Rasionalitas dari yang Irasional
Ini terjadi saat saya berbuka
puasa di Masjidilharam (Makkah) pada Selasa, 9 September 2008. Ketika azan
magrib berkumandang, saya langsung berbuka dengan bersemangat. Tangan kanan
memegang segelas air zamzam, tangan kiri memegang kurma. Maunya minum zamzam
dengan tangan kanan dan makan kurma dengan tangan kiri agar nikmat dan praktis.
Tapi,
seorang Arab bernama Abdurrahman yang duduk di samping saya menyuruh saya untuk
meletakkan kurma di mangkuk dan minum air zamzam dulu. ”Sunahnya makan dan
minum harus memakai tangan kanan. Letakkan dulu kurma, lalu minum air zamzam,
kemudian makanlah kurma dengan tangan kanan,” kata Abdurrahman.
Meski
langsung menurut, karena orang itu bermaksud baik, saya tetap mencoba
mempersoalkan. ”Apa bedanya? Kan sama saja tangan kanan dan kiri diciptakan
Allah. Rasionalitasnya kan begitu,” kata saya.
Abdurrahman
menjadi serius. Dia mengungkapkan, beragama Islam itu bukan soal rasionalitas
semata-mata. Saya pun menganggut-anggut. Sebab, dalam pemahaman saya, Islam
memang menerima semua yang rasional, tapi tidak menerima rasionalisme.
Artinya,
semua yang rasional bisa diterima oleh Islam. Tapi, ada juga hal-hal yang tidak
rasional harus kita terima sebagai kebenaran atau keharusan. Apalagi, yang
rasional itu sebenarnya tidak rasional karena kalau dirunut selalu ada ujung
akhir yang tidak bisa lagi dijawab secara rasional.
Abdurrahman
menekankan, tuntunan makan atau memulai sesuatu dengan tangan kanan itu adalah
sunah Rasul yang tak perlu dipersoalkan rasionalitasnya. Itu sama halnya dengan
perintah salat fardu yang harus lima waktu, wukuf di Arafah saat berhaji,
memulai puasa Ramadan atau ber-Idul Fitri yang harus tanggal 1. Semua harus
dilaksanakan tanpa dapat ditanya alasan rasionalnya. ”Semua tuntunan ibadah
mahdhah harus diikuti tanpa menyoal rasionalitasnya,” kata Abdurrahman.
Pembicaraan
kami kemudian sampai pada soal jatuhnya tanggal 1 Ramadan atau 1 Syawal yang di
Indonesia sering diributkan. Sebagai warga Saudi yang konservatif, Abdurrahman
menyatakan bahwa jatuhnya 1 Ramadan dan 1 Syawal yang harus ditandai dengan
”melihat bulan dengan mata” tak perlu dipersoalkan rasionalitasnya.
Katanya,
ada hadis Nabi yang terang soal itu, Shuumuu biru’yatihi wa afthiruu bi
ru’yatihi (berpuasalah kamu jika melihat bulan dan berharirayalah jika melihat
bulan). Praktiknya, Rasulullah selalu memulai dan mengakhiri puasa jika melihat
bulan tanggal 1 dengan mata (ru’yatul hilaal bil ‘ain).
Karena
itu, Rasul juga bersabda agar ”jika kamu tidak dapat melihat bulan dengan mata,
maka genapkanlah puasamu menjadi 30 hari”. Maksudnya, kalau sesudah berpuasa 29
hari, bulan tanggal 1 Syawal bisa dilihat, berpuasa diakhiri. Tapi, kalau bulan
tak terlihat, puasa harus digenapkan 30 hari untuk kemudian dapat berhari raya
tanpa harus melihat bulan lagi. Itu tak perlu dicari atau dipertentangkan
rasionalitasnya dengan ilmu falak atau ilmu hisab. Sebab, untuk melihat bulan
pun, tentu lebih dulu digunakan perhitungan ilmu falak. Dalam hadisnya, Rasul
menyatakan biru’yatihi (kalau ”melihat” bulan), bukan menyatakan biwujudihi
(kalau ”ada” bulan) karena hitungan ilmu.
Di
Indonesia, kita sering terlibat dalam keributan yang tidak perlu karena sering
terjadi perbedaan antara penetapan berdasar rukyat (penglihatan dengan mata)
dan hisab (penglihatan dengan ilmu).Dalam perkembangannya memang ada pendapat
kuat bahwa rukyat (melihat) itu bukan hanya dengan mata (bil ‘ain), tapi juga
bisa dengan perhitungan (bil’ilm). Ilmu pengetahuan dan teknologi falak
sekarang sudah sangat maju, sehingga bulan tanggal 1 sudah bisa ditentukan
dengan tepat tanpa harus melihat bulan dengan mata. Kepastian ilmu falak
(astronomi) untuk menghitung posisi bulan (dan planet) dengan tingkat ketepatan
100 persen itu semua juga berasal dari Allah.
***
Lalu,
mana yang benar? Melihat dengan mata (ru’yah bil’ain) atau melihat dengan ilmu
falak (ru’yah bil ilm)? Insya Allah dan alhamdulillah, pada 2008 ini, umat
Islam Indonesia takkan terlibat dalam perbedaan tanggal jatuhnya hari raya.
Sebab, hasil perhitungan falakiyah Muhammadiyah dan NU sama, 1 Syawal akan
jatuh pada 1 Oktober. Tapi, kalaupun suatu saat perbedaan itu harus terjadi
lagi, tak perlulah bertengkar. Sebab, semua berdasar hasil ijtihad yang
alat-alatnya diberikan oleh Allah.
Menurut
Nabi, sejauh persyaratan dan peralatan ilmunya terpenuhi, tak ada ijtihad yang
tak berpahala. Sebuah ijtihad yang benar mendapat dua pahala, sedangkan ijtihad
yang (ternyata) salah mendapat satu pahala.
Yang
berdosa itu kalau bertengkar dan saling mengejek karena perbedaan dalam
menentukan jatuhnya tanggal 1. Sedangkan pilihan atas jatuhnya tanggal 1 itu,
apakah dengan melihat atau dengan menghitung, tak ada yang salah. Semua
berpahala karena dasarnya adalah ijtihad dengan alat yang diberikan oleh Allah.
Hanya,
tetaplah harus berpedoman bahwa rasionalitas ilmiah tak bisa dipaksakan dalam
tata cara ibadah mahdhah (ritual). Ibadah mahdhah itu pada umumnya tak dapat
dirasionalkan dalam pemahaman kita tentang rasionalitas itu. Bahkan
rasionalitas ibadah mahdhah tersebut justru terletak pada irasionalitasnya.
Dimuat di
Jawa Pos
Moh. Mahfud MD,
Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar