‘La Yunkar al-Mukhtalaf’,
Kaidah Fiqih yang Mengakomodasi Tiap Perbedaan
Kaidah
Fiqih:
لَا
يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Masalah yang masih diperselisihkan
(keharamannya) tidak boleh diingkari, tapi harus mengingkari masalah yang
(keharamannya) telah disepakati.” (Imam Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nadhâ’ir,
Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1990, hlm 158)
****
Kaidah fiqih di atas mengakomodir semua
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dalam bingkai kesepakatan
bahwa “tidak boleh menolak masalah yang keharamannya masih diperdebatkan,
penolakan hanya berlaku pada masalah yang keharamannya telah disepakati.”
Contohnya berjudi, minum khamr, zina, mencuri, meninggalkan shalat dan lain
sebagainya. Semua itu adalah masalah yang keharamannya telah disepakati.
Berbeda dengan kasus—salah satu
contohnya—mengirim bacaan Al-Qur’an dan doa untuk orang mati. Para ulama
berbeda pendapat tentang hal itu. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang
mengatakan boleh, bahkan ada pula yang mengatakan termasuk ibadah. Setiap ulama
memiliki dalilnya sendiri-sendiri sehingga dapat mengeluarkan produk hukum yang
berbeda. Bagi yang mengikuti pendapat boleh, silahkan mengamalkannya. Bagi yang
tidak sependapat, silahkan, tapi jangan menuduh bid’ah, dan tetap harus
berpegang teguh pada kaidah di atas.
Syekh Dr. Muhammad Mustafa al-Zuhaili dalam
bukunya, al-Qawâ’id
al-Fiqhiyyah wa Tathbîqatuhâ fî al-Madzâhib al-Arba’ah menjelaskan
tentang kaidah di atas:
فلا
يجب إنكار المختلف فيه، لأنه يقوم على دليل، وإنما يجب إنكار فعل يخالف المجمع
عليه، لأنه لا دليل عليه
“Tidak diharuskan menolak
masalah-masalah yang masih diperselisihkan keharamannya, karena masih
berdasarkan pada dalil. Penolakan harus diterapkan pada perbuatan yang
menyalahi kesepakatan ulama (atas keharamannya), karena tidak berdasarkan
dalil.” (Dr.
Muhammad Mustafa al-Zuhaili, al-Qawâ’id
al-Fiqhiyyah wa Tathbîqatuhâ fî al-Madzâhib al-Arba’ah, Damaskus:
Darul Fikr, 2006, juz 2, hlm 757)
Dengan kata lain, kaidah fiqih “lâ yunkar al-mukhtalaf.....”
merupakan atap yang mengayomi berbagai perbedaan pendapat dalam hukum Islam.
Selama pendapat yang dikeluarkan memiliki dasar argumentasi yang jelas (dalil
dan nalar fiqih), kita tidak boleh mengatakannya sebagai sesuatu yang haram,
bid’ah dan musyrik. Lagipula perbedaan pendapat para ulama itu nikmat yang
besar. Imam al-Suyûthî (1445-1505 M) mengatakan dalam salah satu risalah
kecilnya:
اعلم
أن اختلاف المذاهب في الـملة نعمة كبيرة وفضيلة عظيمة، وله سر لطيف أدركه
العالـمون وعمي عنه الجاهلون، حتى سـمعت بعض الجهال يقول: النبي صلى الله عليه
وعلى آله وسلم جاء بشرع واحد، فمن أين مذاهب أربعة؟
“Ketahuilah, sesungguhnya perbedaan
pandangan antar madzhab dalam agama adalah nikmat yang besar dan keutamaan yang
agung. Di dalamnya terdapat rahasia yang halus, yang diketahui oleh orang-orang
berilmu tapi tidak oleh orang-orang bodoh. Hingga saya mendengar sebagian
mereka, orang-orang bodoh mengatakan: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
datang membawa syariat yang satu, lalu dari mana datangnya madzhab empat?” (Imam Jalâluddîn
al-Suyûtî, Jazîl al-Mawâhib
fî Ihtilâf al-Madzâhib)
Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah
dalam tradisi Islam, dari mulai zaman sahabat Nabi sampai zaman now. Contohnya Sayyidina
Abdullah bin Mas’ud yang berpendapat bahwa seorang musafir lebih utama
melakukan shalat qashar daripada
menyempurnakan shalat. Jika musafir tersebut memilih menyempurnakan shalatnya
ketika berpergian, dia menyelisihi amal yang lebih utama, mukhâlafatul ûlâ. Tapi,
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud menyempurnakan shalatnya (4 rakaat) ketika
berpergian dan menjadi makmum Sayyidina Usman bin Affan. Ketika ditanya orang
kenapa dia meninggalkan pendapatnya, Ibnu Mas’ud menjawab: “al-khilâf syarrun—perselisihan
itu jelek.” Di riwayat lain (Imam Baihaqi), Ibnu Mas’ud menjawab: “innî la-akrahu al-khilâf—sungguh
aku benci berselisih.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhârî,
Beirut: Darul Ma’rifah, tt, juz 2, hlm 564)
Bukan berarti setelah itu Ibnu Mas’ud
mengganti pandangannya, tidak. Dia tetap dengan pendapatnya sendiri, tapi tidak
membuatnya menyalahkan pendapat orang lain yang juga berdasarkan al-Qur’an dan
Hadits. Kata “syarr—jelek”
yang dikatakan Ibnu Mas’ud mengandung makna saling menghargai yang tinggi. Jika
saat itu dia bersikukuh menolak pendapat Sayyidina Utsman dan memisahkan diri,
itu artinya dia menganggap pendapatnya sendiri yang paling benar dan pendapat
Utsman adalah salah. Itulah kejelekan (syarr)
yang ditakutkan olehnya, klaim kebenaran tunggal. Hal ini dilakukan olehnya
karena dia tahu bahwa apa yang dilakukan Sayyidina Utsman berdasarkan dalil dan
argumentasi yang jelas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah
mengeluarkan pandangannya tentang perbedaan pendapat di antara para sahabat.
Dia mengatakan:
ما
سرني لو أن أصحاب محمد لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة
“Tidak menyenangkanku jika para
sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, tidak berbeda pendapat, karena
jika mereka tidak berbeda pendapat tidak akan ada rukhsah (kemudahan bagi
kita).” (Imam
Jalâluddîn al-Suyûtî, Nawâhid
al-Abkâr wa Syawârid al-Afkâr: Hâsyiyyah al-Suyûthî ‘alâ Tafsîr al-Baidlâwî,
Mekkah: Jami’ah Ummul Qura, 2005, juz 2, 572)
Perbedaan pendapat adalah rahmat. Salah satu
nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Karena itu, kita harus siap dengan
berbagai perbedaan pendapat para ulama dalam hukum fiqih. Jangankan lintas
madzhab, yang se-madzhab saja kaya akan perbedaan pendapat. Kita harus
benar-benar tahu dan siap akan hal itu. Jangan terburu-buru memvonis bid’ah,
kafir dan musyrik.
Berbeda pendapat itu boleh, ada etika dan
aturan mainnya. Yang tidak boleh itu menyalahkan pendapat lainnya dengan
memberi label bid’ah, kafir dan musyrik. Imam Qatadah mengatakan:
من
لم يعرف الإختلاف لم يشمّ أنفه الفقه
“Orang yang tidak mengetahui perbedaan
pendapat (ulama), maka hidungnya tidak bisa mencium (baunya) fiqih.” (Imam Ibrâhîm bin
Mûsâ al-Syâthibî, al-Muwâfaqât,
Kairo: Dar Ibnu ‘Affan, 1997, juz 5, hlm 122)
Lagipula Allah Swt., berfirman (Q.S.
al-Maidah: 48):
وَلَوْ
شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
“Jika Allah menghendaki, kalian
dijadikan-Nya satu umat (saja), tapi Allah hendak menguji kalian atas karunia
yang telah diberikan-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat
kebaikan.”
Jadi, mari berlomba-lomba menebarkan manfaat
dengan cara yang santun dan ma’rûf.
Wallahu a’lam.. []
Muhammad Afiq
Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar