Memosisikan Vonis Pilkada MA
Putusan MA yang memerintahkan pilkada ulang
di empat kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) memunculkan preseden
baru dalam ranah hukum dan politik pemerintahan daerah. Bagaimana para pakar
hukum melihat persoalan tersebut? Ahli hukum tata negara Mahfud MD (UII),M
Fajrul Falaakh (UGM) dan Saldi Isra (Unand) memberikan pandangannya.
Bolehkah Mahkamah Agung (MA) membuat vonis di luar ketentuan UU? Kalau boleh, apakah putusan MA yang memerintahkan pilkada ulang di empat kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) itu benar?" Itulah pokok-pokok pertanyaan via telepon dan SMS yang masuk ke ponsel saya sejak 26 Desember 2007 lalu.
Bagi saya, baik
menurut teori maupun menurut politik hukum konstitusi, MA diperbolehkan membuat
vonis di luar ketentuan atau kewenangan formal yang diberikan UU. Tetapi, soal
penerapan konkretnya dalam sengketa hasil Pilkada Sulsel memang belum tentu
benar dan karenanya mungkin saja dilawan dengan upaya hukum herziening atau
peninjauan kembali (PK). Jadi, diperbolehkan dalam melakukan, belum tentu benar
dalam melakukannya. Kita seharusnya memosisikan vonis MA tentang hasil Pilkada
Sulsel yang sekarang ini sedang diributkan seperti itu.
Tak Ada Perbedaan
Pertanyaan dan
jawaban pemosisian vonis MA itu muncul lantaran pada 24 Desember lalu, melalui
media massa, saya melontarkan pandangan bahwa dari sudut politik hukum dan
konstitusi MA boleh membuat putusan yang tidak berdasar UU jika itu dimaksudkan
untuk menegakkan keadilan substansial. Sementara pada 26 Desember lalu, melalui
media massa lain, Denny Indrayana dan Fajrul Falaakh mengecam keras vonis MA
yang disorot sebagai melampaui batas kewenangannya itu. Terkesan ada perbedaan,
padahal, sebenarnya tidak ada pertentangan sama sekali, sebab masalah yang kami
lihat masing-masing berbeda. Saya berbicara soal kebolehan secara umum bagi MA
untuk membuat vonis di luar ketentuan UU sepanjang dimaksudkan untuk menegakkan
keadilan substansial, sedangkan Denny dan Fajrul berbicara kasus konkret
mengenai isi vonis MA itu sendiri.
Politik Hukum
Responsif
Politik hukum kita
sebenarnya telah lama mengikuti paham bahwa lembaga peradilan kita bebas,
bahkan diperintahkan, menggali nilai keadilan di dalam masyarakat tanpa harus
terbelenggu atau mengikuti mentah-mentah bunyi UU. Bahkan lebih dipuji jika
hakim mau mencari dan menemukan alasan untuk tidak mengindahkan isi UU yang
dinilainya tidak memberi keadilan,asalkan hal itu memang benar-benar
dimaksudkan untuk menegakkan keadilan.
Pasal 27 ayat (1) UU
No 14/1970 yang telah diubah dengan UU No 35/1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman memerintahkan hakim untuk memahami dan menggali nilai-nilai keadilan
di dalam masyarakat. UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan istilah
rechtsstaat dari konstitusi dan menyebut istilah negara hukum dengan konsep
netral.
Semula, negara hukum
kita sering diidentikkan dengan rechtsstaat yang cenderung memosisikan hakim
hanya sebagai corong UU dan tak boleh membuat putusan di luar ketentuan UU.
Tetapi UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan "penjelasan"yang di
dalamnya ada kata-kata, "...negara hukum (rechtsstaat)" sehingga
sekarang ini, seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara hukum
Indonesia tidak diembelembeli istilah rechtsstaat. Negara hukum kita bukan
hanya rechtsstaat, tetapi sekaligus the rule of law.
Rechtsstaat sebagai
istilah negara hukum di Eropa Kontinental lebih memosisikan hakim sebagai
corong UU dan setengah mengharamkan hakim untuk membuat vonis yang keluar dari
bunyi UU dengan alasan demi kepastian hukum; sedangkan the rule of law sebagai
istilah negara hukum di kawasan Anglo Saxon lebih memosisikan hakim sebagai
pembuat hukum (judge made law) yang didorong untuk mencari nilainilai keadilan
substansial, kalau perlu, dengan tidak mengindahkan bunyi UU. Di dalam
kepustakaan strategi pembangunan, hukum ala the rule of law disebut sebagai
strategi pembangunan hukum yang responsif; sedangkan strategi pembangunan hukum
ala rechsstaat disebut strategi hukum ortodoks (John Henry Marryman,1969).
UUD 1945 hasil
amandemen tidak lagi menyandera negara hukum kita dengan konsepsi rechtsstaat
yang berpijak pada legisme dan watak ortodoks, melainkan sudah menganut politik
hukum responsif dengan konsepsi the rule of law. Hal ini bukan hanya dapat
disimpulkan dari peniadaan istilah rechtsstaat melalui penuangan di dalam Pasal
1 ayat (3) melainkan tersurat juga di dalam Pasal 24A dan Pasal 28D yang secara
eksplisit menegaskan bahwa peradilan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
harus berdasar kepastian hukum,keadilan, dan manfaat.
PK dengan Novum yang Benar
Dengan demikian
jelaslah, baik menurut kepustakaan maupun menurut politik hukum konstitusi yang
mutakhir, MA diperbolehkan membuat putusan di luar ketentuan UU, lebih-lebih
jika UU yang ada dinilai tidak mampu menegakkan keadilan substansial. Terlepas
dari soal siapa yang akan menjadi gubernur di sana, apalagi kita tak pernah
tahu siapa mereka, kita harus konsisten menyikapi ini sebagai politik hukum
konstitusi kita.
Ketika MA membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas sengketa Pilkada Depok melalui PK,
kita menerimanya sebagai "vonis keadilan" yang mengikat, padahal
jelas ketika itu MA melanggar/menyimpangi bunyi UU No 32/2004 yang menyatakan
bahwa putusan PT sudah final dan mengikat. Mengapa terhadap sikap menyimpang MA
dari UU untuk kasus Sulsel yang sekarang ini harus kita persoalkan? Bukankah
keduanya sama-sama tidak mengikuti bunyi UU? Bukankah pula politik hukum
konstitusi kita memungkinkan MA menyimpangi UU jika UU itu tidak mampu
memberikan keadilan?
Dengan alasan itu,
pengajuan PK atas vonis Pilkada Sulsel merupakan alternatif terbaik.Hanya
saja,PK itu tak perlu mempersoalkan lagi kewenangan MA untuk membuat vonis
berdasar hasil kreasinya di luar ketentuan UU, karena hal itu memang
diperbolehkan, melainkan dengan mengajukan bukti baru (novum) atas isi vonis
itu sendiri.Novum bukanlah logika atau analisis baru atas vonis; bukan juga
fakta yang baru lahir setelah turunnya vonis, melainkan sudah ada ketika
perkara disidangkan tetapi tidak muncul di persidangan karena ketika itu belum
ditemukan.(*)
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar