Jumat, 03 April 2020

(Ngaji of the Day) Khatib Tak Penuhi Syarat atau Rukun Khutbah, Wajibkah Shalat Jumat Diulang?


Khatib Tak Penuhi Syarat atau Rukun Khutbah, Wajibkah Shalat Jumat Diulang?

Dalam pelaksanaan shalat Jumat ada sejumlah hal yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah khutbah. Khutbah merupakan satu prosesi yang harus dilalui demi keabsahan shalat Jumat. Dalam hadits riwayat Jabir bin Samurah radliyallahu ‘anhu disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا، وَكَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا

Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan dua khutbah, kemudian beliau duduk di antara keduanya, dan kembali beliau khutbah sambil berdiri,” (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, ulama sepakat bahwa khutbah Jumat adalah salah satu syarat sah shalat Jumat. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadlal Al-Hadlrami berkata:

الشرط الخامس خطبتان قبل الصلاة

Artinya, “Syarat kelima (shalat Jumat) adalah dua khutbah sebelum shalat. (Lihat: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal Al-Hadlrami, Muqaddimah Al-Hadlramiyyah Hamisy Busyral Karim, juz 2, hal 4-6).

Khutbah Jumat sendiri mempunyai beberapa syarat dan rukun. Rukunnya ada lima, yaitu (1) memuji kepada Allah, (2) bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, (3) berwasiat tentang ketakwaan (tiga rukun pertama ini wajib dibaca pada dua khutbah); (4) membaca ayat suci Al-Quran pada salah satu khutbah; dan (5) mendoakan orang-orang Mukmin pada khutbah kedua.

وفروضها خمسة حمد الله تعالى والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والوصية بالتقوى وتجب هذه الثلاثة في الخطبتين الرابع قرأة أية مفهمة في إحداهما الخامس الدعاء للمؤمنين والمؤمنات في الثانية

Artinya, “Rukun khutbah Jumat ada lima, yaitu memuji kepada Allah, membaca shalawat kepada Rasulullah, berwasiat tentang ketakwaan, (ketiga fardlu ini wajib ada pada dua khutbah), rukun keempat membaca ayat yang dapat dipahami pada salah satu khutbah, rukun kelima mendoakan kaum Mukminin dan Mukminat pada khutbah kedua.” (Lihat: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadlal Al-Hadlrami, Muqaddimah Al-Hadlramiyyah, juz 2, hal. 6 -7).

Kemudian, syarat sah khutbah adalah berdiri bagi yang mampu; rukun khutbah dibaca dengan bahasa Arab; dilakukan pada waktu zhuhur; memisah dua khutbah dengan duduk; memperdengarkan khutbah kepada jamaah yang dianggap sah jumatannya; di antara dua khutbah dengan shalat Jumat berkesinambungan, artinya tidak boleh dipisah oleh pemisah yang lama; kemudian suci dari hadats; suci dari najis dan menutup aurat. (Lihat: Muqaddimah Al-Hadlramiyyah Hamisy Busyral Karim, juz 2, hal 7-8).

Hendaknya khatib mampu menunaikan rukun dan syarat khutbah dengan baik dan benar. Namun karena satu dan lain hal, masih ditemukan beberapa khatib yang kurang memperhatikan syarat atau rukun khutbah ini. Bahkan, tak jarang ada salah satu syarat atau rukunnya yang tertinggal, baik disadari maupun tidak. Ini seringkali menjadi perdebatan di masyarakat.

Padahal, syarat dan rukun merupakan dua hal yang wajib ada demi keabsahan ibadah yang bersangkutan. Adapun perbedaan di antara keduanya terletak pada waktu dan tempat. Syarat berada di luar ibadah, sedangkan rukun berada dalamnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Syaikh Khatib al-Syarbini:

والركن كالشرط في أنه لا بد منه، ويفارقه بأن الشرط هو الذي يتقدم على الصلاة، ويجب استمراره فيها كالطهر والستر. والركن ما تشتمل عليه الصلاة كالركوع والسجود

Artinya, “Rukun seperti syarat dalam hal keduanya wajib ditunaikan (untuk keabsahan ibadah). Perbedaan antara syarat dan rukun, bila syarat adalah perkara yang mendahuli shalat dan keberadaannya wajib berlangsung hingga masuk ke dalamnya, seperti bersuci dan menutup aurat, sedangkan rukun ialah perkara yang dimuat oleh shalat, seperti ruku’ dan sujud.” (Lihat: Syaikh Khatib al-Syarbini, al-Iqna’ Hamisy Tuhfah al-Habib, juz.2, hal. 89).

Oleh sebab itu, khatib yang tidak melaksanakan salah satu syarat atau rukun khutbah, seperti ia berhadats di tengah khutbah, lupa atau tertinggal membaca salah satu rukun khutbah, maka khutbahnya tidak sah dan wajib diulangi.

Demikian pula shalat Jumat yang terlanjur dilaksanakan, juga wajib diulangi, baik bagi khatib sendiri maupun jamaah. Alasannya, karena shalat Jumat tidak didahului oleh khutbah yang sah. Dikecualikan, jika yang ditinggalkan adalah perkara samar, seperti hadats. Jika setelah Jumatan, imam baru menyadari atau diketahui berhadats, sementara makmum tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengulangi shalat Jumat bagi makmum. Adapun imam tetap berkewajiban mengulangi shalatnya. Hal ini bisa dirujuk pada tulisan sebelumnya, “Usai Shalat Jumat Imam Ketahuan Berhadats, Jumatan Wajib diulang?”

Begtitu pula syarat atau rukun yang termasuk perkara lahir dan dapat diketahui para makmum, seperti bagian luar pakaian imam/khatib terkena najis, rukun-rukun khutbah tertinggal (yang notabene bisa terdengar makmum), maka para jamaah diwajibkan mengulangi Jumatan. Hukum ini dijatuhkan karena para makmum dinilai teledor dan tidak teliti atas kesalahan imam yang bersifat lahir. Ditegaskan oleh Syaikh Khatib al-Syarbini:

(ولو بان) للمأموم (إمامه) على خلاف ما ظنه كأن علمه بعد فراغ القدوة (امرأة) أو خنثى أو مجنونا (أو كافرا معلنا) بكفره كذمي (قيل أو مخفيا) كفره كزنديق (وجبت الإعادة) لأن على الأنوثة والكافر المعلن وما ذكر معهما أمارة ظاهرة، إذ تمتاز المرأة بالصوت والهيئة وغيرهما. ومثلها الخنثى لأن أمره منتشر، وكذا المجنون: ويعرف معلن الكفر بالغيار وغيره، فالمقتدي بهم مقصر بترك البحث عنهم

Artinya, “Bila imam nyata-nyata menyelesihi dugaan makmum, seperti seorang perempuan, orang yang tidak jelas kelaminnya, tunagrahita, atau nonmuslim yang menampakan diri seperti dzimmi, bahkan menurut sebagian pendapat, nonmuslim yang menyamarkan kekufurannya seperti Zindiq termasuk ke dalamnya, maka wajib bagi makmum mengulang shalat. Sebab sifat perempuan, kafir yang nyata dan yang disebutkan beserta keduanya terdapat pertanda yang jelas di dalamnya. Perempuan bisa dibedakan dari suaranya, perilaku dan lainnya. Demikian pula orang yang tidak jelas kelaminnya karena ciri-ciri tentang dirinya telah menyebar. Begitu pula orang tunagrahita. Dan orang yang menampakan kekufuran bisa diketahui dengan pakaian dan lainnya. Sehingga makmum yang bermakmum kepada imam jenis demikian, dianggap teledor tidak teliti terhadap perihal imamnya.”

(لا) إن بان إمامه (جنبا) أو محدثا كما فهم بالأولى. وذكره في المحرر (وذا نجاسة خفية) في ثوبه أو بدنه فلا تجب إعادة المؤتم به لانتفاء التقصير اللهم إلا أن يكون ذلك في الجمعة ففيه تفصيل يأتي في موضعه، بخلاف الظاهرة فتجب فيها الإعادة لتقصير المقتدي في هذه الحالة

Artinya, “Tidak wajib mengulang shalat bagi makmum bila imamnya nyata-nyata junub atau berhadats seperti yang dipahami dengan pemahaman yang lebih utama, hal itu disebutkan Imam al-Rafi’i dalam kitab al-Muharrar, atau nyata-nyata imamnya memiliki najis yang samar di pakaian atau badannya, maka tidak wajib mengulangi shalat bagi makmum yang mengikutinya sebab ketiadaan keteledoran. Kecuali dalam bab Jumat, maka terdapat perincian di tempat pembahasannya. Berbeda dengan najis yang tampak, maka wajib mengulang shalat, karena makmum teledor dalam kondisi tersebut.” (Lihat: Syaikh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz.1, hal.484).

Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:

فهذه الأركان الثلاثة أركان لكلا الخطبتين، لا يصح كل منهما إلا بها.

Artinya, “Tiga rukun ini rukun bagi dua khutbah yang masing-masing khutbah tidak sah tanpa ketiganya.” (Lihat: Syaikh Mustafa Dib al-Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji, juz.1, hal. 206).

Selanjutnya, Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi menegaskan:

ولو أحدث في الأثناء وجب الإستئناف

Artinya, “Andai seorang khatib berhadats di tengah-tengah khutbah, maka wajib mengulanginya. (Lihat: Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, al-Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, hal. 162).

Walhasil, kesalahan khatib seperti meninggalkan syarat/rukun khutbah berakibat pada ketidakabsahan khutbah dan Jumatan bagi dirinya, sehingga ia wajib mengulangi ibadah Jumatnya. Adapun bagi jamaah, wajib mengulangi Jumat/khutbah untuk kesalahan-kesalahan khatib yang tergolong perkara lahir seperti rukun khutbah yang bisa didengar, najis di bagian luar pakaian dan lain-lain. Adapun kesalahan yang tergolong samar, seperti hadats, maka tidak wajib mengulangi Jumatan/khutbah bagi mereka.

Mengingat begitu pentingnya khutbah bagi keabsahan Jumat, maka sangat perlu bagi para khatib memperhatikan syarat dan rukunnya. Demikian pula para pengurus atau takmir masjid. Mereka hendaknya memilih para khatib yang benar-benar kompeten agar ibadah Jumat yang ditunaikan sesuai dengan ketentuan syariat. Demikian semoga bermanfaat. []

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar