Rabu, 09 Januari 2013

Adhie: Menjaring Partai Alternatif


Menjaring Partai Alternatif

Sabtu, 05 Januari 2013 , 11:53:00 WIB

Oleh: Adhie M. Massardi

 

SEJAK tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru (1998), sudah tiga kali (1999, 2004, 2009) bangsa Indonesia menggelar pemilu legislatif secara lebih bebas dan terbuka dan diikuti puluhan partai politik (parpol) yang lahir karena koridor demokrasi dibuka dengan lebih proporsional.

 

Bahkan sejak 2004, dengan hanya bermodal pengalaman memilih lurah secara langsung, rakyat Indonesia dipaksa untuk memilih kepemimpinan eksekutif, mulai dari presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gibernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, secara langsung.

Hasilnya, seperti sudah sama-sama kita ketahui, keadaan (tingkat kesejahteraan) mayoritas rakyat Indonesia bukannya menjadi lebih baik, malah bertambah buruk. Sementara dari pemilu ke pemilu hanya menghasilkan amuk massa, pertikaian politik dan hukum, serta anggota legislatif dan eksekutif yang korup.

 

Hal ini terjadi karena ketika koridor kebebasan dan demokrasi dibuka, banyak orang mengambil jalan ini untuk memasuki sentra-sentra kekuasaan, tanpa terlebih dulu belajar mengenai peraturan, moral dan etika demokrasi. Pada saat yang bersamaan, kedaulatan hukum belum lagi tegak. Lembaga penyelenggara KPU menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu. Akibatnya, demokrasi jadi terasa “kebablasan” dan diangap hanya menimbulkan “kebisingan” dan “kegaduhan”.

 

Demokrasi hanya akan bermanfaat apabila dibangun dalam kultur, dan bukan sekadar prosedur berdemokrasi. Karena dalam kultur demokrasi terkandung tata nilai, etika, moral dan tanggungjawab yang dijaga oleh tegaknya supremasi hukum.

 

Saya berkeyakinan, dengan tegaknya supremasi hukum dan pulihnya tata nilai serta etika bangsa, manfaat demokrasi akan muncul dari kedewasaan para pelakunya. Kita tidak boleh mengorbankan demokrasi hanya karena proses belajarnya yang sedang dilalui.

 

Memaksimalkan Peran KPU

 

Sebagai bangsa yang baru beberapa langkah menapaki jalan demokrasi, kita memerlukan penyelenggara pemilu (KPU) yang lebih paham akan hakekat dan substansi demokrasi, serta kearifan politik, bukan sekadar memahami undang-undang dan menjalankannya secara apa adanya, khususnya dalam proses berpemilu.

 

Pelajaran tiga kali pemilu di era reformasi yang lebih banyak menghasilkan gelombang korupsi yang kian menggila, KPU harus memberi ruang lebih terbuka akan munculnya kekuatan (partai) politik baru yang lahir karena ketidakpuasaan pada oligopoli (dalam pilpres) dan oligarki politik yang mendominasi panggung politik kekuasaan selama tiga periode (pemilu) ini.

 

Para komisioner KPU juga harus memahami bahwa UU kepartaian dan kepemiluan yang dibuat oleh oligarki politik yang menguasai parlemen saat ini, lebih berfrasa untuk melestarikan kekuasaan (politik) mereka, dan mengeliminasi kemungkinan munculnya kekuatan politik baru. Hal ini tercermin dalam kompleksitasnya persyaratan parpol (baru) yang hendak mengikuti pemilu.

 

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 52/PUU-X/2012 (29/8/2012), yang menganulir pasal ambang batas (parliamentary threshold) dalam UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selayaknya dijadikan pedoman dalam menyeleksi dan memverifikasi parpol-parpol peserta pemilu (2014).

 

Ada beberapa catatan penting dari keputusan MK No 52/PUU-X/2012 tersebut. Pertama, “Demokrasi harus mampu memberikan jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas perlindungan kebebasan tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi," sebagaimana diungkapkan oleh M Akil Mokhtar, salah satu hakim MK.

 

Kedua, sempitnya waktu antara keluarnya keputusan MK dengan dimulainya proses pemilu 2014, membuat DPR-RI tidak mungkin mensinkronkan persyaratan parpol peserta pemilu seperti diatur dalam UUNo 10 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum dengan hasil keputusan MK di atas.

 

Ketiga, dengan ketentuan UU parpol dan pemilu yang ekstra ketat seperti yang diberlakukan sekarang, mustahil akan muncul kekuatan (partai) politik baru. Padahal rakyat Indonesia perlu parpol alternatif (baru) yang lebih aspiratif, karena parpol yang sekarang menguasai parlemen (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, sesuai urutan perolehan suara dalam pileg 2009) adalah parpol korup, sebagaimana dinyatakan Presiden Yudhoyono berdasarkan hasil penelitian Sekretaris Kabinet (Dipo Alam) beberapa waktu lalu.

 

Para komisioner KPU yang dipilih melalui fit & proper test bukanlah robot atau semacam satpam, yang setiap langkahnya harus mengacu kepada UU secara mati. Dalam kondisi demokrasi kita yang acak-adul seperti sekarang, para komisioner KPU yang dipercaya rakyat untuk menyelenggarakan pemilu dengan baik, wajib hukumnya melakukan manuver secara proporsional, agar pemilu tidak hanya menjadi sekadar syarat adanya demokrasi, tapi harus bisa menghasilkan penyelengara yang menghormati prinsip-prinsip clean government dan good governance (pemerintahan yang bersih dan penyelenggara negara yang baik).

 

Prinsip clean government dan good governance itu hanya bisa lahir dari partai yang bersih, dari pemilu yang bersih, yang diselenggarakan oleh KPU yang baik dan bertanggungjawab. [***]

 

Penulis juga Inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih (Civil Society Movement for Clean and Fairness Elections)

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar