lantas DPR dapat menerima atau menolak
Perppu. Jika DPR setuju, maka baju perppu diubah menjadi UU, tetapi kalau DPR
menolak, maka perppu itu harus dicabut.
Masuk
Prolegnas
Saat ini
sedang terjadi kontroversi tentang tindak lanjut putusan MK tersebut. Kalangan
civil society pada umumnya mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan
peraturan perundang- undangan untuk membuka pintu bagi tampilnya calon independen.
Namun kalangan DPR dan pemerintah belum satu suara, apakah mau dengan perppu
atau sekaligus merevisi UU No 32/2004. Menurut Pasal 15 UU No 10/2004, secara
prosedural pembuatan UU itu harus terlebih dulu masuk dalam program legislasi
nasional (prolegnas), yakni satu rencana pembuatan UU dalam satu periode (lima
tahunan) yang kemudian dipenggal-penggal lagi ke dalam prolegnas tahunan
sebagai prioritas yang akan dibahas.
Masalahnya,
sampai sekarang dalam prolegnas belum ada RUU terkait calon independen. Memang
ada RUU perubahan atas UU No 32/2004 dalam prolegnas, tetapi belum masuk dalam
prioritas, padahal keadaannya cukup mendesak.
Meski
begitu, ada empat alasan yang memungkinkan sebuah RUU baru disisipkan di dalam
prolegnas prioritas. Pertama, kalau ada perppu. Alasannya, jika ada perppu, mau
atau tidak mau harus disisipkan di dalam prolegnas prioritas untuk dibahas pada
masa sidang berikutnya. Kedua, kalau ada putusan MK yang menyebabkan terjadinya
kekosongan hukum. Kalau ada putusan MK yang seperti itu,maka dapat segera
dibuat RUU yang dapat disisipkan di dalam prolegnas prioritas. Ketiga, kalau
ada perjanjian internasional yang harus segera diratifikasi oleh DPR dengan UU.
Keempat, kalau ada situasi yang mendesak atau memaksa yang harus diselesaikan
dengan UU.
Baju
Hukum Apa?
Berdasarkan
hal-hal tersebut, sebenarnya sudah cukup alasan untuk segera memberi baju hukum
bagi “perintah” pembukaan peluang calon perseorangan itu. Adanya putusan MK itu
sendiri sudah menuntut dibentuknya baju hukum untuk membuka peluang bagi calon
independen agar segera mengisi kebutuhan (kekosongan) hukum. Adanya tuntutan,
bahkan dengan demo-demo yang panas di berbagai daerah, adanya KPUD-KPUD yang
mendesak agar segera dibentuk peraturan perundangundangan tentang calon
independen, bahkan adanya KPUD yang nekat menerima pendaftaran calon independen
dapat dipandang juga sebagai keadaan yang mendesak sebagai konsekuensi dari
putusan MK. Dengan alasan-alasan tersebut, pemerintah dapat memilih baju atau
bentuk hukum—bisa dengan UU bisa juga dengan perppu.
Jika
pemerintah mau mengeluarkan perppu tak perlu khawatir persoalan hukum maupun
alasannya, sebab alasan perppu memang subjektif pada presiden dan
kelangsungannya dibatasi sampai masa sidang DPR berikutnya. Ada yang mengatakan
bahwa masalah ini sulit diatur dengan perppu karena akan muncul berbagai
komplikasi jika ternyata nantinya perppu tersebut ditolak DPR, padahal sudah
telanjur berjalan dan menimbulkan akibat-akibat hukum. Tapi kekhawatiran ini
tidak benar karena sebuah perppu yang ditolak tidak dapat membatalkan apa yang
telah dilaksanakan sebelum perppu itu dibatalkan. Soal akibat hukum yang
terlanjur terjadi sebelum perppu dicabut, maka menurut Pasal 36 ayat (4) UU No
10/2004, jika sebuah perppu ditolak oleh DPR, presiden mengajukan RUU
pencabutan perppu yang memuat juga penyelesaian masalah yang telanjur timbul
(jika ada).
Memang,
lebih baik masalah ini langsung diberi bentuk UU agar bisa langsung mempunyai
bentuk hukum yang final tanpa harus melalui bentuk hukum antara.Yang penting
masalah ini dapat segera diselesaikan secara fair. Soalnya, bagaimana kita
dapat menyelesaikan UU ini dalam waktu cepat. Saya mengusulkan agar penuangan
ketentuan tentang calon independen ini dalam UU maupun di dalam perppu cukup
dengan memuat pencabutan satu pasal di dalam UU No 32/2004, yakni Pasal 59.
Jika
semula calon kepala daerah/ wakil kepala daerah harus melalui parpol atau
gabungan parpol, maka ketentuan yang ada di dalam Pasal 59 itu dicabut dan
diganti dengan ketentuan bahwa calon kepala daerah/wakil kepala daerah dapat
maju secara perseorangan dengan dukungan sejumlah minimal (persentase) pemilih
tertentu. Hal-hal lain yang bersifat teknis (misalnya validasi pendukung) dapat
didelegasikan untuk diatur oleh KPU dan atau dengan PP. Revisi yang lebih
komprehensif atas UU No 32/2004 dapat dilakukan belakangan dalam waktu yang
lebih leluasa karena perubahan komprehensif itu memerlukan waktu lama. []
Dimuat di
Koran Seputar Indonesia
Moh.
Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar