Cum Laude Melalui Clearing House Model Ketut
Senin, 01 Juli 2013
Inilah salah satu BUMN yang membuat saya
selalu waswas: PT Pos Indonesia. Sebuah perusahaan yang praktis kehilangan
seluruh basis bisnisnya: pengiriman surat dan pengiriman uang.
Surat sudah
digantikan e-mail atau handphone. Kartu Lebaran sudah digantikan SMS.
Pengiriman uang sudah tidak lagi dengan wesel. Sudah digantikan dengan hanya
satu klik di jasa perbankan atau satu sentuhan di handphone.
Bisakah Pos Indonesia
mentransformasikan dirinya dari ancaman kematian? Berhasilkah direktur
utamanya, I Ketut Mardjana, mengomandani perubahan arah yang begitu drastis?
Bisakah karyawan yang sudah telanjur mencapai 25.000 orang itu memahami
kenyataan baru? Ataukah kapal induk Pos Indonesia itu harus kehilangan arah di
lautan luas untuk kemudian tenggelam ke dasarnya? Sungguh misi yang beratnya
tak tepermanaikan.
Dan hasilnya adalah:
Ketut Mardjana lulus dengan predikat summa cum laude!
Mungkin saya berlebihan,
tapi saya memang suka terharu melihat orang yang berhasil keluar dari
kesulitan. Apalagi dalam suasana lingkungan birokrasi yang tidak bisa fleksibel
seperti BUMN.
Di swasta sering
terjadi perusahaan berhasil keluar dari krisis dengan melakukan perubahan yang
drastis. Perubahan itu bisa dilakukan dengan lebih mudah karena fleksibilitas
swasta yang hampir tak terbatas.
Sedangkan di BUMN
kungkungan peraturannya sering menakutkan. Sungguh tidak mudah melakukan
transformasi besar di sebuah BUMN.
Kini masa-masa kritis
transformasi itu sudah lewat. Badai yang menerpa Pos Indonesia sudah berlalu.
Gelombang laut sudah reda. Hujan pun tinggal rintik-rintik. Sesekali saya masih
menerima SMS dari lingkungan dalam Pos Indonesia. Tapi, isinya sudah lebih
memberikan harapan.
Tentu saya kagum
dengan anak buah yang tabah, teguh, dan ngotot seperti Ketut Mardjana itu. Saya
melihat kian lama kian banyak Dirut BUMN yang memiliki keteguhan, ketabahan,
dan kengototan seperti itu. Praktis kini saya hanya lebih banyak memuji secara
terang-terangan daripada memaki di dalam hati.
Kunci utamanya, saat
mulai menakhodai kapal bocor Pos Indonesia yang lagi oleng itu, Ketut tidak
ikut mabuk. Dia tetap bisa berpikir jernih bagian mana yang harus ditangani
dulu. “Modernisasi sistem komunikasi,” ujar Ketut yang aslinya orang dengan
darah keuangan tersebut.
“Semua kantor pos
serentak saya hubungkan dengan satelit. Yang tidak bisa ditangani sistem
telekomunikasi biasa saya pasangi visat,” tambahnya.
Memang “awak kapal”
Pos Indonesia sempat “berontak”. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Jakarta
yang meraih doktor ekonomi dari Monash University Melbourne ini dianggap
melakukan pemborosan besar-besaran. Langkahnya dinilai bisa menguras keuangan
perusahaan yang sudah mulai mengering. Tapi, Ketut tidak mundur. Dia sudah
telanjur basah.
Ketut sudah telanjur
memutuskan pensiun dini dari statusnya sebagai pegawai negeri dengan jabatan
yang sudah sempat mencapai setingkat direktur di Kemenkeu. “Saya harus
berhasil,” katanya. “Bayangkan,” kisah Ketut kepada saya, “dulunya untuk
membayar gaji saja harus jualan aset,” ungkapnya. “Orang mau menguangkan wesel
tidak ada uangnya,” tambahnya.
Tentu saya bisa
membayangkannya. Untung hal itu tidak terjadi di zaman awal-awal saya menjadi
wartawan. Ketika saya masih menggantungkan hidup dari penghasilan saya menulis
berita di koran-koran. Waktu itu, setiap minggu, saya menerima wesel dari
Jakarta. Kadang dari Tempo, kadang dari Kompas. Atau dari media lain.
Setiap kali menerima
wesel pos, saya langsung naik bemo ke kantor pos di Kebon Rojo, Surabaya, untuk
menguangkannya. Kadang berboncengan dengan istri karena uangnya akan langsung
dipakai membeli beras.
Waktu itu kantor pos
masih jaya. Selalu ada uang untuk membayar kiriman wesel untuk saya.
Alhamdulillah, Pos Indonesia kembali jaya. Tidak saja sudah menemukan jalan
yang benar, tapi juga sudah menemukan jalan tol yang lebar.
Yang membuat Ketut
mendapatkan summa cum laude adalah ini: berhasil mengidentifikasi kekuatan Pos
Indonesia yang paling kuat. Apakah itu? “Trust!” katanya. Kepercayaan. Saya
menyetujuinya 100 persen.
Tidak saja menemukan,
Ketut juga akan menggunakan kekuatan utamanya itu untuk landasan bisnisnya di
masa depan. Memang Pos Indonesia juga memiliki kekuatan utama lainnya: network
yang luas. Tapi, network saja tidak cukup. Gabungan network dan trust itulah
yang akan digunakan Ketut untuk masa depan cerah Pos Indonesia.
Bagi saya kombinasi
network dan trust tersebut sekaligus merupakan sumbangan besar untuk Indonesia
sebagai negara. Itu akan bisa menutupi salah satu kelemahan republik ini di
bidang ekonomi: tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai clearing house.
Akibatnya, bisnis e-commerce tidak begitu berjalan di Indonesia.
Orang masih takut
membeli barang melalui internet. Takut nomor kartu kreditnya disalahgunakan
orang lain. Takut penjualnya tidak benar-benar mengirim barang yang dibelinya.
Takut uangnya hilang begitu saja.
Ketut akan mengatasi
tiga ketakutan tersebut sekaligus. Pos Indonesia akan membangun mal secara
besar-besaran: Plaza Pos Indonesia. Lokasinya di langit internet.
Orang bisa membeli
barang di Plaza Pos Indonesia. Melakukan pembayaran secara online. Uangnya
ditahan di Pos Indonesia sampai penjualnya benar-benar kirim barangnya. Kalau
barang tidak dikirim, pembeli bisa mengambil kembali uangnya di kantor pos atau
via rekening bank.
Sebaliknya, penjual
juga merasa aman karena dijamin Pos Indonesia. Inilah bisnis kepercayaan.
Pembeli percaya ke kantor pos, penjual percaya ke kantor pos. Ketut tidak akan
mengambil jasa di transaksi keuangannya. Pos Indonesia hanya mengharapkan dari
jasa pengiriman barangnya.
Kalau program Ketut
ini berjalan, inilah momentum besar bagi pengusaha kecil yang serius. Yang mampu
membuat produk yang bermutu dengan harga bersaing. Tidak perlu sewa mal dan
tidak perlu takut tertipu pembayarannya!
Bangkitlah Plaza Pos
Indonesia! Bangkitlah UKM kita! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar