Rabu, 23 Januari 2013

Mahfud MD: Bergesernya Fungsi Hukum


Bergesernya Fungsi Hukum

 

Teori Terkenal yang dikemukakan oleh Roscoe Pound bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering).

 

Itulah salah satu simpulan yang dihasilkan oleh forum Experts Meeting saat membedah PP No. 37/2006 di Pusat Studi Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berlangsung 26-29 Januari 2007, dua setengah bulan lalu. Simpulan itu semula dikemukakan dengan lugas oleh beberapa dosen muda yang tergabung dalam forum pakar untuk membedah PP tersebut dari aspek hukum, politik, dan ekonomi.

 

Ketika dua setengah bulan lalu saya mendengar simpulan tersebut, sebagai anggota experts, rasanya biasa-biasa saja. Tetapi melihat perkembangan belakangan ini rasanya hal tersebut benarbenar semakin terasa. Sebab, simpulan itu bukan hanya berlaku bagi PP No. 37/2006 yang ketika itu dibedah, tetapi berlaku untuk berbagai produk peraturan perundang-undangan. Lebih-lebih sesudah kita mendengar laporan BPK di depan DPR akhir Maret lalu dan melihat kasus-kasus korupsi yang menggemparkan. PP No. 37 (yang telah direvisi karena tekanan publik) itu hanyalah satu contoh dari begitu banyak produk peraturan perundang-undangan yang memberi fungsi baru bagi hukum yakni sebagai alat pembenaran atau legalisasi korupsi.

 

Hukum Tanpa Moral

 

Seorang dosen muda mengatakan di forum itu dengan menggebu-gebu bahwa sekarang hukum di Indonesia banyak dibuat tanpa dasar moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pokoknya, apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh yang berwenang membuat hukum itulah yang harus berlaku. Dan dalam praktiknya, lembaga yang berwenang itu kemudian membuat hukum dengan kolusi di antara para elite yang mengendalikan politik secara oligarkis. Mereka membuat hukum-hukum yang membenarkan korupsi, baik korupsi atas uang negara maupun korupsi politik dan berbagai korupsi lainnya.Maka, perbuatan yang seharusnya dilarang dan diancam dengan hukuman menjadi boleh dilakukan karena telah diberi baju hukum yang dapat melindunginya.

 

Paham Natural Law yang menekankan bahwa hukum harus berdasar moral, memuat budi baik dan rasa keadilan telah tercampak dari proses pembuatan hukum dan digantikan oleh aliran Positivism yang mengatakan bahwa hukum adalah apa pun yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya (wahatever is enacted by the law making agency is the law in society).

 

Bagi kita sebenarnya sudah jelas bahwa pembangunan hukum di Indonesia haruslah berpijak dari paham Natural Law yang formalisasinya dapat dilakukan dengan Positivism. Dalam paham ini, hukum-hukum memang dapat dibuat dan diberlakukan oleh lembaga yang berwenang, tetapi harus didasarkan pada moral, keadilan, budi baik, dan kemanfaatan; bukan berdasar pada upaya membenarkan korupsi dengan proses pembuatan hukum yang kolutif. Konsepsi ini memiliki landasan konstitusional dalam UUD 1945 yakni pasal 1 ayat (3) tentang negara hukum dan pasal 28D ayat (1) serta pasal 28H ayat (2) yang menekankan pentingnya penyatuan antara asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan.

Karakter Konservatif

 

Dilihat dari sudut karakter produk hukum bergesernya fungsi hukum dari alat pembaruan masyarakat menjadi alat pembenaran korupsi, sebenarnya menandai munculnya kembali produk hukum yang berkarakter konservatif yang dulu banyak dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Pada saat itu, hukum memang banyak dijadikan alat untuk membenarkan kehendak sepihak penguasa, bahkan sering dikatakan sebagai alat "pemutihan"korupsi.

 

Hukum yang berkarakter konservatif pada umumnya ditandai oleh tiga hal. Pertama, pembentukannya bersifat sentralistik dan steril dari aspirasi yang datang dari luar; ia diselesaikan secara kolutif di antara para elite politik. Kedua,isinya adalah pembenaran sepihak atas apa yang diinginkan oleh para elite yang melakukan transaksi politik; di sini hukum dijadikan alat untuk melegalkan kehendak. Ketiga, cakupannya terbuka untuk diinterpretasikan melalui delegasi kewenangan untuk membuat peraturan lanjutan; ia dijadikan pintu masuk untuk membuat peraturan lebih lanjut secara sepihak dan tanpa kontrol.

 

Produk hukum konservatif dengan fungsi pembenar atas kehendak elite itu dulu banyak sekali diproduk oleh pemerintah Orde Baru dengan akibat merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di era Orde Baru, hukum selalu dibuat secara sepihak tanpa taat asas, tetapi tidak ada mekanisme uji materi oleh lembaga yudisial (judicial review) yang dapat dipergunakan untuk meluruskannya. Ketika itu, ketentuan tentang judicial review yang membuka kemungkinan dilakukannya uji materi atas peraturan perundangundangan yang derajatnya di bawah UU sengaja dibuat dengan kekacauan teoretis sehingga tidak pernah dapat diimplementasikan.

 

Kita baru dapat mengakhiri keadaaan itu melalui perjuangan panjang dan pengorbanan besar yang berpuncak pada reformasi 1998.Pada mulanya, saat-saat secara psikologis kita mengalami euforia, memang tampak adanya perubahan karakter produk hukum dari konservatif menjadi agak responsif. Namun, kemudian hukum-hukum yang berkarakter konservatif mulai bermunculan lagi.

 

Maka, tidaklah berlebihan ketika dosen-dosen muda itu mengajukan simpulan bahwa sekarang fungsi hukum telah bergeser dari a tool of social engineering menjadi a tool of social corruption. Untuk mengatasi ini, semoga kita tak memerlukan reformasi jilid II. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar