Jumat, 25 Januari 2013

Kang Said: Bersama Tangani Teroris


Bersama Tangani Teroris

Rabu, 16 Januari 2013 | 13:47 WIB

Oleh: KH. Said Aqil Siradj

 

KOMPAS.com - Kembali teroris berulah. Di awal Januari 2013 ini, Detasemen Khusus Anti-teror 88 menembak mati lima terduga teroris di Dompu dan Bima. Kelima tersangka itu, menurut polisi, bagian dari tujuh teroris yang masuk dalam daftar pencarian orang dari Poso yang masuk ke Bima melalui jalur pelayaran dari Makassar, Sulawesi Selatan. Densus 88 juga menemukan bahan baku 261 bom pipa di Dompu, Nusa Tenggara Barat.

 

Kawanan teroris ini diduga mengincar kawasan wisata yang ramai dikunjungi wisatawan. Teroris juga diduga menargetkan menghancurkan sebuah hotel di Bima. Selain di NTB, teroris juga diduga hendak menghancurkan tempat ibadah dan kantor polisi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Rupanya teroris masih kuat bercokol di negeri ini, terus berbenah diri, membangun sel-sel jaringan, dan siap melancarkan aksinya. Banyak yang mengakui bahwa gerakan kelompok terorisme sangat terorganisasi, dinamis, dan memiliki tujuan tertentu. Jangan kaget bila jaringan teroris telah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia.

 

Penyakit akut

 

Terorisme barangkali layak diibaratkan penyakit diabetes. Manakala seseorang sudah terkena penyakit yang disebut-sebut sebagai pembunuh manusia tingkat kedua di dunia setelah kanker tersebut, ia seolah sudah divonis mustahil sembuh. Kadar gula penyandang diabetes kadang naik, kadang turun, bergantung pola diet makan, obat, dan olahraga.

 

Kata dokter, belum ditemukan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang pankreas tersebut. Namun, sudah banyak obat yang setidaknya bisa menurunkan atau menetralkan kadar gula, baik medis maupun herbal.

 

Persis dengan seseorang yang sudah terjangkiti ”penyakit” radikal dan terorisme. Entah karena awalnya berangkat dari ikut-ikutan pengajian-pengajian ”keras”, salah dalam membaca buku keagamaan, atau akibat rasa ”terasing” dari pergaulan sosial alias frustrasi sosial, masalah keterjepitan ekonomi, dan sebagainya.

 

Mengobati militansi yang didasari semangat jihad yang kebablasan ini memang tak seperti membalik tangan. Namun, jelas perlu terapi yang mujarab. Memang sudah cukup banyak dilakukan, seperti deradikalisasi, resosialisasi, reedukasi, dan reintegrasi. Cara-cara tersebut harus terus digencarkan demi kemanjuran menyembuhkan penyakit akibat ”overdosis” dalam memaknai ajaran keagamaan.

 

Penanganan komprehensif

 

Pada 7 Januari lalu, saya kedatangan empat warga Poso, Sulawesi Tengah. Mereka ke PBNU difasilitasi aktivis Gerakan Pemuda Anshor dan dua komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keempat orang ini meluapkan kecemasan terhadap sikap aparat dalam penanganan terorisme belakangan ini. Setelah mendengar segala keluh kesah mereka, saya manggut-manggut dan berjanji akan mencoba menyampaikan laporan warga Poso ini kepada Presiden.

 

Apa yang hendak saya wedarkan ini tentu sama sekali bukan untuk menggembosi tindakan pemberantasan teroris, tetapi lebih sebagai upaya membantu agar penanganan terorisme bisa lebih baik. Kita berharap penanganan sejumlah kasus dugaan terorisme di Tanah Air lebih profesional, menghindari sikap represif yang dapat menimbulkan waswas di masyarakat.

 

Memang, menghadapi ulah teroris seolah kita dibuat ”kelabakan” atau katakanlah ”dilematis”. Padahal, kelompok teroris ini bila beraksi bertindak brutal tanpa mengindahkan norma sosial dan bahkan keagamaan. Namun, pihak berwenang dituntut dalam menangani teroris harus selalu berjalan di jalur hukum dan norma-norma kemanusiaan lantaran perlu sealur dengan pemberlakuan HAM yang didudukkan sebagai ”norma internasional”. Misalnya, salah tangkap atau salah tembak bisa menimbulkan gejolak yang makin memanaskan suasana.

 

Adanya ”rambu-rambu” seperti ini bisa-bisa menimbulkan sikap dan tindakan ”maju kena mundur kena” sekalipun perlakuan dan penanganan terhadap terorisme lebih punya ”keleluasaan” dibanding penanganan kejahatan biasa. Sebab, terorisme dimasukkan kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

 

Sebenarnya yang justru lebih menarik dan bikin penasaran adalah model penanganan terorisme di negeri kita yang dirasa masih ”luwes dan lunak”. Namun ternyata, penanganan terorisme di negeri ini dipandang paling sukses dibanding negara lain, bahkan dibanding Amerika Serikat yang katanya jadi ”ikon” demokrasi justru memberlakukan tindakan represif terhadap tahanan kasus terorisme.

 

Fakta ini perlu jadi kebanggaan kita sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran sehingga segala upaya penindakan terhadap segala bentuk brutalisme selalu berjalan berdasar pada hukum yang berlaku serta norma-norma yang adiluhung. Bukan lantas menjadi ”peluang” bagi kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi anarkis, terutama terhadap mereka yang diposisikan sebagai minoritas.

 

Tak bisa dimungkiri, aksi terorisme merupakan tindakan sadis yang melanggar kemanusiaan dan ajaran mulia keagamaan. Prinsip ini yang secara fundamental wajib menjadi pegangan dalam menindaklanjuti upaya melawan teroris. Jangan sampai kemudian tindakan yang sudah dirancang bangun demikian rupa jadi terkesan ”lembek”.

 

Di tataran perilaku

 

Apa dan siapa teroris itu? Teroris bukan penyandang sakit jiwa (psikopat), penderita gangguan jiwa (neurotik), atau orang- orang yang sadis. Pengamat Barat sebelumnya menghujami tuduhan, teroris itu akibat ketersumbatan libido seksual mereka lantaran banyaknya larangan perilaku seksual dalam ajaran Islam.

 

Meminjam hasil penelitian Sarlito Wirawan Sarwono (2012), para teroris adalah orang-orang biasa. Beberapa di antaranya bahkan tergolong cerdas. Kebetulan mereka punya ideologi berbeda dengan kita. Ideologi ini sangat diyakini seolah-olah ideologi mereka paling benar dan yang lain salah.

 

Para teroris adalah orang-orang normal yang beranak-istri, setia kawan, patuh pada orangtua, dan bekerja mencari nafkah sebelum buron.

 

Ideologi mereka tak ubahnya ideologi-ideologi radikal lainnya yang berada di luar basis keagamaan. Sebutlah ideologi kaum kiri yang bersumber pada Marxisme seperti pemberontak komunis di Kolombia dan Filipina. Juga seperti sekte-sekte radikal Aum Shinrikyo di Jepang dan Yoel Lerner dari Yahudi radikal di Israel. Mereka sangat militan dalam doktrin dan kalap dalam melakukan aksi kekerasan.

 

Akhirnya, kita perlu menimang-nimang pemahaman yang lebih baik atas gejala terorisme sehingga mampu menindaknya lebih cepat dan tepat. Pendekatan komprehensif banyak diakui berbagai pihak belum terlaksana dalam penanganan terorisme di negeri ini.

 

Apa yang selama ini dilakukan, seperti program deradikalisasi, perlu lebih ditingkatkan menjadi program disengagement. Maksudnya, kita tak lagi hanya berkutat di tataran ideologi, tetapi juga di tataran perilaku.

Seiring itu, perlu keterlibatan masyarakat dalam memberi informasi, mewaspadai, dan menyikapi bekas narapidana teroris sehingga langkah-langkah pembinaan, preventif, dan penegakan hukum menjadi lebih sinergis.

 

Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar