Selasa, 08 Januari 2013

Mahfud MD: Sudah Habis Teori di Gudang


Sudah Habis Teori di Gudang

 

Agus adalah seorang mahasiswa Program Pascasarjana UI. Dia menanyakan konsep atau teori apa lagi yang bisa dipakai untuk membawa Indonesia keluar dari krisis yang tak kunjung usai.

 

Meski sudah tujuh tahun lebih reformasi berjalan, hampir tidak ada perbaikan signifikan dalam penegakan hukum, pemberantasan KKN, dan kehidupan ekonomi. Bahkan dalam aspek tertentu, kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan sebelum reformasi. "Teori dan konsep apa lagi yang bisa dipakai?" katanya. Saya hanya bisa menjawab, "Seluruh teori dan konsep di gudang sudah habis dikeluarkan, tak ada yang tersisa untuk ditawarkan." Bahkan teori penyebab ketidakmanjuran teori yang dipakai pun sudah habis. Jawaban itu saya pinjam dari seorang demonstran saat berorasi untuk menjatuhkan Soeharto, Mei 1998.

 

Rasa kaget habis

 

Meski agak sinis, rasanya tidak berlebihan jika ungkapan itu dipakai kembali guna menjelaskan situasi macetnya reformasi kita. Meski untuk aspek tertentu ada kemajuan, agenda utama reformasi untuk menegakkan hukum dan memberantas KKN hingga kini amat jauh dari harapan. Ini berimbas serius pada memburuknya kehidupan ekonomi.

 

Kasus-kasus korupsi lama hampir tak ada yang terselesaikan, sedangkan kasus-kasus baru bermunculan secara beruntun. Ibaratnya, minggu ini kita dikejutkan dan disemangatkan oleh muncul dan ditanganinya satu kasus, namun pekan berikutnya ditutup kasus lain yang juga menggemparkan. Pekan berikutnya ditutup lagi oleh kasus lain. Begitu seterusnya hingga hampir tak pernah selesai.

 

Karena sering digemparkan, rasa kaget pun menjadi habis, kita terbiasa dan memberi respons enteng jika mendengar berita korupsi yang tidak spektakuler. Jika mendengar berita korupsi di bawah Rp 10 miliar, kita menjadi biasa saja sebab yang sering mengagetkan adalah korupsi ratusan miliar dan triliunan.

Padahal, selama tujuh tahun reformasi mereka yang dulu dipandang amat reformis dalam konsep maupun tindakan, baik tokoh kampus maupun pentolan LSM dan ormas, semuanya sudah diberi arena untuk berperan. Mereka bukan hanya bebas menawarkan konsep di tingkat wacana, tetapi juga diminta terjun langsung mengurusi negara. Ada yang menjadi Ketua MPR, Presiden, Wakil Presiden, mengurus Mahkamah Agung (MA) dan memberesi Mahkamah Konstitusi (MK), ada yang membenahi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada yang menjadi jaksa agung, menteri kehakiman, menteri pertahanan, pimpinan DPR, gubernur, bupati, dan sebagainya.

 

Mereka dulu amat brilian dan vokal dengan segudang teori dan pengalaman yang tampaknya memberi harapan untuk bisa memperbaiki Indonesia.

 

Kenyataannya? Tidak bisa. Penegakan hukum tetap amburadul, ekonomi kian buruk karena KKN kian menggila. Jual-beli perkara oleh aparat penegak hukum terus berlangsung tanpa risih, apalagi takut. Meski sudah lelah untuk kaget, kita masih dikejutkan penggerebekan kantor MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena beberapa pegawainya terlibat penyuapan perkara. Padahal, orang-orang yang semula menawarkan teori dan konsep reformasi di bidang penegakan hukum sudah mengisi MA.

 

Dua sebab

 

Lebih gila, kini orang yang (disangka) terlibat korupsi dan punya masalah hukum, biasa tampil di depan umum tanpa beban, sepertinya tak bersalah, apalagi malu. Pengalaman diperiksa atau ditahan aparat penegak hukum dianggap sekadar rekreasi.

 

Mengapa keadaan terus memburuk, minimal ada dua jawaban. Pertama, orang-orang, prosedur, dan mekanisme di birokrasi pemerintahan kita masih yang dulu. Yang diganti hanya pimpinan puncak sehingga KKN yang sudah begitu mekanistis terus berlangsung tanpa hambatan malah memblokade upaya perbaikan yang datang dari luar.

 

Kedua, politisi kita masih banyak pemain lama, baik yang tetap dengan kendaraan lamanya maupun yang meloncat ke kendaraan baru, sementara banyak pemain baru yang masuk ke pentas politik bukannya membawa pembaruan, tetapi dendam kekuasaan dan kemiskinan.

 

Karena membawa dendam kekuasaan, tak jarang kita melihat politikus baru yang sok kuasa, gila hormat, jika pergi minta dikawal dengan sirene dan protokoler seperti ludruk. Itu semua, sejatinya tindak korupsi juga meski sifatnya inkonvensional. Karena dendam kemiskinan, begitu masuk ke arena politik mereka melakukan balas dendam, mengeruk kekayaan secara tak wajar yang di zaman Orde Baru dulu tak pernah bisa mereka dapatkan. Itulah dua masalah yang mengganjal selama tujuh tahun perjalanan reformasi.

 

Dua prasyarat

 

Yang harus dilakukan, meletakkan para pejabat puncak pada tiap unit pemerintahan dari kalangan yang "bersih" dan "berani". Bersih artinya bermoral, punya track record (rekam jejak) tak pernah korup, dan tak punya masalah dengan hukum. Berani artinya punya nyali untuk bertindak terhadap siapa pun guna mendobrak kejumudan birokrasi.

 

Bersih dan berani adalah prasyarat kumulatif sebab jika hanya bersih tetapi tak berani, akan selalu gamang. Namun, jika hanya berani tetapi tidak bersih, bisa-bisa dia menjadi pemutih untuk penghilangan jejak kasus, pencipta KKN baru, atau tiba-tiba kehilangan keberanian karena dihantui ketidakbersihannya.

Keterampilan memimpin yang terkait tugas pejabat puncak bisa dijadikan syarat berikut, bahkan dapat dibangun menyusul prasyarat bersih dan berani.

 

Gagasan ini pun bukan teori yang baru dikeluarkan dari gudang karena sudah habis. Pemikiran tentang bersih" dan "berani" sudah sering dikemukakan. Hanya, sebagai prasyarat kumulatif tampaknya belum dilaksanakan karena tuntutan kompromi dan kompensasi politik yang perlu dipenuhi. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar