Megengan atau Tradisi
Penyambutan Ramadhan dalam Islam
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, sebelum masuk bulan
Ramadhan masyarakat biasa mengadakan upacara kirim arwah dengan bacaan tahlil
dan Surat Yasin? Orang Aceh menyebutnya meugang. Sementara orang Jawa
menyebutnya megeng. Upacara ini diadakan dalam rangka menyambut kedatangan
bulan Ramadhan. Bagaimana Islam memandang tradisi ini? Mohon penjelasannya.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Sofyan – Jakarta
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah
SWT. Tradisi meugangan atau megengan berkembang juga di masyarakat Melayu selain
di Aceh dan di Jawa. Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, mereka biasanya
berkumpul bersama keluarga, makan bersama, dan membaca zikir dan tahlil untuk
arwah keluarga mereka yang telah wafat.
Selain itu, masyarakat juga melakukan ziarah
kubur dan menggelar sedekah massal di masjid atau mushalla. Ada juga masyarakat
yang melakukan kunjungan silaturahmi. Semuanya ini dilakukan dalam rangka
menyambut gembira bulan suci Ramadhan.
Bagaimana Islam memandang hal seperti ini?
Riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i mengabarkan
kepada kita bahwa Rasulullah SAW juga mengekspresikan kegembiraannya kepada
para sahabat perihal kedatangan bulan suci Ramadhan sebagaimana dikutip berikut
ini:
وَقَدْ
كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ
رَمَضَانَ كَمَا أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَلَفْظُهُ لَهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ بِقَوْلِ قَدْ جَاءَكُمْ
شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ
أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ
الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا
فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ
Artinya, “Rasulullah SAW memberikan kabar
gembira kepada para sahabat atas kedatangan bulan Ramadhan sebagaimana riwayat
Imam Ahmad dan An-Nasai dari Abu Hurairah RA. Ia menceritakan bahwa Rasulullah
memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadhan dengan sabdanya, ‘Bulan
Ramadhan telah mendatangi kalian, sebuah bulan penuh berkah di mana kalian
diwajibkan berpuasa di dalamnya, sebuah bulan di mana pintu langit dibuka,
pintu neraka Jahim ditutup, setan-setan diikat, dan sebuah bulan di mana di
dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja
yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak,’”
(Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil
Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI,
halaman 222).
Bagi sebagian ulama, hadits ini menjadi dasar
hukum bagi masyarakat yang mengekspresikan kegembiraan perihal kedatangan bulan
suci Ramadhan. Hadits ini membuktikan bahwa satu sama lain boleh bergembira
atas kedatangan bulan Ramadhan dan mereka dapat memberikan kabar gembira kepada
yang lain.
قال
بعض العلماء هذا الحديث أصل في تهنئة الناس بعضهم بعضا بشهر رمضان
Artinya, “Sebagian ulama berpendapat bahwa
hadits ini menjadi dasar atas praktik penyambutan yang dilakukan seseorang
terhadap orang lain atas kedatangan bulan Ramadhan,” (Lihat Az-Zarqani, Syarah
Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul
Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman 223).
Adapun Al-Qamuli mengatakan bahwa ulama
berbeda pendapat perihal hukum ucapan selamat atas hari Id, pergantian tahun,
dan pergantian bulan yang diamalkan masyarakat. Tetapi yang jelas sejauh
tradisi itu hanya berisi ucapan selamat datang atas bulan yang mulia tidak
termasuk kategori sunnah atau bid’ah.
قال
قمولي في الجواهر لم أر لأحد من أصحابنا كلاما في التهنئة بالعيد والأعوام والأشهر
كما يفعله الناس لكن نقله الحافظ المنذري عن الحافظ أبي الحسن المقدسي أن الناس لم
يزالوا مختلفين فيه والذي أراه أنه مباح لا سنة ولا بدعة انتهى
Artinya, “Al-Qamuli dalam Kitab Al-Jawahir
mengatakan, ‘Saya tidak melihat pendapat para ulama kita perihal tahniah
atau penyambutan gembira atas Hari Id, pergantian tahun, atau bulan sebagaimana
dilakukan oleh banyak orang. Tetapi Al-Hafiz Al-Mundziri mengutipnya dari
Al-Hafiz Abul Hasan Al-Maqdisi, ‘Orang-orang selalu berbeda pendapat perihal
ini. Sedangkan pendapatku adalah bahwa hal itu mubah, bukan sunnah, bukan
bid’ah.’ Selesai,’” (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil
Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996
M/1417 H], juz XI, halaman 223).
Sementara pada hemat kami, praktik meugengan
atau megengan di Aceh, Jawa, Melayu, dan pelbagai belahan Nusantara lainnya
memuat hal-hal yang baik, yaitu zikir, tahlil, silaturahmi, makan bersama
keluarga, ziarah kubur, dan sedekah yang semuanya secara umum memang dianjurkan
kapan saja oleh agama Islam.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar