Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
LUBANG besar di benteng keadilan itu bertutur
tentang cacat cela ribuan oknum hakim. Demikian besarnya lubang itu sehingga
sudah menggoyahkan kepercayaan rakyat. Kini, bagi pencari keadilan di negara
ini, benteng keadilan tidak ideal lagi untuk berlindung.
Sebab, banyak oknum hakim kini begitu mudah
tergoda dan menjadi sangat kompromistis terhadap berbagai bentuk dan modus
kejahatan. Kebenaran tidak lagi di atas segala-segalanya. Ruang persidangan
sudah dijadikan tempat untuk bertransaksi oleh begitu banyak oknum hakim. Bagi
kelompok oknum hakim seperti ini, di atas segala-galanya adalah uang
sogok. Maka, ada kasus hakim agung yang memalsukan vonis dengan tulisan
tangan, ada hakim yang tertangkap tangan saat menggenggam uang suap, hingga ada
juga oknum hakim yang tertangkap saat berpesta sabu di kelab malam.
Kecenderungan inilah yang mendasari
keprihatinan Komisi III DPR ketika melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan
para calon hakim agung, baru-baru ini. Delapan hakim agung memang sudah
terpilih guna merespons tambahan kebutuhan Mahkamah Agung (MA). Namun, berbagai
kalangan, termasuk unsur pimpinan DPR, terang-terangan menyatakan tidak puas
atas hasil seleksi itu. Komisi III DPR pun kecewa, karena tambahan delapan
hakim agung itu diyakini tidak akan efektif memperbaiki kerusakan parah yang
terjadi dalam dunia peradilan Indonesia.
Kasus Hakim Agung Ahmad Yamanie dan kasus
Hakim Puji Wijayanto memberi gambaran utuh tentang kerusakan parah dunia
peradilan Indonesia. Yamanie bersama dua koleganya membatalkan hukuman mati
bagi terpidana gembong narkoba Hanky Gunawan menjadi 15 tahun hukuman penjara.
Namun, Hakim Agung Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu. Caranya pun
konyol. Dia memalsukan vonis itu dengan tulisan tangan menjadi 12 tahun.
Sedangkan apa yang dilakukan Hakim Puji Wijayanto membuat banyak orang hanya
bisa geleng kepala. Hakim Puji ditangkap saat dia berpesta sabu di sebuah kelab
malam. MA pun menyikapi dua kasus ini sebagai tamparan keras yang amat
memalukan korps hakim.
Catatan tentang perilaku tak terpuji oknum
hakim cenderung meningkat. Beberapa tahun lalu, MA pernah mengakui bahwa
sekitar 30 persen hakim di setiap daerah, termasuk Ketua Pengadilan Negeri (PN)
dan Pengadilan Tinggi (PT), bermasalah atau nakal. Perilaku tercela para hakim
itu dilaksanakan dengan beragam modus, sehingga di kalangan korps hakim dikenal
istilah ‘anak emas’ dan ‘anak perak’.
Dari akumulasi temuan MA dan laporan
masyarakat, terlihat bahwa kasus pelanggaran etika atau kejahatan yang
melibatkan oknum hakim memang cenderung meningkat. Menurut, kalau per 2007 hanya
ada 14 kasus hakim yang melanggar etika, jumlahnya terus bertambah di
tahun-tahun berikutnya. Per 2008, tercatat 38 kasus, lalu naik menjadi 78 kasus
pada 2009, dan bertambah lagi menjadi 110 kasus pada 2010. Sementara itu, tahun
lalu, Komisi Yudisial (KY) mengumumkan telah menerima 1.357 laporan tentang
hakim bermasalah, sementara jumlah tahun sebelumnya mencapai 1.724 laporan.
Laporan hakim bermasalah itu berasal dari masyarakat.
Menurut MA, dalam rentang waktu 2007 – 2012,
Jumlah hakim yang mendapatkan hukuman disiplin mencapai 366 hakim. Khusus tahun
2012, jumlah hakim yang menerima hukuman mencapai 110 hakim. MA tidak hanya
memberi sanksi kepada ratusan oknum hakim. Hingga akhir 2012 misalnya, MA juga
menjatuhkan hukuman kepada puluhan pegawai, dari level panitera, panitera muda,
panitera pengganti, pejabat struktural dan nonstruktural, juru sita, serta juru
sita pengganti.
Itulah lubang besar di benteng keadilan
negara ini. Lubang yang menggambarkan kerusakan serius dunia peradilan tanah
air. Potret kerusakan itu terlihat begitu telanjang pada kasus Hakim Agung
Yamanie, kasus Hakim Puji, termasuk kasus vonis bebas oleh hakim tipikor dalam
perkara mantan walikota bekasi Mochtar Muhammad.
Hentikan Brutalitas
Ada dua target ketika Komisi III DPR
melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung baru-baru ini.
Pertama, memenuhi tambahan calon hakim agung yang dibutuhkan MA. Sebelumnya,
hanya ada 44 hakim agung untuk menghadapi beban pekerjaan sebanyak 12 ribu
tunggakan perkara di MA. Dengan tambahan delapan hakim agung yang baru, jumlah
hakim agung belum ideal untuk beban pekerjaan sebanyak itu.
Sedangkan target kedua adalah memilih sosok
hakim agung dengan reputasi dan integritas yang teruji, berkeahlian di atas
rata-rata, dan visioner. Para hakim agung yang paham tentang kerusakan dunia
peradilan tanah air; tahu apa saja yang harus diperbaiki dan bagaimana cara
memperbaiki kerusakan itu. Namun, target ini tak terpenuhi karena
kualifikasi peserta seleksi rata-rata standar.
Karena itu, MA dan KY harus lebih bekerja
keras dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki kerusakan yang terjadi pada
bidang peradilan saat ini. Kedua institusi itu sebaiknya membangun sinergi dan
merumuskan program bersama. Sinergi dan program bersama bisa terwujud jika
kedua institusi tidak terperangkap dalam rivalitas. MA dan KY harus fokus pada
dahaga rakyat Indonesia akan keadilan, serta kebutuhan negara-bangsa akan
kepastian hukum. Keadilan akan menenteramkan dan mewujudkan ketertiban umum.
Sedangkan kepastian hukum menjadi modal yang mutlak demi terlaksananya
pembangunan di semua sektor kehidupan.
Perbaikan di bidang peradilan merupakan
program yang mendesak. MA dan KY harus arif memaknai perkembangan dan perubahan
perilaku masyarakat. Sebab, perkembangan dan perubahan perilaku masyarakat pada
akhirnya memengaruhi dinamika penegakan hukum dan keadilan. Partisipasi
masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus oknum hakim bermasalah adalah contoh
tentang sikap kritis publik terhadap model keadilan versi hakim terlapor.
Pun, dari laporan masyarakat itu, bisa
dirumuskan beragam makna. Tak hanya sekadar kecewa dan prihatin atas perilaku
tak terpuji oknum hakim yang dilaporkan, tetapi laporan-laporan itu layak juga
dimaknai sebagai benih-benih ketidakpercayaan masyarakat terhadap oknum hakim
dan lembaga peradilan.
Atau, kalau mengacu pada maraknya konflik
horizontal di sejumlah kota dan daerah akhir-akhir ini, bisa jadi karena para
pihak yang terlibat dalam rangkaian konflik itu tidak percaya lagi
terhadap semua institusi penegak hukum, termasuk hakim dan lembaga peradilan.
Ketidakpercayaan itu mendorong mereka untuk menyelesaikan masalah dengan cara
mereka sendiri, menggelar konflik berdarah yang tak jarang menelan korban jiwa.
Sangat penting bagi MA dan KY untuk menghayati
perkembangan dan perubahan perilaku masyarakat itu dan menjadikannya materi
yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan program-program kerja bersama.
Jangan biarkan brutalitas menggejala dalam
dunia peradilan. Sebab, jika masyarakat melihat oknum hakim bertindak brutal,
ruang publik pun akan sarat brutalitas karena lembaga peradilan dinilai tidak
layak lagi untuk mengadu dan berlindung.
Jumlah hakim saat ini masih dibawah 5.000.
Namun, diyakini bahwa dari jumlah itu, masih sangat banyak hakim yang setia dan
taat azas pada profesinya, serta menghayati benar eksistensinya sebagai Wakil
Tuhan di ruang sidang. Kalau MA dan KY bertekun memperbaiki dunia peradilan di
negara ini, para hakim baik-baik itu bisa menutup lubang besar di benteng
keadilan itu, dan memulihkan lembaga peradilan sebagai tempat yang ideal untuk
mengadu dan berlindung. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar