Selasa, 29 Januari 2013

BamSoet: Mutu Tipikor versus Mutu Vonis

Mutu Tipikor versus Mutu Vonis

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI/

Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

 

TIDAK mudah memperbaiki kualitas penegakan hukum di negara ini. Ada begitu banyak faktor penghambat. Vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas perkara Angelina Sondakh menjadi bukti paling faktual tentang hambatan-hambatan dalam memperbaiki kualitas penegakan hukum.

 

Kualitas vonis itu, menurut cara pandang berbagai kalangan. demikian buruk. Dan, karena kualitasnya yang buruk, vonis itu melukai rasa keadilan publik. Sudah barang tentu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta meyakini semua pertimbangan mereka yang mendasari ketetapan vonis itu sebagai yang paling benar. Keyakinan majelis hakim itu wajib dihormati. Namun, penyikapan publik yang awam hukum atas vonis itu pun harus dihormati, termasuk ketika sejumlah kalangan terang-terangan menyatakan kecewa atas cara pandang dan pemaknaan majelis terhadap fakta-fakta dalam perkara itu.

 

Soalnya, sejalan dengan deskripsi kasus yang sudah dipaparkan di ruang publik, masyarakat luas terlanjur memahami kasus ini sebagai kejahatan terhadap kepentingan rakyat banyak, khususnya kejahatan terhadap kepentingan rakyat akan pendidikan. Sebab, kasusnya dideskripsikan sebagai aksi seorang anggota parlemen menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional agar besaran anggarannya bisa disesuaikan dengan pesanan pihak swasta yang mengincar proyek itu. Dan, atas jasanya menggiring besaran anggaran proyek dimaksud, yang bersangkutan akan mendapatkan fee yang besarnya disepakati kedua belah pihak.

 

Dengan deskripsi kasus seperti itu, bisa diurai beberapa tindakan tidak terpuji yang memang patut diberi sanksi. Dari deskripsi kasus itu, publik melihat adanya tindakan penyalahgunaan wewenang sebagai anggota parlemen dan anggota Badan Anggaran, pelanggaran Etika, berkonspirasi dengan swasta untuk me-mark up atau menggelembungkan nilai proyek, serta ada tindakan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan memperkaya orang lain. Jelas ada kerugian negara dan kerugian rakyat di situ. Dan, untuk semua modus kejahatan dan pelanggaran etika itu, yang bersangkutan hanya diganjar 4 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 250 juta.

 

Masyarakat memersepsikan perkara ini sebagai kejahatan kualitas tinggi. Bukan hanya karena melibatkan uang rupiah puluhan milyar dan dolar AS berjuta-juta, melainkan juga karena seorang anggota parlemen bersengkongkol menyiasati anggaran proyek; dalam arti tidak sekadar menggiring proyek, tetapi menggiring besaran anggaran proyek sesuai permintaan pihak lain. Kalau yang digiring besaran anggaran proyeknya, sudah ada indikasi mark up atau penggelembungan nilai proyek. Kalau terjadi penggelembungan, berarti ada potensi kerugian negara.

 

Kalau kualitas kejahatannya seperti itu, kualitas sanksi hukumnya pun mestinya paling keras.  Sebab, pelaku kejahatannya adalah anggota parlemen yang seharusnya justru ekstra prudent dalam mempelajari nilai tambah proyek berikut volume anggarannya. Kalau dia justru berkonspirasi menyiasati anggaran proyek untuk memperkaya diri dan memperkaya orang lain,  itu adalah pengkhianatan seorang wakil rakyat terhadap rakyat yang telah memberinya amanah. Dengan begitu, derajat kesalahannya pun mestinya luar biasa. Otomatis, sanksinya pun harus luar biasa pula.

 

Sebab, sang pelaku tidak hanya harus mewakili rakyat, tetapi wajib pula mendengar dan menghayati aspirasi rakyat. Setelah itu, dia harus memperjuangkan kepentingan rakyat, serta melindungi rakyat agar tidak dilukai oleh kekuatan jahat di bidang apa pun. Lebih dari itu, dia harus menjadi panutan. Namun,  apa yang dilakukannya justru sangat bertentangan Sebagai anggota parlemen, dia bukan sosok yang patut dicontoh, sebab perilakunya bertutur tentang segala  sesuatu yang buruk.

 

Sepak terjangnya sama sekali jauh dari standar seseorang yang kapabel mewakili banyak orang. Dia telah mengomersialisasikan jabatannya sebagai wakil rakyat untuk memperkaya diri. Dia bahkan tidak peduli pada aspirasi rakyat di bidang pendidikan. Bukannya melindungi rakyat, dia justru menambah derajat penderitaan rakyat.  Jika publik ingat penampilannya dalam iklan anti korupsi yang ditayangkan di televisi beberapa tahun lalu,  ternyata dia kini terbukti sebagai pembohong besar. Maka, perlakuan hukum terhadapnya semestinya ekstra keras.

 

Rupanya, persepsi seperti ini lepas dari perhatian majelis hakim.  Kemarahan rakyat terhadap perilaku korup oknum anggota parlemen yang sudah sekian lama bergema di ruang publik benar-benar ditempatkan sebagai persoalan terpisah  oleh majelis hakim. Kemarahan publik sebagai cerminan terlukanya rasa keadilan itu dianggap tidak relevan dengan perkara kasus korupsi yang dituduhkan kepada oknum anggota parlemen.

  

Ekspektasi Publik

  

Karena itu, tidaklah menghenrankan jika kualitas vonis  yang ditetapkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta amat sangat tidak sebanding dengan kualitas kejahatan yang terpancar dari perkara itu. Banyak kalangan tidak mengerti mengapa majelis hakim sampai berani untuk menetapkan si terpidana tidak diwajibkan mengganti kerugian negara. Bukankah anggaran proyek yang digiring dan disiasatinya adalah uang negara, dan dia menerima fee karena menyiasati uang negara? Logika inilah yang dipergunjingkan publik pasca vonis perkara itu. 

 

Ragam pendapat dan argumen bernada kecewa telah disuarakan berbagai pihak, termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri. Bahkan, KPK menilai vonis majelis hakim itu cacat yuridis metodologis. Masyarakat bersyukur karena KPK pun bereaksi keras. Kini, masyarakat  berharap ada tindak lanjut dari perasaan kecewa itu. Satu-satunya pilihan adalah banding oleh KPK.

 

Kegigihan KPK dalam upaya mengoreksi vonis perkara itu menjadi sangat penting. Sebab,  akhir-akhir ini, ekspektasi masyarakat terhadap upaya perbaikan kualitas penegakan hukum sangat tinggi. Masyarakat mulai yakin bahwa masih ada harapan untuk meluruskan praktik penegakan hukum. Ekspektasi masyarakat yang tinggi itu mengacu pada dinamika penegakan hukum sepanjang tahun 2012, khususnya pada progres signifikan yang telah ditunjukan KPK dalam menangani sejumlah kasus besar. 

Seperti diketahui, tahun lalu, KPK menetapkan seorang menteri aktif sebagai tersangka kasus Hambalang; menahan seorang jenderal bintang dua dalam kasus simulator SIM, menetapkan tersangka atas dua mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam kasus  mega skandal Bank Century;  menghadapkan ke pengadilan sejumlah anggota parlemen dan seorang mantan Deputi Gubernur BI, serta menahan seorang pengusaha besar yang dikenal dekat dengan penguasa.

 

Momentum perbaikan kualitas penegakan hukum ini harus dijaga dan dipertahankan. Kini, rakyat semakin disadarkan bahwa masih ada beragam hambatan yang harus dilalui. Antara lain proses peradilan itu sendiri. Keberanian KPK menghilangkan praktik tebang pilih penegakan hukum akan sia-sia jika vonis pengadilan Tipikor tidak memberi efek jera. 

 

Karena itu, dorongan kepada KPK untuk mengajukan banding atas vonis tidak berkeadilan pada sejumlah perkara korupsi merupakan bagian dari upaya memperbaiki kualitas penegakan hukum. China menetapkan hukuman mati bagi koruptor. Maka, tanpa harus meniru China, Indonesia pun harus berani menetapkan standar mutu penegakan hukum yang bisa membuat siapa saja jera berperilaku korup.

 

Sudah semakin jelas bahwa peran lembaga peradilan di negara ini belum efektif dalam memicu efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Inilah tantangan bersama dalam upaya memperbaiki kualitas penegakan hukum. Rakyat berharap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bisa merespons masalah ini. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar