Menjaring Partai
Alternatif
Sabtu, 05 Januari
2013 , 11:53:00 WIB
Oleh: Adhie M.
Massardi
SEJAK tumbangnya
rezim otoritarian Orde Baru (1998), sudah tiga kali (1999, 2004, 2009) bangsa
Indonesia menggelar pemilu legislatif secara lebih bebas dan terbuka dan
diikuti puluhan partai politik (parpol) yang lahir karena koridor demokrasi
dibuka dengan lebih proporsional.
Bahkan sejak 2004,
dengan hanya bermodal pengalaman memilih lurah secara langsung, rakyat
Indonesia dipaksa untuk memilih kepemimpinan eksekutif, mulai dari presiden dan
wakil presiden, gubernur dan wakil gibernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota, secara langsung.
Hasilnya, seperti
sudah sama-sama kita ketahui, keadaan (tingkat kesejahteraan) mayoritas rakyat
Indonesia bukannya menjadi lebih baik, malah bertambah buruk. Sementara dari
pemilu ke pemilu hanya menghasilkan amuk massa, pertikaian politik dan hukum,
serta anggota legislatif dan eksekutif yang korup.
Hal ini terjadi
karena ketika koridor kebebasan dan demokrasi dibuka, banyak orang mengambil
jalan ini untuk memasuki sentra-sentra kekuasaan, tanpa terlebih dulu belajar
mengenai peraturan, moral dan etika demokrasi. Pada saat yang bersamaan,
kedaulatan hukum belum lagi tegak. Lembaga penyelenggara KPU menjadi bagian
dari kekuatan politik tertentu. Akibatnya, demokrasi jadi terasa “kebablasan”
dan diangap hanya menimbulkan “kebisingan” dan “kegaduhan”.
Demokrasi hanya akan
bermanfaat apabila dibangun dalam kultur, dan bukan sekadar prosedur
berdemokrasi. Karena dalam kultur demokrasi terkandung tata nilai, etika, moral
dan tanggungjawab yang dijaga oleh tegaknya supremasi hukum.
Saya berkeyakinan,
dengan tegaknya supremasi hukum dan pulihnya tata nilai serta etika bangsa,
manfaat demokrasi akan muncul dari kedewasaan para pelakunya. Kita tidak boleh
mengorbankan demokrasi hanya karena proses belajarnya yang sedang dilalui.
Memaksimalkan Peran
KPU
Sebagai bangsa yang
baru beberapa langkah menapaki jalan demokrasi, kita memerlukan penyelenggara
pemilu (KPU) yang lebih paham akan hakekat dan substansi demokrasi, serta
kearifan politik, bukan sekadar memahami undang-undang dan menjalankannya
secara apa adanya, khususnya dalam proses berpemilu.
Pelajaran tiga kali
pemilu di era reformasi yang lebih banyak menghasilkan gelombang korupsi yang kian
menggila, KPU harus memberi ruang lebih terbuka akan munculnya kekuatan
(partai) politik baru yang lahir karena ketidakpuasaan pada oligopoli (dalam
pilpres) dan oligarki politik yang mendominasi panggung politik kekuasaan
selama tiga periode (pemilu) ini.
Para komisioner KPU
juga harus memahami bahwa UU kepartaian dan kepemiluan yang dibuat oleh
oligarki politik yang menguasai parlemen saat ini, lebih berfrasa untuk
melestarikan kekuasaan (politik) mereka, dan mengeliminasi kemungkinan
munculnya kekuatan politik baru. Hal ini tercermin dalam kompleksitasnya
persyaratan parpol (baru) yang hendak mengikuti pemilu.
Keputusan Mahkamah
Konstitusi No 52/PUU-X/2012 (29/8/2012), yang menganulir pasal ambang batas
(parliamentary threshold) dalam UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, selayaknya dijadikan pedoman dalam menyeleksi dan memverifikasi
parpol-parpol peserta pemilu (2014).
Ada beberapa catatan
penting dari keputusan MK No 52/PUU-X/2012 tersebut. Pertama, “Demokrasi harus
mampu memberikan jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas
perlindungan kebebasan tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai
demokrasi," sebagaimana diungkapkan oleh M Akil Mokhtar, salah satu hakim
MK.
Kedua, sempitnya
waktu antara keluarnya keputusan MK dengan dimulainya proses pemilu 2014,
membuat DPR-RI tidak mungkin mensinkronkan persyaratan parpol peserta pemilu
seperti diatur dalam UUNo 10 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No
15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum dengan hasil keputusan MK di atas.
Ketiga, dengan
ketentuan UU parpol dan pemilu yang ekstra ketat seperti yang diberlakukan
sekarang, mustahil akan muncul kekuatan (partai) politik baru. Padahal rakyat
Indonesia perlu parpol alternatif (baru) yang lebih aspiratif, karena parpol
yang sekarang menguasai parlemen (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS,
PAN, PPP, PKB, sesuai urutan perolehan suara dalam pileg 2009) adalah parpol
korup, sebagaimana dinyatakan Presiden Yudhoyono berdasarkan hasil penelitian
Sekretaris Kabinet (Dipo Alam) beberapa waktu lalu.
Para komisioner KPU
yang dipilih melalui fit & proper test bukanlah robot atau semacam satpam,
yang setiap langkahnya harus mengacu kepada UU secara mati. Dalam kondisi
demokrasi kita yang acak-adul seperti sekarang, para komisioner KPU yang
dipercaya rakyat untuk menyelenggarakan pemilu dengan baik, wajib hukumnya
melakukan manuver secara proporsional, agar pemilu tidak hanya menjadi sekadar
syarat adanya demokrasi, tapi harus bisa menghasilkan penyelengara yang
menghormati prinsip-prinsip clean government dan good governance (pemerintahan
yang bersih dan penyelenggara negara yang baik).
Prinsip clean
government dan good governance itu hanya bisa lahir dari partai yang bersih,
dari pemilu yang bersih, yang diselenggarakan oleh KPU yang baik dan
bertanggungjawab. [***]
Penulis juga
Inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih (Civil Society Movement
for Clean and Fairness Elections)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar