Pendidikan Yang Tak Membebaskan
Seperti biasanya, saat berpidato
Gus Dur lebih banyak membanyol dan mengajak ger-geran. Demikian pula yang
terjadi saat menyampaikan orasi budaya pada peringatan hari lahir ketiga The
Wahid Institute pada 8 September 2009 lalu. Dalam orasi yang disampaikan
sekitar satu jam itu, Gus Dur banyak menyampaikan humor-humor segar. Meski
begitu, tetap semuanya tertuju pada satu pesan, yakni keharusan kita menerima
perbedaan sebagai keniscayaan.
Perburuan
Ijazah
Selain
itu, Gus Dur menyinggung juga satu hal penting, yakni kesalahan konsepsi
pendidikan kita yang dikatakannya berjalan di atas konsepsi yang salah sehingga
tidak mampu membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan.
Letak
kesalahannya adalah karena pendidikan kita menekankan pada ijazah formal, bukan
pada substansinya untuk memanusiakan manusia. Dengan sistem pendidikan yang
menekankan pada ”ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, jabatan
seseorang di tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang
dimilikinya, bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin
tinggi ijazah formal yang dimiliki seseorang, semakin tinggi kedudukannya dalam
masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi di
tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan ukuran
ijazah tertentu.
Betapa
pun seseorang itu bodoh, jika memiliki ijazah sekolah formal, dia bisa meraih
jabatan-jabatan penting. Sebaliknya, betapapun pandai seseorang, biasanya sulit
menduduki jabatan pemerintahan jika tak punya ijazah formal dari sekolah.
Akibat konsepsi pendidikan yang seperti itu, di negara kita banyak sekali orang
memburu ijazah formal hanya karena ingin gengsi-gengsian dan mendapat jabatan
resmi. Orang belajar ke sekolah bukan untuk mencari ilmu, tetapi untuk mencari
ijazah demi syarat formal untuk mendapat kedudukan.
Mutu
pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak terlalu penting. Jangan heran
kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita memburu ijazah dengan cara
haram. Ada yang memiliki ijazah doktor dengan hanya kuliah setengah bulan. Ada
yang berangkat umrah selama 10 hari, tetapi pulangnya mampir di sebuah hotel di
Singapura untuk diwisuda sebagai doktor atau master dari universitas yang
sebenarnya hanya papan nama. Pada ujung 2005, kita diributkan oleh ditemukannya
banyak pejabat, pengusaha, dan pegawai negeri yang ternyata menggunakan ijazah
aspal. Wapres Jusuf Kalla pernah menyatakan keheranannya karena banyak anggota
DPR, DPRD, gubernur, bupati dan wali kota yang tiba-tiba mempunyai gelar master
dan doktor tanpa pernah diketahui kapan dan di mana mereka masuk universitas.
Bahkan,
ada orang yang tiba-tiba menjadi profesor, padahal profesor adalah jabatan
akademik yang hanya bisa diraih jika seseorang mengajar di perguruan tinggi
dalam minimal waktu dan kompetensi tertentu dengan mengumpulkan angka kredit
prestasi minimal tertentu pula. Angka kredit prestasi itu harus dikumpulkan
dari bidang pendidikan dan pengajaran, bidang penelitian dan karya tulis
ilmiah, bidang pengabdian pada masyarakat, dan bidang penunjang lain. Tak
tanggungtanggung, angka kredit kumulatif yang diperlukan untuk jabatan profesor
minimal 850 kredit untuk profesor madya dan 1.000 kredit untuk profesor.
Bagaimana
seorang bupati, birokrat, atau juru dakwah yang tak pernah mengajar, tak pernah
meneliti atau menulis (kecuali pidatonya yang dituliskan staf), bisa tiba-tiba
menjadi profesor? Polri pernah membongkar beberapa lembaga pendidikan yang
sudah mengeluarkan hampir 30.000 ijazah aspal tetapi sampai sekarang tidak ada
tindak lanjut penanganannya secara hukum. Mengapa? Karena di kalangan Polri
sendiri, juga di TNI dan birokrasi pemerintahan, disinyalir banyak juga yang
menggunakan ijazah instan ini untuk gagah-gagahan maupun untuk promosi jabatan.
Deschooling
Society
Tampak
sekali bahwa apa yang dipidatokan Gus Dur sambil ger-geran di The Wahid
Institute itu merupakan persoalan bangsa yang sangat serius yang selama ini
tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah kita. Gus Dur melihat bahwa
pendidikan yang berorientasi pada formalitas ijazah hanyalah pendidikan
tipu-tipuan yang tidak pernah dapat membebaskan masyarakat dari keterbelakangan
dan kebodohan. Itu pula sebabnya kita tak dapat bertanya tentang ijazah yang
dimiliki Gus Dur. Gus Dur sendiri sudah pernah memimpin Universitas di Jombang,
sudah pernah belajar di beberapa universitas di luar negeri, seperti di Mesir,
Baghdad, Canada, Australia, dan lain-lain, tetapi tak pernah mengambil
ijazahnya.
Yang dia
ambil adalah ilmunya, soal ijazahnya tak dihiraukan. Namun tak seorang pun
meragukan kualitas keilmuan dan akademik Gus Dur. Gus Dur juga mendapat lebih
dari sepuluh doktor honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di
Prancis, Amerika, Jepang, Korea, dan sebagainya. Kalau ditanyakan, Gus Dur
sendiri tak hirau dengan gelar-gelar honoris causa itu, bahkan sepertinya tak
peduli di mana ijazah-ijazah kehormatan itu disimpannya. Pandangan Gus Dur yang
seperti ini secara substantif sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Ivan
Illich melalui buku Deschooling Society yang mengusulkan pembentukan
”masyarakat bebas sekolah”. Kata Illich,yang diperlukan adalah pendidikan yang
membebaskan manusia, bukan sekolah yang hanya mengeluarkan ijazah.
Sistem
pendidikan formal dengan berbagai jenis dan jenjang sekolah, menurut Illich,
hanya memproduksi ijazah yang kemudian menciptakan kasta-kasta dan
ketidakadilan dalam masyarakat karena dengan ijazah sekolah itulah kedudukan
seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak orang yang hanya ingin mendapat
ijazah, tetapi tidak ingin mendapat, apalagi mengembangkan, ilmu. Untuk ini, ijazah
bisa dicari dengan berbagai cara—termasuk dengan membeli, menyuap, dan
memalsukan—yang kemudian dijadikan syarat menduduki jabatan penting di negeri
ini. Tentu kita tidak harus mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang
bebas sekolah.
Sekolah dengan
berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah tetap
diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun, lembaga pendidikan harus dikontrol dan
diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak sekadar menjadi tempat jual-beli
ijazah. []
Dimuat di
Koran Seputar Indonesia
Moh. Mahfud MD,
Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar