Keroyokan Infrastruktur Lagi untuk Peluang
Baru
Senin, 08 Juli 2013
Membangun infrastruktur secara keroyokan
kembali dilakukan. Kali ini di Medan. Tepatnya di Pelabuhan Belawan milik PT
Pelindo I (Persero).
Selasa pagi lalu, di langit terbuka yang cerah di dermaga yang sudah sangat rapi, Direktur Utama (Dirut) Pelindo I Alfred Natsir bersama Dirut PT Hutama Karya (Persero) Tri Widjajanto Joedosastro dan Dirut PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Bintang Perbowo menandatangani perjanjian kerja sama pembangunan dermaga baru senilai Rp 1,9 triliun. Tiga ribu orang yang baru saja senam bersama saya di dermaga itu ikut bertepuk tangan menyaksikannya.
Itulah dermaga baru yang akan jadi unggulan Pelabuhan Belawan. Itulah dermaga baru yang kedalamannya mencapai 14 meter. Itulah dermaga baru yang dibangun setelah 27 tahun lamanya tidak pernah ada pembangunan di Belawan.
Tahun ini juga keroyokan itu dimulai. Tidak banyak prosedur dan liku-liku. Semuanya BUMN: dananya, desainnya, kontraktornya, dan operatornya. Saya memang terus mendorong sistem keroyokan seperti ini agar berbagai infrastruktur segera terwujud.
Bagi BUMN Karya pekerjaan ini juga penting agar banyak proyek bisa dikerjakan tanpa, misalnya, harus nyogok sana nyogok sini. Bertriliun-triliun nilai proyek bisa dikerjakan dengan cara yang tidak kotor seperti di masa lalu. Sekaligus cara ini bisa menjadi jalan pertobatan bagi BUMN Karya yang selama ini dikenal suka main-main proyek pemerintah.
Pelindo I sendiri belakangan memang mengalami kemajuan yang nyata. Laba tahun lalu naik tiga kali lipat menjadi hampir Rp 300 miliar. Sengketa-sengketa dengan pihak ketiga banyak yang selesai dengan pendekatan yang bijaksana. Gudang-gudang lama yang kumuh dan tidak maksimal penggunaannya sudah dibersihkan.
Dermaga kapal penumpangnya dibangun baru di lokasi yang lebih dekat ke stasiun kereta api dan lebih dekat dengan akses ke masyarakat lainnya. Dermaga penumpang yang lama bisa untuk perluasan pelabuhan barang dengan posisi yang utuh dan menyatu.
Dan yang selalu saya puji adalah ini: kejelian direksinya untuk melihat peluang baru. “Kami sudah berhasil mendapatkan hak memandu kapal di Tanjung Ucang,” ujar Alfred Natsir. Selama ini kapal-kapal yang melintas di sekitar Tanjung Ucang, tidak jauh dari Batam, dipandu dari Singapura atau Malaysia. Padahal, itu wilayah perairan Indonesia.
Alfred sudah mengajukan lagi dua izin untuk pemanduan yang sama di dua kawasan lain di sekitar Karimun dan Senipah. Di dua perairan Indonesia dekat Selat Malaka itu, sampai hari ini, kapal-kapal juga masih dipandu dari Singapura dan Malaysia.
“Cita-cita kami selanjutnya lebih besar,” ujar Alfred. “Bisa ikut memandu kapal-kapal di Selat Malaka,” katanya lagi.
Kalau izin itu sudah
dirinya peroleh, Alfred akan mengajak Pelindo-Pelindo lain untuk mengerjakan
pekerjaan besar tersebut. Agar hak pemanduan di Selat Malaka bisa dilakukan
pihak Indonesia dalam posisi agak seimbang dengan Singapura dan Malaysia.
“Tidak usah seimbang lah. Bisa ambil 10 persennya saja sudah luar biasa,” ucap
Alfred.
Izin itu mestinya tidak sulit. Yang mengeluarkannya adalah Kementerian Perhubungan kita. Alfred terus melakukan usaha untuk mendapatkannya. Termasuk meningkatkan kemampuan diri agar tidak ada alasan untuk tidak bisa mendapatkan kepercayaan itu.
Alfred masih punya pekerjaan besar lain: membangun pelabuhan khusus minyak sawit (CPO) di Kuala Tanjung, sekitar 200 km dari Medan. Inilah pelabuhan CPO terbesar yang dibangun BUMN. Juga dengan sistem keroyokan bersama sejumlah BUMN. Dengan pelabuhan khusus di Kuala Tanjung ini, CPO dari Sumatera bisa langsung diekspor ke Eropa.
Selama ini CPO Sumatera hanya bisa keluar melalui kapal-kapal kecil di pelabuhan-pelabuhan dangkal untuk di-pool di Singapura atau Malaysia. Dengan Kuala Tanjung, pool CPO dilakukan di dalam negeri. Tahun ini juga pelabuhan khusus ini mulai dibangun. Semua persiapan sudah selesai dilakukan sejak ide ini lahir tahun lalu.
Pelindo I juga bikin babak baru di Aceh: pelabuhan kontainer. Minggu ini untuk pertama kalinya Pelindo I mencoba mengirim barang dengan menggunakan kontainer langsung ke pelabuhan dekat Kota Banda Aceh: Pelabuhan Malahayati.
Selama ini orang hanya bisa kirim kontainer dari Jakarta menggunakan truk melalui jalan darat yang melelahkan. Biaya per teus Rp 17 juta. Jalan lain: kontainer itu dikirim dulu ke Belawan, Medan, lalu diangkut dengan truk ke Banda Aceh. Biayanya Rp 13 juta per teus.
Kini dari Jakarta bisa langsung ke Malahayati dengan biaya Rp 11 juta per teus. Kalau percobaan jalur baru kontainer ini lancar dan arus barang meningkat, biaya itu masih bisa turun lagi.
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Zaini Abdullah ngotot benar agar Pelindo I berhasil membuka jalur baru yang akan sangat berarti bagi Aceh itu. Pelabuhannya sendiri memang sudah ada, yakni bantuan Belanda setelah Aceh dilanda tsunami. Tapi, tidak ada peralatan crane-nya. Pelindo I yang kemudian diserahi mengelola Malahayati melengkapinya dengan peralatan bongkar muat kontainer tersebut.
Aceh, Padang, Bengkulu, Belawan, dan Kuala Tanjung sudah bergerak. Demikian juga Lampung. Sumatera sudah dikepung pelabuhan yang akan terus berkembang. Tinggal giliran Jambi dan Palembang yang segera menyusul. Gubernur dua wilayah ini sudah habis-habisan berjuang. BUMN akan cari jalan mewujudkannya.
Bukan baru di Pelindo I Alfred Natsir berprestasi. Sebelumnya, waktu jadi Dirut Pelindo IV, pun dia sangat berprestasi. Karena itu, dia diminta membenahi Pelindo I yang jeblok. Di Pelindo I ternyata juga berprestasi.
Orang berprestasi itu biasanya tetap berprestasi: di mana pun ditempatkan. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar