Selasa, 02 Juli 2013

Mahfud MD: Pendidikan Yang Tak Membebaskan


Pendidikan Yang Tak Membebaskan

 

Seperti biasanya, saat berpidato Gus Dur lebih banyak membanyol dan mengajak ger-geran. Demikian pula yang terjadi saat menyampaikan orasi budaya pada peringatan hari lahir ketiga The Wahid Institute pada 8 September 2009 lalu. Dalam orasi yang disampaikan sekitar satu jam itu, Gus Dur banyak menyampaikan humor-humor segar. Meski begitu, tetap semuanya tertuju pada satu pesan, yakni keharusan kita menerima perbedaan sebagai keniscayaan.

 

Perburuan Ijazah

 

Selain itu, Gus Dur menyinggung juga satu hal penting, yakni kesalahan konsepsi pendidikan kita yang dikatakannya berjalan di atas konsepsi yang salah sehingga tidak mampu membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan.

 

Letak kesalahannya adalah karena pendidikan kita menekankan pada ijazah formal, bukan pada substansinya untuk memanusiakan manusia. Dengan sistem pendidikan yang menekankan pada ”ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, jabatan seseorang di tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya, bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah formal yang dimiliki seseorang, semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan ukuran ijazah tertentu.

 

Betapa pun seseorang itu bodoh, jika memiliki ijazah sekolah formal, dia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya, betapapun pandai seseorang, biasanya sulit menduduki jabatan pemerintahan jika tak punya ijazah formal dari sekolah. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti itu, di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal hanya karena ingin gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah bukan untuk mencari ilmu, tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk mendapat kedudukan.

 

Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak terlalu penting. Jangan heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita memburu ijazah dengan cara haram. Ada yang memiliki ijazah doktor dengan hanya kuliah setengah bulan. Ada yang berangkat umrah selama 10 hari, tetapi pulangnya mampir di sebuah hotel di Singapura untuk diwisuda sebagai doktor atau master dari universitas yang sebenarnya hanya papan nama. Pada ujung 2005, kita diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, dan pegawai negeri yang ternyata menggunakan ijazah aspal. Wapres Jusuf Kalla pernah menyatakan keheranannya karena banyak anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati dan wali kota yang tiba-tiba mempunyai gelar master dan doktor tanpa pernah diketahui kapan dan di mana mereka masuk universitas.

 

Bahkan, ada orang yang tiba-tiba menjadi profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya bisa diraih jika seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan kompetensi tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal tertentu pula. Angka kredit prestasi itu harus dikumpulkan dari bidang pendidikan dan pengajaran, bidang penelitian dan karya tulis ilmiah, bidang pengabdian pada masyarakat, dan bidang penunjang lain. Tak tanggungtanggung, angka kredit kumulatif yang diperlukan untuk jabatan profesor minimal 850 kredit untuk profesor madya dan 1.000 kredit untuk profesor.

 

Bagaimana seorang bupati, birokrat, atau juru dakwah yang tak pernah mengajar, tak pernah meneliti atau menulis (kecuali pidatonya yang dituliskan staf), bisa tiba-tiba menjadi profesor? Polri pernah membongkar beberapa lembaga pendidikan yang sudah mengeluarkan hampir 30.000 ijazah aspal tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut penanganannya secara hukum. Mengapa? Karena di kalangan Polri sendiri, juga di TNI dan birokrasi pemerintahan, disinyalir banyak juga yang menggunakan ijazah instan ini untuk gagah-gagahan maupun untuk promosi jabatan.

 

Deschooling Society

 

Tampak sekali bahwa apa yang dipidatokan Gus Dur sambil ger-geran di The Wahid Institute itu merupakan persoalan bangsa yang sangat serius yang selama ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah kita. Gus Dur melihat bahwa pendidikan yang berorientasi pada formalitas ijazah hanyalah pendidikan tipu-tipuan yang tidak pernah dapat membebaskan masyarakat dari keterbelakangan dan kebodohan. Itu pula sebabnya kita tak dapat bertanya tentang ijazah yang dimiliki Gus Dur. Gus Dur sendiri sudah pernah memimpin Universitas di Jombang, sudah pernah belajar di beberapa universitas di luar negeri, seperti di Mesir, Baghdad, Canada, Australia, dan lain-lain, tetapi tak pernah mengambil ijazahnya.

 

Yang dia ambil adalah ilmunya, soal ijazahnya tak dihiraukan. Namun tak seorang pun meragukan kualitas keilmuan dan akademik Gus Dur. Gus Dur juga mendapat lebih dari sepuluh doktor honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di Prancis, Amerika, Jepang, Korea, dan sebagainya. Kalau ditanyakan, Gus Dur sendiri tak hirau dengan gelar-gelar honoris causa itu, bahkan sepertinya tak peduli di mana ijazah-ijazah kehormatan itu disimpannya. Pandangan Gus Dur yang seperti ini secara substantif sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Ivan Illich melalui buku Deschooling Society yang mengusulkan pembentukan ”masyarakat bebas sekolah”. Kata Illich,yang diperlukan adalah pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sekolah yang hanya mengeluarkan ijazah.

 

Sistem pendidikan formal dengan berbagai jenis dan jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang kemudian menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan dalam masyarakat karena dengan ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak orang yang hanya ingin mendapat ijazah, tetapi tidak ingin mendapat, apalagi mengembangkan, ilmu. Untuk ini, ijazah bisa dicari dengan berbagai cara—termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukan—yang kemudian dijadikan syarat menduduki jabatan penting di negeri ini. Tentu kita tidak harus mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah.

 

Sekolah dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, lembaga pendidikan harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak sekadar menjadi tempat jual-beli ijazah. []

 

Dimuat di Koran Seputar Indonesia

 

Moh. Mahfud MD, Akademisi

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar