Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
SETELAH lebih dari satu dasawarsa dibiarkan berselimut konflik, sudah waktunya negara berinisiatif dan pro aktif menormalisasi kehidupan di Poso. Saat ini, negara dinilai lemah karena terus menunjukan sikap kurang peduli terhadap ketidakpastian masa depan Poso.
Ledakkan bom bunuh diri di halaman Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, pada 3 Juni 2013 lalu, jelas-jelas menunjukan Poso masih jauh dari kondusif. Sebagian kalangan, barangkali, lebih tertarik untuk mengetahui orang atau kelompok yang berada dibalik ledakan itu. Tetapi, bagi kepentingan warga Poso dan juga kepentingan bangsa, pelaku ledakan bukan lagi menjadi soal utama. Persoalan utamanya adalah mengapa Poso dan warganya harus dibiarkan sekian lama terperangkap dalam suasana konflik dan ketidakpastian?
Mengapa juga negara tega membiarkan korban jiwa terus berjatuhan, baik korban dari warga sipil maupun korban dari kalangan aparat negara? Lalu, mengapa negara tidak bisa mengeliminasi kelompok-kelompok masyarakat yang melengkapi diri mereka dengan kekuatan bersenjata dan peralatan perang lainnya?
Sudah lama muncul keyakinan di benak masyarakat kebanyakan bahwa kalau penyelenggara negara di Jakarta peduli dan punya kemauan politik, normalisasi Poso sudah terwujud sejak lama. Dalam arti, nasib dan status Poso sebagai wilayah konflik tidak akan berlarut-larut seperti sekarang. Oleh karena Poso dibiarkan seperti kondisinya yang sekarang ini, beberapa kalangan pun yakin ada yang berkepentingan dengan kekacauan di Poso. Anggapan ini muncul berdasarkan keyakinan bahwa negara sesungguhnya sangat mampu menormalisasi kehidupan di Poso.
Penyisiran polisi pasca ledakan awal Juni lalu tidak mengagetkan. Di Gunung Koroncopu, Kecamatan Poso Pesisir Utara, polisi menemukan peralatan perang seperti amunisi, bom rakitan, senjata api organik, alat pengintai, penunjuk arah, alat komunikasi, dan pakaian loreng. Juga ditemukan tanda-tanda yang menunjukan sejumlah wilayah di Poso pernah dijadikan tempat pelatihan, antara lain di Gunung Koroncopu, Gunung Biru dan Desa Malino di perbatasan Poso - Morowali.
Semua temuan itu sudah barang tentu tidak mengejutkan, karena konflik berkelanjutan di Poso sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Oleh karena rentang waktu konflik yang sudah sedemikian lama, mereka yang terlibat dalam konflik - bersama para pendukugnya yang berdatangan dari luar Poso - sudah barang pasti membangun basis pertahanan, fasilitas latihan tempur hingga sarana lain untuk memperkuat logistik.
Konflik horizontal di Poso meletus pada Desember 1998 usai pemilihan bupati. Sebelumnya, Poso memang sempat menarik perhatian Jakarta, ketika terjadi konflik horizontal pada 1992 dan 1995. Pada dua konflik ini, rezim Orba bertindak tegas. Konflik pada 1998 berlanjut pada bulan Mei tahun 2000. Tahun 2001, meletus lagi dua konfikm yakni bulan Juli dan November . Setelah itu, rangkaian aksi kekerasan seakan menjadi bagian tak terpisah dari dinamika Poso, Eskalasi kekerasan terjadi pada 2006, ketika polisi berusaha melumpuhkan kelompok-kelompok sipil bersenjata.
Situasinya sempat sangat rumit. Di satu sisi, aparat negara berusaha meredam konflik yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat setempat, tetapi di sisi lain polisi justru mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok lain yang pada waktu itu sulit diidentifikasi. Belakangan, setelah beberapa kawasan di Poso diketahui sebagai tempat latihan bagi pelaku teror, identitas pelaku penyerangan terhadap polisi mulai terungkap.
Perlawanan terhadap aparatur negara itu dipertegas dengan pembunuhan polisi serta ledakan bom bunuh diri di halaman Mapolres Poso baru-baru ini. Dengan demikian, Poso memerlukan penanganan khusus karena norma hukum tidak dipatuhi lagi.
Mau berapa lama lagi toleransi diberikan kepada para pengacau di Poso? Negara tidak boleh lagi hanya berdiam diri melihat Poso diporakporanda oleh badai konflik yang berkepanjangan.
Inisiatif Pusat
Hubungan memburuk antarkomunitas di Poso awalnya hanya dipicu masalah sepele, yakni perkelahian antarpemuda dari dua kampung yang berbeda. Persoalannya menjadi semakin serius ketika aneka persoalan hidup keseharian dikait-kaitkan dengan masalah agama, termasuk masalah politik lokal. Inilah akar dari konflik berkepanjangan yang tak perlu ditutup-tutupi. Warga Poso sendiri memang berasal dari berbagai daerah. Kemajemukan yang tidak dikelola dengan baik memang bisa memunculkan potensi konfik.
Kalau akar konfliknya masalah keagamaan, pendekatan keamanan saja sudah pasti tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Untuk menuntaskan persoalan Poso, pemerintah di Jakarta dituntut memahami latarbelakang permasalalahan secara komprehensif.
Opsi pertama dan paling utama yang harus ditawarkan kepada semua elemen warga Poso adalah dialog untuk mengakhiri kekerasan. Kemudian, berdasarkan kesepakatan dengan semua elemen warga, aparat negara diberi wewenang dan akses untuk menarik semua jenis senjata api dari warga sipil (Disarmament).
Pemilikan senjata api secara ilegal mempermudah terjadinya eskalasi kekerasan. Bahkan kekerasan yang mematikan Karena itu, untuk mereduksi (deeskalasi) kekerasan, pemilikan senjata api oleh warga sipil tidak boleh dibenarkan. Penggunaan atau membawa senjata tajam di ruang publik pun hendaknya dilarang.
Sangat elegan jika warga dari semua kelompok yang bertikai menyerahkan senjata mereka kepada aparatur negara dengan sukarela. Selain itu, semua elemen masyarakat Poso perlu bersepakat dan bekerjasama dengan pemerintah mengusir anasir-anasir yang selama ini memprovokasi kekerasan atau konflik di Poso. Terutama, kelompok-kelompok yang ingin menjadikan Poso sebagai basis pelatihan terorisme. Kalau Poso tidak bersih dari kegiatan terorisme, sangat sulit bagi masyarakaat setempat untuk memulihkan kehidupan dan membangun masa depannya.
Kalau diasumsikan bahwa pemerintah daerah setempat sudah tak mampu mendamaikan kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai, sudah selayaknya prakarsa dialog diinisiasi pemerintah pusat, berdasarkan atau menggunakan semua kewenangan yang ada padanya. Tentu saja demi persatuan dan kesatuan, demi ketenteraman warga Poso , serta demi stabilitas nasional. Untuk semua tujuan mulia ini, pemerintah pusat harus mampu mendorong semua elemen masyarakat Poso untuk bermusyawarah dan bermufakat mengakhiri kekerasan.
Membiarkan Poso dengan kondisinya seperti sekarang ini sangat merugikan pemerintah. Sebab, publik akan selalu beranggapan pemerintah lemah karena tak mampu menormalisasi kehidupan di Poso. Kalau anggapan tentang Poso sebagai daerah konflik tidak segera diakhiri, citra negara tak akan pernah membaik. Kalau Poso terus dibiarkan sebagai wilayah pertempuran antara para terduga teroris dengan Polri dan TNI, sangat sulit bagi warga Poso dan kabupaten lain di sekitarnya membangun atau mengembangkan potensi daerah. Lebih dari itu, negara patut dianggap melakukan kesalahan atau melanggar undang-undang karena membiarkan warga Poso dan sekitarnya terus dihantui rasa takut dan cemas oleh kemungkinan meletusnya konflik lanjutan, maupun serangan bom bunuh diri sebagaimana yang terjadi baru-baru ini.
Oleh karena itu, sikap kurang peduli pemerintah pusat terhadap ketidakpastian di Poso harus dihentikan. Upaya pemulihan di Poso melalui pendekatan APBN/APBD plus penempatan pasukan keamanan yang dieskalasi sudah terbukti belum bisa menyelesaikan masalah. Berarti, harus dicari bentuk pendekatan lain yang lebih efektif. Kemauan dan keberanian memprakarsai dialog antarelemen warga Poso barangkali akan menjadi pendekatan awal yang konstruktif untuk mengakhiri ketidakpastian masa depan Poso. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar