Hukum dalam Politik Oligarkis
Apakah tesis Bapak bahwa karakter produk
hukum berubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik berlaku dalam konteks
Indonesia sekarang ini? Kalau ya, mengapa setelah reformasi di Indonesia hukum
tetap tak responsif?"
Pertanyaan itu
dilontarkan oleh Helmi Awaluddin, seorang peserta program doktor di Universitas
Diponegoro, Semarang, ketika saya menguji kandidat doktor di sana.
Disertasi doktor yang
saya buat di UGM (1993) memang menyimpulkan bahwa karakter produk dan penegakan
hukum selalu berubah sesuai dengan perubahan-perubahan politik. Kalau
konfigurasi politik tampil demokratis, hukum jadi responsif. Namun, ketika
konfigurasi politik berubah jadi otoriter, hukum pun menjadi berwatak
konservatif atau ortodoks. Itulah kesimpulan saya setelah meneliti
perubahan-perubahan konfigurasi politik dan perubahan-perubahan hukum di
Indonesia sejak tahun 1945 sampai tahun 1992.
Helmi mengaku heran
karena reformasi yang berintikan demokratisasi dalam kehidupan politik ternyata
tak berhasil membuat hukum jadi responsif. Sekarang ini produk hukum masih
banyak yang ortodoks, penegakan hukum hanya menyentuh yang sumir-sumir saja.
Hampir Aksioma
Saya memahami
sepenuhnya apa yang dicecarkan oleh Helmi, tetapi tampaknya dia terlalu
emosional melihat kenyataan. Dia marah melihat hukum tetap berwatak ortodoks
dengan penegakan yang letoi justru ketika reformasi berhasil membongkar
konfigurasi politik Orde Baru yang otoriter.
Bagi saya, tesis
bahwa perubahan konfigurasi politik akan memengaruhi perubahan produk hukum
tetaplah benar. Bahkan hampir jadi aksioma untuk produk-produk hukum publik
yang terkait dengan distribusi kekuasaan.
Harus dipahami bahwa
upaya mengubah hukum menjadi responsif harus didahului dengan perubahan konfigurasi
politik agar menjadi demokratis sebab tak mungkin hukum responsif lahir dari
politik yang tidak demokratis.
Demokratis ke
Oligarkis
Persoalannya adalah
mengapa setelah ada perubahan politik melalui reformasi itu hukum-hukum kita,
kok masih ortodoks. Di sinilah masalahnya. Banyak yang mengira, seperti Helmi,
bahwa dengan reformasi itu konfigurasi politik kita kini telah berubah menjadi demokratis.
Padahal kenyataannya tidak. Konfigurasi politik kita sekarang ini adalah
konfigurasi politik oligarkis, yakni suatu konfigurasi politik yang didominasi
kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling
memberi keuntungan politik di antara para elite sendiri.
Pada awal reformasi
memang terlihat bahwa konfigurasi politik berubah arah dari otoriter ke
demokratis sehingga berhasil memproduksi berbagai UU yang responsif. Namun,
suasana demokratis itu hanya berlangsung tak lebih dari dua tahun karena
setelah itu konfigurasi politik berbelok ke arah yang oligarkis. Meminjam
ungkapan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, idea reformasi kita tentang
demokratisasi telah dicuri dan dibuang oleh petualang-petualang politik yang korup
yang berkolusi dengan pengusaha- pengusaha hitam.
Wajarlah kalau
kemudian kinerja hukum kita tidak responsif sebab konfigurasi politik kita
bukanlah demokratis melainkan konfigurasi yang oligarkis. Di dalam konfigurasi
politik yang oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan dilakukan oleh
para elite secara kolutif dan koruptif. Parpol tidak lagi dapat menyentuh
fungsi idealnya sebab di dalam sistem yang oligarkis parpol hanya menjadi
political crowded (kerubutan politik). Di dalam kerubutan politik yang
oligarkis ini para elite hanya berjuang untuk memperoleh kue politik bagi
dirinya sendiri. Perekrutan politik menjadi sangat elitis dan menindas. Meski
tidak semuanya, banyak parpol kita kini sedang dilanda penyakit oligarkis ini
Maka jangan heran
jika ada anggota-anggota parlemen bersuara kritis atas satu kebijakan, tetapi
kemudian diberangus oleh elitenya sendiri karena transaksi politik, baik dengan
imbalan uang maupun posisi. Jangan heran kalau dalam kenyataan politik kita
dikendalikan oleh uang. Hukum responsif hanya bisa hidup di alam demokratis,
bukan di dalam sistem yang oligarkis.
Agenda penting untuk
membangun hukum responsif adalah mendorong perubahan agar tampil konfigurasi
politik yang demokratis. Namun, itu tidaklah mudah karena perubahan itu akan
sangat bergantung juga pada elite-elite politik yang oligarkis. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar