Puasa dan Kepedulian Sosial
Oleh: Muhammadun*
“Wahai manusia! Barang siapa di antaramu
memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi
Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas
dosa-dosa yang lalu.”
Petikan di atas adalah sekilas cuplikan
khutbah Nabi Muhammad menyambut datangnya bulan RamadHan. Khutbah Nabi
mengajarkan agar umat Islam bisa berbagai dan peduli dengan sesamanya. Umat
Islam seharusnya bisa membuang jauh egoisme (anaiyyah) yang seringkali justru
menjerumuskan umat Islam sendiri. Dengan mengubur egoisme, maka kepedulian dan
kesejahteraan bisa diwujudkan bersama. Persaudaraan (ukhuwwah) juga semakin
erat, sehingga komitmen persatuan dan kesatuan semakin teguh.
Spirit kepedulian sosial sebenarnya telah
diajarkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Dalam berbagai kisah, Nabi selalu
memberikan segala yang dimiliki untuk umatnya. Demikian juga yang dilakukan
putri beliau, Fatimah. Putri tercinta Nabi ini berani mensedekahkan rotinya
yang tinggal sebungkus untuk keluarganya kepada para sahabat lain yang lebih
membutuhkan. Demikian yang dicontohkan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Tholib, dan para sahabat Nabi lainnya.
Nabi selalu mengajarkan bahwa yang terbaik
dari manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesama (khoiru al-nas anfa’uhum
li al-nas). Totalitas menjadi umat Nabi Muhammad bisa mencapai derajat “sukses”
kalau bisa bermanfaat dan mensukseskan sesamanya. Selalu mendahulukan kepentingan
sosial dari pada terjebak dalam kepribadian yang egois.
Para sahabat Nabi berlomba dalam kompetisi
kebaikan demi kemaslahatan publik (maslahah al-ammah). Semakin kompetitif, maka
akan lahir beragam kebaikan yang bisa dinikmati bersama. dan semakin kebaikan
di bagi bersama, justru kebaikan tersebut tidaklah berkurang. Akan tetapi
semakin bertambah dan bertambah (yazdad tsumma yazdad). Dalam al-Quran Allah
telah menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan
Allah akan dilipatgandakan 700 kali. Dan Allah juga akan melipatgandakan
kembali hambanya yang dikehendaki.
Kompetisi menjalankan kepedulian sosial
inilah yang juga harus dijalankan umat Islam sekarang. Krisis sosial dan
kemanusiaan banyak menghadirkan berbagai ketimpangan dan penderitaan yang
menyeruak. Kemiskinan juga terus berlangsung, bahkan lebih tragis terjadi
proses pemiskinan. Pengangguran juga terus bertambah seiring dengan krisis
lapangan kerja. Biaya pendidikan tinggi semakin mahal, sehingga sedikit kaum
miskin yang berani melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Bulan Ramadhan bisa menjadi momentum sangat
baik untuk meningkatkan ketaqwaan dan kepedulian sosial. Abu Bakar Jabir
al-Jazairy dalam “Minhaj al-Muslim” menjelaskan bahwa puasa mempunyai makna
dalam tata keruhanian, kemasyarakatan, dan kesehatan. Dalam keruhanian, jelas
al-Jazairy, puasa bisa mencipta bakat bertaqwa (malakatut taqwa) dalam setiap
gerak hidup jiwa. Dalam kemasyarakatan, puasa mengajarkan ketertiban,
persatuan, cinta keadilan dan kesetaraan, dan mengukuhkan basis persaudaraan
dengan akhlaq yang lemah lembut. Sedangkan dalam kesehatan, puasa bisa
menjadikan fisik semakin bersih dari penyakit, sebagaimana disabdakan Nabi,
“berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat”.
Kepedulian sosial yang hadir dalam Islam
pastilah berdasarkan basis ketaqwaan yang selalu khusyu’ dan tawadu’ kepada
Allah SWT. Semakin bertambah ketaqwaan, maka komitmen kepedulian sosial semakin
menancap. Marilah kita berguru kepada kepada sahabat, ulama’, dan para kiai.
Ajaran kearifan yang mengalir dari batiniyah para ulama’ seirama dengan
tindakan dan perilaku yang dijalakan sehari-hari. Para kiai begitu perhatian
dan peduli dengan santri dan masyarakatnya.
Kepedulian yang diteladankan Nabi dan ulama’
adalah kepedulian yang tidak berdasarkan kepentingan politik apapun. Tidak
sedikit sekarang ini berbagai program kepedulian sosial ternyata dibalik itu
semua terselip agenda politis. Solidaritas sosial yang digalang dalam berbagai
seremoni dan gebyar yang mewah, ternyata digunakan untuk mengeruk kepentingan
kelompok yang sangat parsial.
Bentuk solidaritas yang dibarengi riya’,
sum’ah, apalagi kepentingan politis, sangat dikecam dalam ajaran Islam. Karena
dalam Islam, semua yang dilakukan manusia adalah ibadah, kalau memang niatnya
hanyalah karena Allah semata. Yang diniatkan karena Allah, dalam kaidah fiqh,
maka tidak dianggap ibadah. Karena niat karena Allah memang untuk membedakan
perbuatan menjadi ibadah atau sia-sia.
Dalam konteks ini, perlulah diwaspadai umat
Islam atas berbagai gelar dan gebyar di bulan Ramadhan. Tidak sedikit kemasan
gebyar, baik dalam buka puasa, taraweh, kultum, dan lainnya, yang hanya untuk
bermegah-megahan saja. Apalagi gebyar acara yang dilakukan elite politik yang
biasanya hanya untuk menarik simpati publik. Kepedulian yang ditampakkan hanya
menjadi simbol politik, atau ada juga yang menjadi simbol bisnis, sehingga
kepedulian tampak hambar, tak berbekas dan tak bermakna.
Dengan niat yang tulus kepada Allah, kita
jadikan puasa sebagai momentum membangkitkan dan meningkatkan kepedulian sosial
kepada umat manusia. Dengan saling peduli dan berbagai, sekali lagi dengan niat
tulus kepada Allah, maka kita bisa merekatkan kembali persaudaran yang
terkoyak, mengikis kemiskinan yang masih menjerat, dan meminimalisir krisis
multidimensi yang masih membelenggu. Semoga bulan Ramadan membuka pintu
keberkahan dan kemaslahatan bagi semua. Amin.
*Muhammadun
Warga Muda NU, tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar