Ketika Istri Cuti Bulanan, Suami Gantikan
Urus Sahur Keluarga
Dini hari tadi aku bangun tepat pada pukul
03.00 sesuai dengan pengaturan alarm di ponselku. Hal pertama yang aku lakukan
setelah bangun adalah ke kamar mandi lalu berwudhu. Dari kamar mandi aku menuju
dapur. Aku periksa magic com apakah nasi cukup untuk sahur bertiga, yakni kedua
anakku dan aku sendiri. Akhirnya aku putuskan tidak menanak nasi.
Tepat pukul 03.05 aku mulai menyiapkan lauk
pauk. Aku ambil daging ayam yang sudah dikasih bumbu oleh istriku sebelum ia
tidur kemarin malam. Daging itu disimpannya di kulkas. Aku hitung ada 6 potong.
Lalu aku siapkan kompor dan wajan untuk menggorengnya.
Setelah kira-kira 15 menit, gorengan daging
ayam selesai. Aku tiris dulu minyaknya di atas wajan hingga cukup kering.
Sambil menunggu proses itu aku menyiapkan teh manis sebanyak tiga gelas. Juga
peralatan makan seperti piring, sendok, lepek, centong, dan sebagainya aku
siapakan dengan menatanya di meja makan. Yang belum ada tinggal nasi. Lalu aku
ambil nasi sepiring besar dan penuh.
Sekitar pukul 03.45, semua hidangan untuk
makan sahur sudah tersaji dan tertata rapi di atas meja makan. Ada ayam goreng,
sayur lodeh, gereh, sambal pedas, sambal kecap, sambal bangkok, dan sebagainya.
Lalu aku bangunkan anak-anakku. Mula-mula si sulung dan kemudian si bungsu yang
tidur di kamarku.
Segera setelah itu, si sulung mulai ambil
nasi. Cukup banyak. Kemudian si bungsu. Ia juga ambil cukup banyak hingga
tersisa hanya sedikit. Yang sedikit itu bagianku. Ketika si sulung sudah
menghabiskan nasinya, ia minta agar si bungsu mau memberikan sebagian nasi
padanya. Ia merasa kurang. Si bungsu menolak.
“Gimana, saya buatkan mie goreng?” tanyaku
pada si sulung menawarkan solusi.
“Tidak,” jawabnya. Ia menolak dibuatkan mie
goreng bukan karena belum kenyang, tetapi di piring masih tersedia 2 potong
daging ayam.
Peristiwa “rebutan” nasi ini menjadi catatan
penting di hari pertama santap sahur tanpa istri. Bukan istriku yang salah
tetapi aku yang kurang perhitungan.
Tepat pukul 04.23 seruan imsak dikumadangkan
dari masjid. Tak lama setelah itu kami pun menyudahi makan sahur hari
ini.
***
Itulah ringkasan cerita dari kegiatan sahur
di keluarga kami lima tahun lalu yang kami rekam dalam sebuah buku catatan
harian berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami”, terbit
tahun 2016.
Apa yang saya lakukan selama istri saya cuti
bulanan (haid), yakni memberinya kebebasan untuk tidak bangun di waktu sahur,
dan selanjutnya segala sesuatu terkait dengan kegiatan ini merupakan tanggung
saya sebagai suami, sebenarnya bukan sesuatu tanpa dasar. Menurut fiqih mazhab
Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagaian Malikiyah, pada dasarnya pekerjaan rumah
tangga bukan merupakan kewajiban istri.
Tugas istri hanyalah sebatas membantu suami
sesuai porsi yang diberikan atau disepakti. Dalam praktiknya seringkali istri
menjadi ujung tombak dan seolah-olah hukumnya wajib dalam menyelesaikan seluruh
pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, mencuci dan sebagainya.
Tetapi menurut para fuqaha, hal tersebut
tidak menjadi persoalan dan bahkan baik sepanjang ia ridha melakukannya jika
itu sudah menjadi kebiasaan di masyarakat. Hal ini sebagaimana penjelasan dalam
kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, (Kuwait: Thibaah Dzatis Salasil, 1990) Cetakan
ke-2, Juz 19, hal. 44 sebagai berikut:
فذهب
الجمهور (الشافعية والحنابلة وبعض المالكية) الى أن خدمة الزوج لاتجب عليها لكن
الأولى لها فعل ما جارت العاجة به
Artinya, “ Jumhur ulama (Syafiiyyah,
Hanabilah dan sebagian Malikiyah) berpendapat bahwa tidak wajib bagi istri
melayani suamianya (dalam urusan pekerjaan rumah tangga). Tetapi lebih baik
jika melakukan seperti apa yang berlaku (membantu).”
Oleh karena “kewajiban” istri hanyalah
sebatas membantu, maka porsi pekerjaan rumah tangga yang sebaiknya ia lakukan
adalah sebesar porsi yang diberikan atau disepakati bersama, apakah sebagian
besar, sebagian kecil, atau bahkan seluruhnya.
Dalam konteks keluarga saya, khususnya
terkait kegiatan sahur keluarga, yang kami sepakati adalah istri bebas untuk
bangun atau tidak di waktu sahur ketika ia sedang cuti bulanan.
Hari itu di hari ke-18 Ramadhan 1435 H istri
saya memilih tidak bangun dan saya mempersilakannya. Saya berpikir jika shalat
dan puasa saja yang merupakan kewajiban dari Allah harus ia tinggalkan, maka
apa salahnya saya memberinya kebebasan di waktu sahur selama ia cuti bulanan?
Biarlah ia istirahat. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar