Mulai Pencurian Teknologi sampai Cara
Mengemudi
Senin, 14 Januari 2013
Ini mirip dengan istilah “sengsara membawa
nikmat”. Kecelakaan ini, meski menimbulkan keributan yang bising, benar-benar
memberikan pelajaran yang berharga.
Selama ini, secara
ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan di antara lima putra petir yang
menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan
pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri yang lagi sama-sama
dikembangkan di seluruh dunia.
Ada yang berpandangan
mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor
listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi, ahli kita
seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus
menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor
listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus
Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil
dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil
Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran
tinggi Tawangmangu, Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat
penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak
ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk
mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli
kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat
menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada
mereka.
Karena itu, ketika
Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung
penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi
kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, pada
awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI “mogok”.
Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang
Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak,
melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga “menipu”.
Minggu berikutnya
kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki
tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput
langsung oleh media secara luas.
Sekali lagi saya
minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih
banyak “malu” yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian,
ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra
bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara
sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga
mencapai 1.000 km.
Kang Dasep sendiri,
di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui
Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang
curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh
dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya
minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard.
Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk
membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus
listrik.
Seminggu setelah
mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet
Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan
sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di
Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi
Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara
Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km
itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja
kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet
hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada
kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan
kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari
kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam
lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara
bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang
menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan
memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta
Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian
teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam
keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi
menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan
cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki,
mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang.
Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah
meluas.
Saya sendiri saat itu
lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya
sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin
sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus
lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba
lewat medan yang berat.
Itu penting karena
uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang
dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah
yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah
mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat
sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya,
power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan
baterainya.
Baru ketika jalan
mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya
mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga.
Saya tidak segera
menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa
Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju
Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan
pengendalian dari gearbox!
Tentu saya mencoba
untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung
dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan,
mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di
sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin,
seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat
jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan
kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap
hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras
tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem.
Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan
sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini,
semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas
berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang
menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu
istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak
terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung
saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib
Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera
berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku.
Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian
terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem
sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya
berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam
dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati
sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di
jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan.
Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya
harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera
memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada
tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan,
saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut.
Braaak! Mobil hancur.
Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya
tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya
raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada
yang terjepit.
Setelah mengucap
syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak
membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun
tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang
kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya
membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh
pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan,
masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang
tidak pakai gearbox.
Mungkin saya akan
menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani
dengan seikhlas-ikhlasnya. Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan
banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu
pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.
Mobil listrik harus
jaya!
Baik Kang Dasep yang menggunakan
gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya.
Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi
akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus
saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk
mendiskusikan teknologinya.
Yang penting
putra-putra bangsa harus men
guasai teknologi
mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba
untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya.
Kesalahan masa lalu
tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita
akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil
listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti
sekarang ini!
Mobil listrik made in
Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa
bersaing dengan negara maju! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar