Jangan Mubazir, apalagi di Bulan Puasa!
Waktu itu pukul 03.45. Semua orang di
keluargaku mau bangun, tetapi si sulung hanya bangun sebentar untuk minum air
putih dan kemudian kembali tidur. Sedangkan si bungsu meskipun terlihat masih
ngantuk, ia mau makan bersama kedua orang tuanya.
Si bungsu mencoba mencicipi oseng kikil, tapi
tidak menunjukkan seleranya. Katanya, rasanya beda dari biasanya. Ia memilih
makan dengan mie goreng. Aku duduk di sebelah kanannya dan makan mie soto tanpa
nasi. Aku tak meminati oseng kikil itu karena anak-anak bilang rasanya beda.
“Amis gimana to Jo, kikilnya?” tanyaku pada
istriku.
“Bukannya amis Jo, tapi ini rasanya sangit.
Mbakarnya pasti gak bener ini. Aku beli dari Yune kemarin,” istriku
menjelaskan.
“O, gitu. Ya sudah,” kataku.
Meski istriku merasakan dan mengakui rasa
oseng kikil itu tidak wajar, ia tetap makan sahur dengan sayur itu. Ia berpikir
jangan sampai mubazir. Ia makan nasi dengan kikil itu hingga beberapa menit
menjelang imsak.
Istriku benar. Selama oseng kikil itu masih
sehat dan baik kondisinya, ya sebaiknya dimakan. Soal rasanya beda dari
biasanya, ya harus disikapi dengan sabar. Lagian ini menyangkut sikap bagaimana
harus menghargai usaha dan jerih payah kita sendiri. Kikil itu didapat dengan
mengeluarkan uang. Untuk menjadikannya sayur oseng, dibutuhkan tenaga, waktu
dan pikiran yang tak boleh disia-siakan.
***
Itulah ringkasan cerita dari salah satu
kegiatan sahur di keluarga kami lima tahun lalu, atau tepatnya pada tanggal 14
Ramadhan 1435 H/12 Juli 2014. Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan
harian berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami”
(2016).
Apa yang dilakukan istri saya, yakni tetap
mempertahankan sayur oseng kikil dan mau mengonsumsinya patut diapresiasi
mengingat kondisinya yang masih baik atau sehat sehingga layak konsumsi.
Dilihat dari sisi ekonomi, hal itu
menunjukkan usahanya untuk menghindari pemborosan uang dan tenaga yang tidak
perlu. Dilihat dari etika agama, hal itu sesuai dengan apa yang diamanatkan di
dalam Al-Qurán Surat Al-Isra, Ayat 27 sebagai berikut:
إن
المبذرين كانوا إخوان الشياطين
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
pemboros itu adalah suadara setan dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Ayat di atas memang dimaksudkan untuk
mengingatkan orang-orang yang suka menyia-nyiakan atau berbuat sia-sia seperti
pemborosan atau pemhamburan. Hal ini biasa disebut tabdzir, dan pelakunya
disebut mubadzir(in). Oleh Al-Quran perbuatan seperti ini disetarakan dengan
perbuatan setan sebab menimbulkan dampak negatif seperti pemborosan
sumber-sumber dan tiadanya sikap penghargaan atas apa yang diberikan óleh Allah.
Pemborosan bahan-bahan makanan misalnya
seperti pada kasus di atas, bisa berdampak pada percepatan proses menjadi
sampah sekaligus meningkatnya jumlah sampah dalam waktu relatif singkat. Apa
bila hal ini dilakukan di bulan Puasa, maka nilai keburukannya lebih besar.
Padahal menahan diri untuk tidak berbuat buruk di satu sisi di bulan Puasa, dan
upaya memperbanyak perbuatan baik di sisi lain, adalah salah satu esensi ibadah
puasa itu sendiri. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar