Karpet Tak Oneng Hujan Tak Henti
Senin, 22 Juli 2013
Hujan masih terus turun hingga hari ini.
Padahal, ini sudah Juli. Padahal, ini sudah tanggal 22. Sudah hampir Agustus.
Ada yang senang dengan anomali cuaca ini. Misalnya, petani padi. Mereka bisa
panen tiga kali setahun.
Bisa jadi tahun ini
produksi beras kita benar-benar melimpah sehingga tidak perlu lagi impor. Asal
tidak ada hama yang tiba-tiba mewabah di sawah-sawah kita.
Hama memang sulit
diduga. Minggu lalu seorang petani di Kulon Progo, yang saya pernah bermalam di
rumahnya, mengirim SMS: ada serangan hama tikus di Jogja. Hari itu juga saya
minta Brigade Pemberantasan Hama BUMN di bawah kendali PT Pupuk Indonesia
bergerak.
Ternyata benar.
Serangan hama tikus itu menyerbu Godean, Jogja, kampung asal almarhum Pak Harto
itu.
Saat ini mereka terus
bekerja bersama para petani untuk melawan tikus-tikus di sawah. Saya juga akan
ke sana untuk melihat hasil kerja brigade antihama itu.
Orang yang lagi
berpuasa juga senang dengan dinginnya cuaca. Tidak mudah haus. PLN juga senang
dengan kondisi ini karena pemakaian listrik turun. Listrik tidak banyak
“menguap” oleh cuaca panas, dan tidak terlalu banyak digunakan untuk AC. Beda
pemakaian listrik di musim hujan dan musim panas bisa mencapai 300 MW. Itu
hanya untuk Jawa.
Tentu gara-gara hujan
yang tidak berhenti-berhenti ini banyak juga yang sedih: petani garam, petani
tebu, dan petani tembakau. Petani garam di Madura sangat terpukul.
Minggu kemarin saya
berkunjung ke pusat perladangan garam di Sampang. Sejauh mata memandang yang
terlihat hanya hamparan ladang tanpa garam. Padahal, seharusnya, bila cuaca
normal, kawasan ini akan menjadi hamparan kristal yang berkilau-kilau seperti
tanpa batas.
“Tahun ini sudah
pasti produksi garam merosot sampai 40 persen,” ujar Slamet Untung Iradenta,
komisaris utama PT Garam (Persero), yang mendampingi saya ke Pamekasan dan
Sampang.
Di Pamekasan, setelah
bertemu para ulama di Pondok Pesantren Al Hamidy, Banyuanyar, di bawah pimpinan
KH Mohammad Rofi”i, saya bertemu 500 petani garam dari Sumenep dan Pamekasan.
Saya berdialog dan bercanda bersama mereka dengan serunya di Pendapa Kabupaten
Pamekasan. Sampai-sampai saya dipaksa untuk mau digendong seorang petani yang
badannya kekar di pendapa itu.
Dari Pamekasan saya
menuju Sampang untuk salat Tarawih di Masjid Jami”. Rasanya, inilah
satu-satunya Masjid Jami” yang memiliki pesantren Tahfidzul Qur”an, pesantren
khusus untuk menghafal Alquran. Lalu saya berdialog dengan para ulama di
Pesantren Al Ihsan, Jrangoan, di bawah pimpinan KH Machrus sampai jauh malam
dan bermalam di pesantren itu. Minggu pagi saya berdialog dengan 500 petani
garam di pusat penggaraman Pangarengan.
BUMN memang berniat
membantu meningkatkan produksi garam rakyat di Madura. Tahap pertama dilakukan
tahun ini untuk 1.000 petani garam yang paling miskin. Caranya: memberikan
pinjaman tanpa bunga untuk modernisasi ladang garam. Yakni, biaya untuk membeli
geomembran.
Dengan pemasangan
geomembran itu produksi garam bisa meningkat. Proses produksi juga bisa lebih
cepat dan seluruh garam yang dihasilkan berkualitas nomor satu. Tidak ada lagi
garam bercampur tanah karena letaknya paling bawah. Geomembran itulah yang
dihampar di dasar ladang garam.
“Bapak pernah tahu
geomembran?” tanya saya kepada petani yang saya minta maju ke panggung.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib, petani garam itu.
“Pernah melihat geomembran?” tanya saya lagi.
“Tak oneng,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
“Pernah mendengar kata geomembran?” tanya saya.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib.
Saya agak heran
dengan jawaban yang serba tidak itu. Padahal, di kawasan itu PT Garam sudah
lebih setahun memasang geomembran seluas 300 hektare. Hasilnya pun luar biasa.
Ladang garam yang dulu-dulu hanya bisa menghasilkan 70 ton per hektare, setelah
dipasangi geomembran bisa menghasilkan 130 ton per hektare.
PT Garam juga tidak
direpotkan lagi oleh garam kualitas 1, kualitas 2, dan kualitas 3 yang harganya
sangat jatuh itu. Semua garam produksi PT Garam adalah garam kualitas premium.
Setelah membuktikan
keberhasilan itu saya minta PT Garam mengajak petani garam untuk melihat dan
menyaksikan praktik modernisasi ladang garam itu. Saya juga minta PT Garam
menghimpun 1.000 petani garam termiskin untuk diajak memasang geomembran.
Tentu para petani
yang hadir di acara dialog tersebut tertawa riuh ketika Pak Tholib menjawab
serba “tak oneng”.
Lalu seorang ibu
memberanikan diri untuk menjelaskan kepada saya. “Di sini geomembran itu
disebut karpet, Pak Menteri,” katanya.
Semua yang hadir pun
kembali tertawa riuh. Ternyata Pak Tholib sudah “oneng” geomembran. Bahkan, Pak
Tholib dan semua yang hadir di situ sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa
geomembran, eh, karpet itu akan membuat produksi meningkat, biaya produksi
turun, dan menghasilkan garam dengan kualitas yang lebih baik.
Total pinjaman tanpa bunga
yang dipergunakan untuk membeli karpet bagi 1.000 petani garam termiskin di
Madura itu mencapai Rp 32 miliar. Dananya dari berbagai perusahaan BUMN yang
kuat. Mereka akan mengembalikannya selama lima tahun.
Secara bisnis, petani
sebenarnya sudah bisa melunasinya selama dua tahun. Selisih jumlah produksinya
begitu besar sehingga hitungannya sangat jelas. Namun, pengembalian selama lima
tahun akan lebih meringankan mereka. PT Garam akan mengoordinasikan
pengembalian itu dan kelak dipergunakan untuk melakukan membranisasi, eh,
karpetisasi, di tambak-tambak garam milik petani lainnya.
Di akhir dialog,
tiba-tiba seorang anak muda (rupanya penggemar Liverpool) berlari menuju
panggung minta bicara. Setelah mengajak tost sebagai sesama penggemar
Liverpool, dia bicara mewakili bapaknya.
“Pak, setelah
produksi garam nanti meningkat, harganya pasti jatuh,” katanya. “Untuk apa
diadakan peningkatan produksi kalau harganya jatuh. Sama saja. Produksi rendah
harga baik. Produksi bertambah harga turun,” katanya.
Persoalan ini juga
yang disampaikan para petani garam saat berdialog di Pamekasan sehari
sebelumnya. Harga garam, di saat panen, hanya Rp 500 per kilogram. “Parkir
sepeda motor saja sudah Rp 1.000. Masak hasil petani garam yang demikian susah
lebih murah daripada parkir motor,” kata seorang petani dari Sumenep.
“Memang, garam adalah
komoditas yang harganya paling jelek di antara komoditas lain,” ujar Slamet
Untung Iradenta yang pernah menjabat Dirut PT Garam.
Sudah lama Slamet
mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga stabilisasi harga garam. Dana
yang diperlukan hanya Rp 500 miliar. Yang tertolong jutaan orang. Dana itu pun
tidak akan hilang karena terus berputar. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar