Bergesernya Fungsi Hukum
Teori Terkenal yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as
a tool of social engineering) di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa
pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering).
Itulah salah satu
simpulan yang dihasilkan oleh forum Experts Meeting saat membedah PP No.
37/2006 di Pusat Studi Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada (UGM) yang berlangsung 26-29 Januari 2007, dua setengah bulan lalu.
Simpulan itu semula dikemukakan dengan lugas oleh beberapa dosen muda yang
tergabung dalam forum pakar untuk membedah PP tersebut dari aspek hukum,
politik, dan ekonomi.
Ketika dua setengah
bulan lalu saya mendengar simpulan tersebut, sebagai anggota experts, rasanya
biasa-biasa saja. Tetapi melihat perkembangan belakangan ini rasanya hal
tersebut benarbenar semakin terasa. Sebab, simpulan itu bukan hanya berlaku
bagi PP No. 37/2006 yang ketika itu dibedah, tetapi berlaku untuk berbagai
produk peraturan perundang-undangan. Lebih-lebih sesudah kita mendengar laporan
BPK di depan DPR akhir Maret lalu dan melihat kasus-kasus korupsi yang
menggemparkan. PP No. 37 (yang telah direvisi karena tekanan publik) itu
hanyalah satu contoh dari begitu banyak produk peraturan perundang-undangan
yang memberi fungsi baru bagi hukum yakni sebagai alat pembenaran atau
legalisasi korupsi.
Hukum Tanpa Moral
Seorang dosen muda
mengatakan di forum itu dengan menggebu-gebu bahwa sekarang hukum di Indonesia
banyak dibuat tanpa dasar moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pokoknya, apa
yang diinginkan dan ditetapkan oleh yang berwenang membuat hukum itulah yang
harus berlaku. Dan dalam praktiknya, lembaga yang berwenang itu kemudian
membuat hukum dengan kolusi di antara para elite yang mengendalikan politik
secara oligarkis. Mereka membuat hukum-hukum yang membenarkan korupsi, baik
korupsi atas uang negara maupun korupsi politik dan berbagai korupsi
lainnya.Maka, perbuatan yang seharusnya dilarang dan diancam dengan hukuman menjadi
boleh dilakukan karena telah diberi baju hukum yang dapat melindunginya.
Paham Natural Law
yang menekankan bahwa hukum harus berdasar moral, memuat budi baik dan rasa
keadilan telah tercampak dari proses pembuatan hukum dan digantikan oleh aliran
Positivism yang mengatakan bahwa hukum adalah apa pun yang ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang membuatnya (wahatever is enacted by the law making
agency is the law in society).
Bagi kita sebenarnya
sudah jelas bahwa pembangunan hukum di Indonesia haruslah berpijak dari paham
Natural Law yang formalisasinya dapat dilakukan dengan Positivism. Dalam paham
ini, hukum-hukum memang dapat dibuat dan diberlakukan oleh lembaga yang
berwenang, tetapi harus didasarkan pada moral, keadilan, budi baik, dan kemanfaatan;
bukan berdasar pada upaya membenarkan korupsi dengan proses pembuatan hukum
yang kolutif. Konsepsi ini memiliki landasan konstitusional dalam UUD 1945
yakni pasal 1 ayat (3) tentang negara hukum dan pasal 28D ayat (1) serta pasal
28H ayat (2) yang menekankan pentingnya penyatuan antara asas kepastian hukum,
asas keadilan, dan asas kemanfaatan.
Karakter Konservatif
Dilihat dari sudut
karakter produk hukum bergesernya fungsi hukum dari alat pembaruan masyarakat
menjadi alat pembenaran korupsi, sebenarnya menandai munculnya kembali produk
hukum yang berkarakter konservatif yang dulu banyak dibuat oleh pemerintah Orde
Baru. Pada saat itu, hukum memang banyak dijadikan alat untuk membenarkan
kehendak sepihak penguasa, bahkan sering dikatakan sebagai alat "pemutihan"korupsi.
Hukum yang
berkarakter konservatif pada umumnya ditandai oleh tiga hal. Pertama,
pembentukannya bersifat sentralistik dan steril dari aspirasi yang datang dari
luar; ia diselesaikan secara kolutif di antara para elite politik. Kedua,isinya
adalah pembenaran sepihak atas apa yang diinginkan oleh para elite yang
melakukan transaksi politik; di sini hukum dijadikan alat untuk melegalkan
kehendak. Ketiga, cakupannya terbuka untuk diinterpretasikan melalui delegasi
kewenangan untuk membuat peraturan lanjutan; ia dijadikan pintu masuk untuk
membuat peraturan lebih lanjut secara sepihak dan tanpa kontrol.
Produk hukum
konservatif dengan fungsi pembenar atas kehendak elite itu dulu banyak sekali
diproduk oleh pemerintah Orde Baru dengan akibat merajalelanya korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Di era Orde Baru, hukum selalu dibuat secara sepihak tanpa taat
asas, tetapi tidak ada mekanisme uji materi oleh lembaga yudisial (judicial
review) yang dapat dipergunakan untuk meluruskannya. Ketika itu, ketentuan
tentang judicial review yang membuka kemungkinan dilakukannya uji materi atas
peraturan perundangundangan yang derajatnya di bawah UU sengaja dibuat dengan
kekacauan teoretis sehingga tidak pernah dapat diimplementasikan.
Kita baru dapat
mengakhiri keadaaan itu melalui perjuangan panjang dan pengorbanan besar yang
berpuncak pada reformasi 1998.Pada mulanya, saat-saat secara psikologis kita
mengalami euforia, memang tampak adanya perubahan karakter produk hukum dari
konservatif menjadi agak responsif. Namun, kemudian hukum-hukum yang
berkarakter konservatif mulai bermunculan lagi.
Maka, tidaklah
berlebihan ketika dosen-dosen muda itu mengajukan simpulan bahwa sekarang
fungsi hukum telah bergeser dari a tool of social engineering menjadi a tool of
social corruption. Untuk mengatasi ini, semoga kita tak memerlukan reformasi
jilid II. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar