Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga
Diri
Tiba di lokasi ini saya diberi pilihan: naik
jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan
jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.
Saya pun menunjuk
mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. “Tapi, harus saya
yang nyetir,” ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. “Di sini
tidak ada tebing yang bisa ditabrak,” tambahnya.
Saya tahu wanita itu
lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja
menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.
Hari itu, Senin
minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah
lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari
United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di
Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim
disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.
Sudah lama ranch
tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada
di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak
bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program
pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada
pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun
lalu direksinya diganti.
Sebagaimana juga di
Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak
perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda
kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari
Makassar itu.
Wanita berjilbab
putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan mengendalikan kemudi. Dialah Ir
Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah
lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.
Ria sangat tangkas
mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari
Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah
yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu
dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah
memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.
Sambil mengemudikan
mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa
yang sedang dan masih terus dia lakukan. “Di lahan ini akan kami buat ranch,
bisa untuk 50.000 sapi,” ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya
mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya
mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti
itu.
Waktu itu yang sering
diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor
sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.
Konsep awal ranch
Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di
padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing
untuk menggembalakannya.
Tapi, kenyataannya
sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa
berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga
kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot.
Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar
mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.
Yang seperti itu
tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung
dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat
yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melanggar ajaran agama tertentu.
Ria yang setelah
lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem
peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT
Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.
Cara baru itu pun
ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan
makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di
tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni,
hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai
dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak
ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong)
terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.
Uji coba sistem
kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski
juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan:
berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah
membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat danau karena sarana untuk minum sapi
bisa dibangun di tengah kombong.
Ke depan, Ria
berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan
dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong
bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang
sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan
unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.
Sapi-sapi yang sudah
bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ disiapkan sarana untuk
melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.
Ke depan, pagar
kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa
pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area
pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja
pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.
Bibit-bibit pohon
jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon
tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya
setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk
pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat
happening di Jawa Barat.
Maka, setahun lagi
sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi
kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu
ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput
dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk
makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan
daun untuk sapinya.
Dengan demikian, akan
ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga
bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di
Bila bisa menampung 50.000 sapi.
Masyarakat sekitar
peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok peternakan di sekitarnya akan
diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan
modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak
warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model
Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.
Setahun lagi saya
berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati
makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup
yang sudah jadi.
Inilah roh baru PT
Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak
usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha
asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan
sapi.
Negara lagi
memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor
sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus,
direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut
mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.
Terlalu besar kita
impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar