Menampar Wajah AS di Timur-Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi
Pengujung tahun 2019 menjadi mimpi buruk bagi Amerika Serikat di
Timur-Tengah. Negara yang selama ini disebut-sebut sebagai adidaya (superpower)
itu harus menanggung malu, karena Kedutaan Besar AS di Baghdad digeruduk oleh
para demonstran menyusul serangan mematikan tentara AS terhadap milisi
Hizbullah di Irak. Ditengarai ada 25 warga Irak yang tewas dalam serangan
tersebut.
Kedubes AS yang selama ini menjadi simbol kedigdayaan AS di luar negeri berhasil diterobos oleh para pendemo. Padahal selama ini Kedubes AS dikenal sebagai tempat yang sangat sulit ditembus karena dijaga superketat oleh aparat keamanan, baik dari marinir AS maupun tentara Irak. Namun, kemarahan milisi Hizbullah tak dapat dibendung, sehingga Kedubes AS berhasil diobrak-abrik.
Peristiwa tersebut mengingatkan saya pada peristiwa tahun 1979, saat revolusi Islam di Iran berhasil menguasai Kedubes AS dan menjatuhkan rezim Shah Pahlevi. Hingga saat ini, AS tidak mempunyai Kedubes di Iran. Gedung bekas Kedubes AS di Tehran diabadikan menjadi simbol revolusi Islam, dan menjadikan AS sebagai simbol kolonialisme dan imperialisme. Dan Iran menjadi satu-satunya negara di kawasan Timur-Tengah yang tidak bisa diintervensi oleh AS. Warga Iran menyadari betul bahwa AS merupakan aktor utama kehancuran negara-negara Timur-Tengah.
Langkah AS membombardir milisi Hizbullah Irak merupakan tindakan
yang membuka seluruh misteri dan akar persoalan politik di Irak. Artinya, AS
menjadi batu sandungan yang serius bagi kedaulatan Irak. Sejak jatuhnya Saddam
Husein melalui sebuah invasi yang tidak bermoral dan tidak manusiawi itu, AS
ingin terus mengendalikan Irak. Namun upaya AS selalu mengalami kegagalan.
AS membangun kantor Kedubes terbesar di dunia di Baghdad. AS ingin menegaskan bahwa mereka ingin menguasai Irak yang dikenal mempunyai minyak berlimpah. Berdalih perang melawan terorisme, AS ingin menancapkan kekuasaannya di Irak. Namun, sedari awal langkah AS tersebut sudah bermasalah. Karena menginvasi Irak dengan menggunakan kekuatan militer menyebabkan lumpuhnya tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang menyebabkan ISIS berhasil menguasai beberapa provinsi.
Pada 2013 lalu, Abu Bakar al-Baghdadi berhasil mendirikan Negara Islam Irak (Islamic State of Iraq), yang kemudian diperluas menjadi Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syiria). Tatanan politik, sosial, dan ekonomi lumpuh total, dan Irak berada dalam kegelapan menyusul berdirinya "negara" dalam negara.
Tumbangnya ISIS menjadi harapan baru bagi Irak untuk bangkit dari keterpurukan. Irak berhasil menggelar pemilu yang demokratis pada 2018 lalu, dan membentuk pemerintahan baru. Irak berusaha bangkit dari upaya-upaya eksternal yang selama ini senantiasa mengintervensi urusan dalam negeri mereka.
Namun semua itu tidak mudah membalikkan kedua belah tangan. Perubahan lanskap politik yang selama ini dikuasai orang-orang lama, dan minimnya kapasitas dalam melakukan reformasi di berbagai bidang, menyebabkan lahirnya turbulensi politik dalam beberapa minggu terakhir. Aksi demonstrasi tanpa komando tersebar di berbagai daerah.
Di tengah-tengah aksi demonstrasi itu, tiba-tiba muncul gerakan anti-Iran yang ditandai dengan demonstrasi bernuansa kekerasan di kantor Konsulat Jenderal Iran di Karbala dan Najaf. Ada semacam pembentukan dan penggiringan opini, seolah-olah keterpurukan Irak disebabkan intervensi Iran. Secara lebih khusus, para demonstran ingin memojokkan faksi Syiah Irak yang saat ini mempunyai kursi terbesar di parlemen Irak.
Skenario tersebut gagal total, karena Ali Sistani sebagai pemimpin tertinggi Syiah di Irak justru mendorong agar tuntutan para demonstran didengar dan diambil-langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk melakukan reformasi politik, khususnya dalam hal mengentaskan pengangguran, memberantas korupsi, dan memperbaiki pelayanan publik. Ada masalah serius dalam pengelolaan pemerintahan yang meniscayakan adanya perubahan secara serius. Bahkan, Ali Sistani mendorong agar dilakukan pemilu untuk menampung aspirasi warga yang mulai tidak percaya terhadap pemerintah.
Namun di tengah komplikasi politik yang tidak mudah itu, AS tiba-tiba menyerang milisi Irak yang sekali lagi diopinikan mempunyai kedekatan dengan Iran. Serangan tersebut menyebabkan tewasnya korban yang lumayan besar. AS ingin membangun opini betapa dalamnya pengaruhnya Iran di Irak.
AS mengira langkahnya akan didukung oleh warga Irak. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, warga Irak meluapkan kemarahan yang luar biasa terhadap AS. Langkah AS membombardir warga Irak sama sekali sudah menyentuh garis merah, karena bertindak terlalu jauh. Apapun yang dilakukan oleh AS jauh lebih menyakitkan dan menginjak-injak harkat dan martabat warga Irak.
Atas dasar itu, faksi Hizbullah Irak melakukan aksi demonstrasi di Kedubes AS dengan merusak beberapa fasilitas yang mencerminkan simbol AS itu. Tidak terbayangkan, kantor yang selama ini mendapatkan pengamanan superketat justru berhasil diduduki oleh para demonstran, yang memberikan pesan penting bahwa otak dari segala gonjang-ganjing politik di Irak selama ini tidak lain adalah AS.
Tentu saja, AS tidak nyaman dengan pengaruh Iran di Irak. Lebih-lebih Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab tidak ingin melihat Iran memperluas pengaruhnya di kawasan Timur-Tengah, khusus Teluk. Tapi cara-cara brutal yang dilakukan oleh AS telah membuka tabir gelap yang selama ini terjadi bahwa AS jauh lebih membahayakan bagi Irak karena menghalalkan segala cara, termasuk membunuh warga Irak.
Maka dari itu, langkah AS di Irak tersebut merupakan blunder politik yang bisa berakibat pada tersingkapnya misteri yang selama ini hanya menjadi perbincangan di warung-warung kopi di seantero Irak. Ada AS yang tidak rela Irak menjadi negara yang berdaulat. Mereka menggunakan segala cara untuk memperluas pengaruhnya di Timur-Tengah, khususnya di Irak.
Walhasil, aksi demonstrasi yang berhasil menguasai Kedubes AS di
Baghdad merupakan sebuah "kemenangan" bagi Irak. Mereka akhirnya bisa
mempermalukan AS dan membongkar misteri yang selama ini terselubung. Banyak
pihak yang menyalahkan Donald Trump, karena strateginya di Timur-Tengah
terbukti gagal dan justru sebaliknya, menampar wajah AS. []
DETIK, 02 Januari 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran
dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar