Senin, 28 Januari 2013

Mahfud MD: Memosisikan Vonis Pilkada MA


Memosisikan Vonis Pilkada MA

 

Putusan MA yang memerintahkan pilkada ulang di empat kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) memunculkan preseden baru dalam ranah hukum dan politik pemerintahan daerah. Bagaimana para pakar hukum melihat persoalan tersebut? Ahli hukum tata negara Mahfud MD (UII),M Fajrul Falaakh (UGM) dan Saldi Isra (Unand) memberikan pandangannya.


Bolehkah Mahkamah Agung (MA) membuat vonis di luar ketentuan UU? Kalau boleh, apakah putusan MA yang memerintahkan pilkada ulang di empat kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) itu benar?" Itulah pokok-pokok pertanyaan via telepon dan SMS yang masuk ke ponsel saya sejak 26 Desember 2007 lalu.

 

Bagi saya, baik menurut teori maupun menurut politik hukum konstitusi, MA diperbolehkan membuat vonis di luar ketentuan atau kewenangan formal yang diberikan UU. Tetapi, soal penerapan konkretnya dalam sengketa hasil Pilkada Sulsel memang belum tentu benar dan karenanya mungkin saja dilawan dengan upaya hukum herziening atau peninjauan kembali (PK). Jadi, diperbolehkan dalam melakukan, belum tentu benar dalam melakukannya. Kita seharusnya memosisikan vonis MA tentang hasil Pilkada Sulsel yang sekarang ini sedang diributkan seperti itu.

 

Tak Ada Perbedaan

 

Pertanyaan dan jawaban pemosisian vonis MA itu muncul lantaran pada 24 Desember lalu, melalui media massa, saya melontarkan pandangan bahwa dari sudut politik hukum dan konstitusi MA boleh membuat putusan yang tidak berdasar UU jika itu dimaksudkan untuk menegakkan keadilan substansial. Sementara pada 26 Desember lalu, melalui media massa lain, Denny Indrayana dan Fajrul Falaakh mengecam keras vonis MA yang disorot sebagai melampaui batas kewenangannya itu. Terkesan ada perbedaan, padahal, sebenarnya tidak ada pertentangan sama sekali, sebab masalah yang kami lihat masing-masing berbeda. Saya berbicara soal kebolehan secara umum bagi MA untuk membuat vonis di luar ketentuan UU sepanjang dimaksudkan untuk menegakkan keadilan substansial, sedangkan Denny dan Fajrul berbicara kasus konkret mengenai isi vonis MA itu sendiri.

 

Politik Hukum Responsif

 

Politik hukum kita sebenarnya telah lama mengikuti paham bahwa lembaga peradilan kita bebas, bahkan diperintahkan, menggali nilai keadilan di dalam masyarakat tanpa harus terbelenggu atau mengikuti mentah-mentah bunyi UU. Bahkan lebih dipuji jika hakim mau mencari dan menemukan alasan untuk tidak mengindahkan isi UU yang dinilainya tidak memberi keadilan,asalkan hal itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan keadilan.

 

Pasal 27 ayat (1) UU No 14/1970 yang telah diubah dengan UU No 35/1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman memerintahkan hakim untuk memahami dan menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan istilah rechtsstaat dari konstitusi dan menyebut istilah negara hukum dengan konsep netral.

 

Semula, negara hukum kita sering diidentikkan dengan rechtsstaat yang cenderung memosisikan hakim hanya sebagai corong UU dan tak boleh membuat putusan di luar ketentuan UU. Tetapi UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan "penjelasan"yang di dalamnya ada kata-kata, "...negara hukum (rechtsstaat)" sehingga sekarang ini, seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara hukum Indonesia tidak diembelembeli istilah rechtsstaat. Negara hukum kita bukan hanya rechtsstaat, tetapi sekaligus the rule of law.

 

Rechtsstaat sebagai istilah negara hukum di Eropa Kontinental lebih memosisikan hakim sebagai corong UU dan setengah mengharamkan hakim untuk membuat vonis yang keluar dari bunyi UU dengan alasan demi kepastian hukum; sedangkan the rule of law sebagai istilah negara hukum di kawasan Anglo Saxon lebih memosisikan hakim sebagai pembuat hukum (judge made law) yang didorong untuk mencari nilainilai keadilan substansial, kalau perlu, dengan tidak mengindahkan bunyi UU. Di dalam kepustakaan strategi pembangunan, hukum ala the rule of law disebut sebagai strategi pembangunan hukum yang responsif; sedangkan strategi pembangunan hukum ala rechsstaat disebut strategi hukum ortodoks (John Henry Marryman,1969).

 

UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menyandera negara hukum kita dengan konsepsi rechtsstaat yang berpijak pada legisme dan watak ortodoks, melainkan sudah menganut politik hukum responsif dengan konsepsi the rule of law. Hal ini bukan hanya dapat disimpulkan dari peniadaan istilah rechtsstaat melalui penuangan di dalam Pasal 1 ayat (3) melainkan tersurat juga di dalam Pasal 24A dan Pasal 28D yang secara eksplisit menegaskan bahwa peradilan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus berdasar kepastian hukum,keadilan, dan manfaat.

 

PK dengan Novum yang Benar

 

Dengan demikian jelaslah, baik menurut kepustakaan maupun menurut politik hukum konstitusi yang mutakhir, MA diperbolehkan membuat putusan di luar ketentuan UU, lebih-lebih jika UU yang ada dinilai tidak mampu menegakkan keadilan substansial. Terlepas dari soal siapa yang akan menjadi gubernur di sana, apalagi kita tak pernah tahu siapa mereka, kita harus konsisten menyikapi ini sebagai politik hukum konstitusi kita.

 

Ketika MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas sengketa Pilkada Depok melalui PK, kita menerimanya sebagai "vonis keadilan" yang mengikat, padahal jelas ketika itu MA melanggar/menyimpangi bunyi UU No 32/2004 yang menyatakan bahwa putusan PT sudah final dan mengikat. Mengapa terhadap sikap menyimpang MA dari UU untuk kasus Sulsel yang sekarang ini harus kita persoalkan? Bukankah keduanya sama-sama tidak mengikuti bunyi UU? Bukankah pula politik hukum konstitusi kita memungkinkan MA menyimpangi UU jika UU itu tidak mampu memberikan keadilan?

 

Dengan alasan itu, pengajuan PK atas vonis Pilkada Sulsel merupakan alternatif terbaik.Hanya saja,PK itu tak perlu mempersoalkan lagi kewenangan MA untuk membuat vonis berdasar hasil kreasinya di luar ketentuan UU, karena hal itu memang diperbolehkan, melainkan dengan mengajukan bukti baru (novum) atas isi vonis itu sendiri.Novum bukanlah logika atau analisis baru atas vonis; bukan juga fakta yang baru lahir setelah turunnya vonis, melainkan sudah ada ketika perkara disidangkan tetapi tidak muncul di persidangan karena ketika itu belum ditemukan.(*)

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar