Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
TIDAK mudah memperbaiki kualitas penegakan
hukum di negara ini. Ada begitu banyak faktor penghambat. Vonis Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas perkara Angelina Sondakh menjadi
bukti paling faktual tentang hambatan-hambatan dalam memperbaiki kualitas
penegakan hukum.
Kualitas vonis itu, menurut cara pandang
berbagai kalangan. demikian buruk. Dan, karena kualitasnya yang buruk, vonis
itu melukai rasa keadilan publik. Sudah barang tentu, Majelis Hakim Pengadilan
Tipikor Jakarta meyakini semua pertimbangan mereka yang mendasari ketetapan
vonis itu sebagai yang paling benar. Keyakinan majelis hakim itu wajib
dihormati. Namun, penyikapan publik yang awam hukum atas vonis itu pun harus
dihormati, termasuk ketika sejumlah kalangan terang-terangan menyatakan kecewa
atas cara pandang dan pemaknaan majelis terhadap fakta-fakta dalam perkara itu.
Soalnya, sejalan dengan deskripsi kasus yang
sudah dipaparkan di ruang publik, masyarakat luas terlanjur memahami kasus ini
sebagai kejahatan terhadap kepentingan rakyat banyak, khususnya kejahatan
terhadap kepentingan rakyat akan pendidikan. Sebab, kasusnya dideskripsikan
sebagai aksi seorang anggota parlemen menggiring anggaran proyek perguruan
tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional agar besaran anggarannya bisa
disesuaikan dengan pesanan pihak swasta yang mengincar proyek itu. Dan, atas
jasanya menggiring besaran anggaran proyek dimaksud, yang bersangkutan akan
mendapatkan fee yang besarnya disepakati kedua belah pihak.
Dengan deskripsi kasus seperti itu, bisa
diurai beberapa tindakan tidak terpuji yang memang patut diberi sanksi. Dari
deskripsi kasus itu, publik melihat adanya tindakan penyalahgunaan wewenang
sebagai anggota parlemen dan anggota Badan Anggaran, pelanggaran Etika,
berkonspirasi dengan swasta untuk me-mark up atau menggelembungkan nilai
proyek, serta ada tindakan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri
sendiri dan memperkaya orang lain. Jelas ada kerugian negara dan kerugian
rakyat di situ. Dan, untuk semua modus kejahatan dan pelanggaran etika itu,
yang bersangkutan hanya diganjar 4 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 250
juta.
Masyarakat memersepsikan perkara ini sebagai
kejahatan kualitas tinggi. Bukan hanya karena melibatkan uang rupiah puluhan
milyar dan dolar AS berjuta-juta, melainkan juga karena seorang anggota
parlemen bersengkongkol menyiasati anggaran proyek; dalam arti tidak sekadar
menggiring proyek, tetapi menggiring besaran anggaran proyek sesuai permintaan
pihak lain. Kalau yang digiring besaran anggaran proyeknya, sudah ada indikasi
mark up atau penggelembungan nilai proyek. Kalau terjadi penggelembungan,
berarti ada potensi kerugian negara.
Kalau kualitas kejahatannya seperti itu,
kualitas sanksi hukumnya pun mestinya paling keras. Sebab, pelaku
kejahatannya adalah anggota parlemen yang seharusnya justru ekstra prudent
dalam mempelajari nilai tambah proyek berikut volume anggarannya. Kalau dia
justru berkonspirasi menyiasati anggaran proyek untuk memperkaya diri dan
memperkaya orang lain, itu adalah pengkhianatan seorang wakil rakyat
terhadap rakyat yang telah memberinya amanah. Dengan begitu, derajat
kesalahannya pun mestinya luar biasa. Otomatis, sanksinya pun harus luar biasa
pula.
Sebab, sang pelaku tidak hanya harus mewakili
rakyat, tetapi wajib pula mendengar dan menghayati aspirasi rakyat. Setelah
itu, dia harus memperjuangkan kepentingan rakyat, serta melindungi rakyat agar
tidak dilukai oleh kekuatan jahat di bidang apa pun. Lebih dari itu, dia harus
menjadi panutan. Namun, apa yang dilakukannya justru sangat bertentangan
Sebagai anggota parlemen, dia bukan sosok yang patut dicontoh, sebab
perilakunya bertutur tentang segala sesuatu yang buruk.
Sepak terjangnya sama sekali jauh dari
standar seseorang yang kapabel mewakili banyak orang. Dia telah
mengomersialisasikan jabatannya sebagai wakil rakyat untuk memperkaya diri. Dia
bahkan tidak peduli pada aspirasi rakyat di bidang pendidikan. Bukannya
melindungi rakyat, dia justru menambah derajat penderitaan rakyat. Jika
publik ingat penampilannya dalam iklan anti korupsi yang ditayangkan di
televisi beberapa tahun lalu, ternyata dia kini terbukti sebagai
pembohong besar. Maka, perlakuan hukum terhadapnya semestinya ekstra keras.
Rupanya, persepsi seperti ini lepas dari
perhatian majelis hakim. Kemarahan rakyat terhadap perilaku korup oknum
anggota parlemen yang sudah sekian lama bergema di ruang publik benar-benar
ditempatkan sebagai persoalan terpisah oleh majelis hakim. Kemarahan
publik sebagai cerminan terlukanya rasa keadilan itu dianggap tidak relevan
dengan perkara kasus korupsi yang dituduhkan kepada oknum anggota parlemen.
Ekspektasi Publik
Karena itu, tidaklah menghenrankan jika
kualitas vonis yang ditetapkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta amat sangat tidak sebanding dengan kualitas kejahatan yang
terpancar dari perkara itu. Banyak kalangan tidak mengerti mengapa majelis
hakim sampai berani untuk menetapkan si terpidana tidak diwajibkan mengganti
kerugian negara. Bukankah anggaran proyek yang digiring dan disiasatinya adalah
uang negara, dan dia menerima fee karena menyiasati uang negara? Logika inilah
yang dipergunjingkan publik pasca vonis perkara itu.
Ragam pendapat dan argumen bernada kecewa
telah disuarakan berbagai pihak, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sendiri. Bahkan, KPK menilai vonis majelis hakim itu cacat yuridis
metodologis. Masyarakat bersyukur karena KPK pun bereaksi keras. Kini,
masyarakat berharap ada tindak lanjut dari perasaan kecewa itu.
Satu-satunya pilihan adalah banding oleh KPK.
Kegigihan KPK dalam upaya mengoreksi vonis
perkara itu menjadi sangat penting. Sebab, akhir-akhir ini, ekspektasi
masyarakat terhadap upaya perbaikan kualitas penegakan hukum sangat tinggi.
Masyarakat mulai yakin bahwa masih ada harapan untuk meluruskan praktik penegakan
hukum. Ekspektasi masyarakat yang tinggi itu mengacu pada dinamika penegakan
hukum sepanjang tahun 2012, khususnya pada progres signifikan yang telah
ditunjukan KPK dalam menangani sejumlah kasus besar.
Seperti diketahui, tahun lalu, KPK menetapkan
seorang menteri aktif sebagai tersangka kasus Hambalang; menahan seorang
jenderal bintang dua dalam kasus simulator SIM, menetapkan tersangka atas dua
mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam kasus mega skandal Bank
Century; menghadapkan ke pengadilan sejumlah anggota parlemen dan seorang
mantan Deputi Gubernur BI, serta menahan seorang pengusaha besar yang dikenal
dekat dengan penguasa.
Momentum perbaikan kualitas penegakan hukum
ini harus dijaga dan dipertahankan. Kini, rakyat semakin disadarkan bahwa masih
ada beragam hambatan yang harus dilalui. Antara lain proses peradilan itu
sendiri. Keberanian KPK menghilangkan praktik tebang pilih penegakan hukum akan
sia-sia jika vonis pengadilan Tipikor tidak memberi efek jera.
Karena itu, dorongan kepada KPK untuk
mengajukan banding atas vonis tidak berkeadilan pada sejumlah perkara korupsi
merupakan bagian dari upaya memperbaiki kualitas penegakan hukum. China
menetapkan hukuman mati bagi koruptor. Maka, tanpa harus meniru China,
Indonesia pun harus berani menetapkan standar mutu penegakan hukum yang bisa
membuat siapa saja jera berperilaku korup.
Sudah semakin jelas bahwa peran lembaga
peradilan di negara ini belum efektif dalam memicu efek jera bagi pelaku tindak
pidana korupsi. Inilah tantangan bersama dalam upaya memperbaiki kualitas
penegakan hukum. Rakyat berharap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bisa
merespons masalah ini. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar