Korona
dan Politik
Oleh:
Azyumardi Azra
Korona
dan politik atau politik korona? Awalnya tidak terlalu ada korelasi positif
antara wabah korona dan politik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
global.
Bermula
di Wuhan, China, pada akhir Desember 2019, dengan cepat virus korona baru yang
menyebabkan penyakit Covid-19 itu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pandemi
itu segera jadi isu politik dan juga agama. Tuduh-menuduh antarnegara pun
muncul.
Walhasil,
virus korona selain merupakan masalah kesehatan juga menjadi isu politik
global. China menuduh delegasi militer Amerika Serikat yang berkunjung ke Wuhan
sekitar Agustus 2019 sebagai sumber asal Covid-19. Sebaliknya, Presiden AS
Donald Trump menyebut virus korona baru sebagai ”Chinese virus” yang membuat Pemerintah China
meradang.
Ketegangan
politik juga terjadi antara Korea Selatan dan Jepang sejak awal Maret ketika
Covid-19 menyerbu kedua negara itu. Korsel menuduh Jepang tidak serius melawan
penyakit tersebut. Sementara itu, 1,45 juta warga Korsel mengajukan petisi
menuntut mundur Presiden Moon Jae-in.
Bagaimana
di Indonesia? Covid-19 relatif tak menimbulkan kegaduhan politik. Hanya saja,
ada suara mempertanyakan pemerintah yang pernah terlihat over-confident sehingga
”terlambat” sekitar dua bulan menyiapkan negara dan warga negara menghadapi
penyebaran wabah korona.
Tiadanya
kegaduhan politik secara signifikan boleh jadi ”menguntungkan”. Dengan politik
tetap adem, warga bisa terhindar dari kepanikan menghadapi wabah korona,
kemerosotan nilai tukar rupiah, dan dampak ekonomi lebih luas.
Hampir
tiada oposisi dari luar pemerintahan ketika dalam politik koronanya, Presiden
Jokowi tidak memberlakukan karantina total (lockdown)
di Jakarta atau di Jawa, apalagi Indonesia. Presiden Jokowi bersikukuh dengan
pembatasan sosial yang lalu disesuaikan jadi pembatasan fisik.
Jangankan
lockdown. Dengan
pembatasan sosial dan fisik saja, sekitar 40 juta warga miskin, penganggur,
tenaga kerja informal, dan buruh tani hidupnya kian sulit.
Presiden
Jokowi dalam rapat terbatas dengan gubernur di seluruh Indonesia (23/3/2020)
menyatakan, pemerintah mengalokasikan Rp 4,5 triliun untuk penerima kartu
sembako selama enam bulan ke depan. Pemerintah juga mengalokasikan Rp 10
triliun untuk pekerja harian yang terkena pemutusan hubungan kerja dan
pengusaha mikro yang kehilangan omzet.
Apakah
insentif itu memadai sebagai social
safety net untuk lapisan terbawah penduduk Indonesia? Tampaknya
tidak. Mereka juga perlu dibantu organisasi dan kelompok filantropi. Untuk
memelihara kohesi sosial, jaring pengaman sosial perlu menjangkau semua secara
berkelanjutan. Jika tidak, social
unrest bisa meledak.
Dengan
semua langkahnya, pantas tak ada kritik keras kepada Presiden Jokowi tentang
kinerjanya menangani penyebaran wabah korona. Partai politik, elite politik,
dan masyarakat sipil hampir tak ada yang bersuara keras.
Jajak
pendapat Kompas
(23/3) menemukan 84,2 responden yakin pemerintah mampu mengatasi wabah korona.
Optimisme itu agak berlebihan karena kinerja pemerintah masih keteteran di sana
sini. Di kalangan pejabat pemerintah masih ada perbedaan pendapat soal
bagaimana menghadapi virus korona.
Dalam
penerapan politik pembatasan sosial dan fisik, malah ada pejabat atau mantan
petinggi yang tak mencegah kerumunan orang. Sebaliknya, menganjurkan warga
menjalankan aktivitas keagamaan-sosial dengan kerumunan warga berdasarkan
alasan Tuhan pasti melindungi orang beriman.
Langkah
koordinatif solutif komprehensif tetap diperlukan untuk mengatasi masih adanya
simpang siur antara kepemimpinan pusat dan daerah. Selain itu, juga perlu
koordinasi pemerintah dengan organisasi massa, perguruan tinggi, masyarakat
sipil, dan lembaga filantropi. Langkah ini diperlukan karena penyebaran virus
korona baru yang kian masif sulit diatasi hanya oleh pemerintah. Survei Kompas (23/3)
menyimpulkan, kekuatan solidaritas publik tidak boleh disepelekan dalam melawan
pandemi Covid-19.
Beberapa
ormas dan lembaga masyarakat sipil dan filantropi memiliki banyak fasilitas dan
leverage,
seperti rumah sakit, perguruan tinggi, dan jaringan kewargaan yang bisa
dikerahkan melawan wabah korona. Mereka ini juga bisa dimanfaatkan untuk
sosialisasi pentingnya pembatasan sosial dan fisik dengan menghindari kerumunan
sosial-keagamaan.
Tugas ini
sangat berat karena ada kecenderungan banyak warga cuek bebek. Banyak di antara
mereka tetap saja mudik atau bermacet ria menuju tempat wisata semacam Puncak.
Pemerintah
perlu lebih tegas, misalnya menutup fasilitas yang dapat memunculkan kumpulan
orang banyak. Juga perlu membubarkan kerumunan atau menjatuhkan denda berat
dan/atau sanksi pidana lain. Perlu langkah drastis sebelum keadaan akibat wabah
korona telanjur kian memburuk dan tidak terkendali. Tidak ada pilihan lain. []
KOMPAS,
26 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar