Selasa, 29 Januari 2013

(Ensiklopedi of the Day) Maudhu Lompoa


Maudhu Lompoa

 

Maudhu Lompoa merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar komunitas Muslim Cikoang di Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Dalam bahasa Makassar, Maudhu artinya maulid dan lompoa artinya besar.


Maudhu Lompoa berarti Maulid Besar. Upacara Maudhu Lompoa ini berawal dari perayaan ka’do minyak (sesuai nama makanan yang disajikan yakni ka’do minyak atau nasi ketan) yang dilakukan oleh Sayyid Jalaluddin pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 H, bertepatan dengan tanggal 11 November 1605.


Perayaan tersebut dihadiri oleh para pembesar sembilan kerajaan besar sat itu, yaitu Sumbawa, Gowa, Bone, Luwuk, Sanrobone, Buton, Galesong, Binamu dan Laikang. Lima belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Rabbiul Awal 1040 H (1620 M) pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad di Cikoang ini dinamakan Maudhu Lompoa.


Sayyid Jalaluddin adalah tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi yang dikenal sebagai pendakwah yang tidak berusaha menghapuskan tradisi masyarakat yang sudah ada.


Dalam legendanya, Sayyid Jalaluddin berhadapan dengan tokoh-tokoh lokal Cikoang, I Bunrang dan I Danda, yang sebelumnya menolak kedatangan para pendakwah agama Islam. Setelah berdialog dengan Sayyid Jalaluddin mereka justru menerimanya menjadi guru mereka karena Sayyid Jalaluddin memperkenalkan agama Islam yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat. Salah satu yang diperkenalkan Sayyid Jalaluddin pada masyarakat Cikoang adalah perayaan maulid nabi yang kemudian dikenal masyarakat dengan nama Maudhu Lompoa.


Saat acara perayaan berlangsung Sungai Cikoang dipenuhi dengan puluhan perahu hias yang mengarak telur-telur menuju lokasi perayaan Maudhu Lompoa. Maudhu Lompoa berbeda dengan peringatan Maulid yang lazim dilaksanakan orang Islam di Sulawesi Selatan. Misalnya dalam sejumlah perlengkapan upacara. Pada upacara Maudhu Lompoa terdapat julung-julung (sejenis perahu nyang diibaratkan sebagai tumpangan Syekh Jalaluddin pada zaman dulu) dan juga Kandawari (tempat telur, nasi ketan dan ayam disimpan).


Selain itu, Komunitas Cikoang percaya bahwa peringatan maulid juga dilakukan pula oleh Nabi Muhammad sendiri . Mereka percaya bahwa ada tiga cara memperingati maulid nabi, yaitu memperingati kehadiran Muhammad di alam Nur, memperingati kehadiran Muhammad di alam rahim, serta memperingati kehadiran Muhammad di alam nyata atau dunia ini. Upacara yang dilakukan di Cikoang adalah perayaan maulid Nabi Muhammad di alam Nur dan bukan di alam dunia sebagaimana yang lazim dilakukan orang Islam lainnya. Sehingga dalam perayaan maulid di sini semua masyarakat Cikoang yakin bahwa ruh Nabi Muhammad juga hadir.


Prosesi upacara Maudhu Lompoa sudah dimulai sejak bulan Safar, dengan melakukan je’ne-je’ne sapparang (mandi bulan safar) sambil mempersiapkan berbagai kelengkapan acara. Sebelum puncak acara, pelaksanaan maulid diadakan secara bergilir dari rumah ke rumah para sayyid dengan pembacaan kitab barzanji (kitab sejarah Nabi Muhammad) yang dikenal dengan nama anrate yaitu membaca barzanji dengan lagu dan irama lokal.


Pada masa DI/TII, perayaan Maudhu Lompoa dinyatakan sebagai upacara terlarang. DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar menganggap perayaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama karena mengandung bid’ah dan khurafat.


Dalam perkembangannya, perayaan Maudhu Lompoa menjadi atraksi pariwisata. Selama satu minggu diadakan pameran dengan stan-stan yang berjejer di lapangan Cikoang. Selain itu juga diadakan berbagai macam perlombaan seperti lomba perahu, lomba mengaji ala Cikoang, pertandingan qasidah, panjat pinang, hingga pentas hiburan musik dangdut.


Perayaan yang semakin besar dan menarik minat warga diluar Takalar mendorong pemerintah setempat turut berpartisipasi dalam perayaan ini dan mendorongnya sebagai tujuan wisata. Salah satunya adalah dengan membuat panitia resmi perayaan Maudhu Lompoa melalui SK Bupati. []

 

Sumber: Ensiklopedia NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar