Jumat, 03 April 2020

Azyumardi: Korona dan Politik


Korona dan Politik
Oleh: Azyumardi Azra

Korona dan politik atau politik korona? Awalnya tidak terlalu ada korelasi positif antara wabah korona dan politik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Bermula di Wuhan, China, pada akhir Desember 2019, dengan cepat virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19 itu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pandemi itu segera jadi isu politik dan juga agama. Tuduh-menuduh antarnegara pun muncul.

Walhasil, virus korona selain merupakan masalah kesehatan juga menjadi isu politik global. China menuduh delegasi militer Amerika Serikat yang berkunjung ke Wuhan sekitar Agustus 2019 sebagai sumber asal Covid-19. Sebaliknya, Presiden AS Donald Trump menyebut virus korona baru sebagai ”Chinese virus” yang membuat Pemerintah China meradang.

Ketegangan politik juga terjadi antara Korea Selatan dan Jepang sejak awal Maret ketika Covid-19 menyerbu kedua negara itu. Korsel menuduh Jepang tidak serius melawan penyakit tersebut. Sementara itu, 1,45 juta warga Korsel mengajukan petisi menuntut mundur Presiden Moon Jae-in.

Bagaimana di Indonesia? Covid-19 relatif tak menimbulkan kegaduhan politik. Hanya saja, ada suara mempertanyakan pemerintah yang pernah terlihat over-confident sehingga ”terlambat” sekitar dua bulan menyiapkan negara dan warga negara menghadapi penyebaran wabah korona.

Tiadanya kegaduhan politik secara signifikan boleh jadi ”menguntungkan”. Dengan politik tetap adem, warga bisa terhindar dari kepanikan menghadapi wabah korona, kemerosotan nilai tukar rupiah, dan dampak ekonomi lebih luas.

Hampir tiada oposisi dari luar pemerintahan ketika dalam politik koronanya, Presiden Jokowi tidak memberlakukan karantina total (lockdown) di Jakarta atau di Jawa, apalagi Indonesia. Presiden Jokowi bersikukuh dengan pembatasan sosial yang lalu disesuaikan jadi pembatasan fisik.

Jangankan lockdown. Dengan pembatasan sosial dan fisik saja, sekitar 40 juta warga miskin, penganggur, tenaga kerja informal, dan buruh tani hidupnya kian sulit.

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas dengan gubernur di seluruh Indonesia (23/3/2020) menyatakan, pemerintah mengalokasikan Rp 4,5 triliun untuk penerima kartu sembako selama enam bulan ke depan. Pemerintah juga mengalokasikan Rp 10 triliun untuk pekerja harian yang terkena pemutusan hubungan kerja dan pengusaha mikro yang kehilangan omzet.

Apakah insentif itu memadai sebagai social safety net untuk lapisan terbawah penduduk Indonesia? Tampaknya tidak. Mereka juga perlu dibantu organisasi dan kelompok filantropi. Untuk memelihara kohesi sosial, jaring pengaman sosial perlu menjangkau semua secara berkelanjutan. Jika tidak, social unrest bisa meledak.

Dengan semua langkahnya, pantas tak ada kritik keras kepada Presiden Jokowi tentang kinerjanya menangani penyebaran wabah korona. Partai politik, elite politik, dan masyarakat sipil hampir tak ada yang bersuara keras.

Jajak pendapat Kompas (23/3) menemukan 84,2 responden yakin pemerintah mampu mengatasi wabah korona. Optimisme itu agak berlebihan karena kinerja pemerintah masih keteteran di sana sini. Di kalangan pejabat pemerintah masih ada perbedaan pendapat soal bagaimana menghadapi virus korona.

Dalam penerapan politik pembatasan sosial dan fisik, malah ada pejabat atau mantan petinggi yang tak mencegah kerumunan orang. Sebaliknya, menganjurkan warga menjalankan aktivitas keagamaan-sosial dengan kerumunan warga berdasarkan alasan Tuhan pasti melindungi orang beriman.

Langkah koordinatif solutif komprehensif tetap diperlukan untuk mengatasi masih adanya simpang siur antara kepemimpinan pusat dan daerah. Selain itu, juga perlu koordinasi pemerintah dengan organisasi massa, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan lembaga filantropi. Langkah ini diperlukan karena penyebaran virus korona baru yang kian masif sulit diatasi hanya oleh pemerintah. Survei Kompas (23/3) menyimpulkan, kekuatan solidaritas publik tidak boleh disepelekan dalam melawan pandemi Covid-19.

Beberapa ormas dan lembaga masyarakat sipil dan filantropi memiliki banyak fasilitas dan leverage, seperti rumah sakit, perguruan tinggi, dan jaringan kewargaan yang bisa dikerahkan melawan wabah korona. Mereka ini juga bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi pentingnya pembatasan sosial dan fisik dengan menghindari kerumunan sosial-keagamaan.

Tugas ini sangat berat karena ada kecenderungan banyak warga cuek bebek. Banyak di antara mereka tetap saja mudik atau bermacet ria menuju tempat wisata semacam Puncak.

Pemerintah perlu lebih tegas, misalnya menutup fasilitas yang dapat memunculkan kumpulan orang banyak. Juga perlu membubarkan kerumunan atau menjatuhkan denda berat dan/atau sanksi pidana lain. Perlu langkah drastis sebelum keadaan akibat wabah korona telanjur kian memburuk dan tidak terkendali. Tidak ada pilihan lain. []

KOMPAS, 26 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar