Sudah Habis Teori di Gudang
Agus adalah seorang mahasiswa Program
Pascasarjana UI. Dia menanyakan konsep atau teori apa lagi yang bisa dipakai
untuk membawa Indonesia keluar dari krisis yang tak kunjung usai.
Meski sudah tujuh tahun
lebih reformasi berjalan, hampir tidak ada perbaikan signifikan dalam penegakan
hukum, pemberantasan KKN, dan kehidupan ekonomi. Bahkan dalam aspek tertentu,
kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan sebelum reformasi. "Teori
dan konsep apa lagi yang bisa dipakai?" katanya. Saya hanya bisa menjawab,
"Seluruh teori dan konsep di gudang sudah habis dikeluarkan, tak ada yang
tersisa untuk ditawarkan." Bahkan teori penyebab ketidakmanjuran teori
yang dipakai pun sudah habis. Jawaban itu saya pinjam dari seorang demonstran
saat berorasi untuk menjatuhkan Soeharto, Mei 1998.
Rasa kaget habis
Meski agak sinis,
rasanya tidak berlebihan jika ungkapan itu dipakai kembali guna menjelaskan
situasi macetnya reformasi kita. Meski untuk aspek tertentu ada kemajuan,
agenda utama reformasi untuk menegakkan hukum dan memberantas KKN hingga kini
amat jauh dari harapan. Ini berimbas serius pada memburuknya kehidupan ekonomi.
Kasus-kasus korupsi
lama hampir tak ada yang terselesaikan, sedangkan kasus-kasus baru bermunculan
secara beruntun. Ibaratnya, minggu ini kita dikejutkan dan disemangatkan oleh
muncul dan ditanganinya satu kasus, namun pekan berikutnya ditutup kasus lain
yang juga menggemparkan. Pekan berikutnya ditutup lagi oleh kasus lain. Begitu
seterusnya hingga hampir tak pernah selesai.
Karena sering
digemparkan, rasa kaget pun menjadi habis, kita terbiasa dan memberi respons
enteng jika mendengar berita korupsi yang tidak spektakuler. Jika mendengar
berita korupsi di bawah Rp 10 miliar, kita menjadi biasa saja sebab yang sering
mengagetkan adalah korupsi ratusan miliar dan triliunan.
Padahal, selama tujuh
tahun reformasi mereka yang dulu dipandang amat reformis dalam konsep maupun
tindakan, baik tokoh kampus maupun pentolan LSM dan ormas, semuanya sudah diberi
arena untuk berperan. Mereka bukan hanya bebas menawarkan konsep di tingkat
wacana, tetapi juga diminta terjun langsung mengurusi negara. Ada yang menjadi
Ketua MPR, Presiden, Wakil Presiden, mengurus Mahkamah Agung (MA) dan memberesi
Mahkamah Konstitusi (MK), ada yang membenahi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
ada yang menjadi jaksa agung, menteri kehakiman, menteri pertahanan, pimpinan
DPR, gubernur, bupati, dan sebagainya.
Mereka dulu amat
brilian dan vokal dengan segudang teori dan pengalaman yang tampaknya memberi
harapan untuk bisa memperbaiki Indonesia.
Kenyataannya? Tidak
bisa. Penegakan hukum tetap amburadul, ekonomi kian buruk karena KKN kian
menggila. Jual-beli perkara oleh aparat penegak hukum terus berlangsung tanpa
risih, apalagi takut. Meski sudah lelah untuk kaget, kita masih dikejutkan
penggerebekan kantor MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena beberapa
pegawainya terlibat penyuapan perkara. Padahal, orang-orang yang semula
menawarkan teori dan konsep reformasi di bidang penegakan hukum sudah mengisi
MA.
Dua sebab
Lebih gila, kini
orang yang (disangka) terlibat korupsi dan punya masalah hukum, biasa tampil di
depan umum tanpa beban, sepertinya tak bersalah, apalagi malu. Pengalaman
diperiksa atau ditahan aparat penegak hukum dianggap sekadar rekreasi.
Mengapa keadaan terus
memburuk, minimal ada dua jawaban. Pertama, orang-orang, prosedur, dan
mekanisme di birokrasi pemerintahan kita masih yang dulu. Yang diganti hanya
pimpinan puncak sehingga KKN yang sudah begitu mekanistis terus berlangsung
tanpa hambatan malah memblokade upaya perbaikan yang datang dari luar.
Kedua, politisi kita
masih banyak pemain lama, baik yang tetap dengan kendaraan lamanya maupun yang
meloncat ke kendaraan baru, sementara banyak pemain baru yang masuk ke pentas
politik bukannya membawa pembaruan, tetapi dendam kekuasaan dan kemiskinan.
Karena membawa dendam
kekuasaan, tak jarang kita melihat politikus baru yang sok kuasa, gila hormat,
jika pergi minta dikawal dengan sirene dan protokoler seperti ludruk. Itu
semua, sejatinya tindak korupsi juga meski sifatnya inkonvensional. Karena
dendam kemiskinan, begitu masuk ke arena politik mereka melakukan balas dendam,
mengeruk kekayaan secara tak wajar yang di zaman Orde Baru dulu tak pernah bisa
mereka dapatkan. Itulah dua masalah yang mengganjal selama tujuh tahun
perjalanan reformasi.
Dua prasyarat
Yang harus dilakukan,
meletakkan para pejabat puncak pada tiap unit pemerintahan dari kalangan yang
"bersih" dan "berani". Bersih artinya bermoral, punya track
record (rekam jejak) tak pernah korup, dan tak punya masalah dengan hukum.
Berani artinya punya nyali untuk bertindak terhadap siapa pun guna mendobrak
kejumudan birokrasi.
Bersih dan berani
adalah prasyarat kumulatif sebab jika hanya bersih tetapi tak berani, akan
selalu gamang. Namun, jika hanya berani tetapi tidak bersih, bisa-bisa dia
menjadi pemutih untuk penghilangan jejak kasus, pencipta KKN baru, atau
tiba-tiba kehilangan keberanian karena dihantui ketidakbersihannya.
Keterampilan memimpin
yang terkait tugas pejabat puncak bisa dijadikan syarat berikut, bahkan dapat
dibangun menyusul prasyarat bersih dan berani.
Gagasan ini pun bukan
teori yang baru dikeluarkan dari gudang karena sudah habis. Pemikiran tentang
bersih" dan "berani" sudah sering dikemukakan. Hanya, sebagai
prasyarat kumulatif tampaknya belum dilaksanakan karena tuntutan kompromi dan
kompensasi politik yang perlu dipenuhi. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar