Tips Membedakan Agama dan
Budaya dalam Memahami Hadits
Nabi Muhammad ﷺ adalah orang Arab
yang tidak terlepas dari unsur-unsur budaya Arab pada masa beliau hidup. Hal
ini tentu memengaruhi pembacaan kita atas hadits. Dalam kajian ilmu hadits,
tidak semua hadits itu merupakan sunnah. Karena ada sebagian hadits yang
sekadar menjelaskan budaya Arab pada saat itu.
Kiai Ali Mustafa Yaqub memberikan pandangan
bahwa dalam memahami hadits diharuskan bisa memisahkan antara budaya dan sunnah
Rasulullah ﷺ.
Dalam karyanya yang berjudul at-Thuruq as-Shahihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah
disebutkan beberapa kiat untuk membedakan antara agama dan budaya dalam sabda
Rasulullah ﷺ.
(Lihat: Ali Mustafa Yaqub, at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah,
[Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, 2016], h. 103)
Pertama, ajaran agama Islam hanya dilakukan
oleh kaum Muslimin. Hal ini berbeda dengan budaya yang selain kaum Muslimin pun
melakukannya. Sebut saja serban. Serban merupakan budaya Arab. Hal ini bisa
dibuktikan bahwa serban tidak hanya dipakai kaum Muslimin pada saat itu. Bahkan
pesohor kafir Quraisy seperti Abu Jahal pun memakainya.
Kedua, ada beberapa budaya yang hadir sebelum
munculnya Islam. Seperti al-jummah pada rambut kepala yang terus berlanjut
hingga Islam datang. Hal ini tentu berbeda dengan agama yang muncul setelah
Islam datang. Karena syariat atau agama hanya ada setelah datangnya Islam.
Ketiga, ada beberapa budaya yang muncul sebelum
Islam datang. Namun setelah datang Islam, turunlah wahyu dari Allah ﷻ. Maka, walaupun hal tersebut ada sebelum Islam datang, namun
keberadaanya menjadi syariat berdasarkan wahyu yang diturunkan. Sebagaimana
perhitungan bulan Qamariyah dan manasik haji.
Dahulu sebelum Islam datang, keduanya adalah
budaya jahiliyah dan syariat Nabi Ibrahim As. Ketika Islam datang dan
menetapkan hal tersebut, maka hal itu menjadi bagian dari syariat Islam. Kaum
Muslimin yang menggunakan bulan qamariyah tidak lantas mengikuti budaya
jahiliyah, melainkan mengamalkan ajaran syariat Islam.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam Muslim
(w. 256 H) yang membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul:
باب
وُجُوبِ امْتِثَالِ مَا قَالَهُ شَرْعًا دُونَ مَا ذَكَرَهُ صلى الله عليه وسلم
مِنْ مَعَايِشِ الدُّنْيَا عَلَى سَبِيلِ الرَّأْىِ
Artinya, “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi
yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau tentang Kehidupan Dunia Menurut
Pendapatnya. (Lihat: Abû al-Hajjâj Muslim, Saḥiḥ Muslim, [Beirut: Dâr al-Jîl,
t.t], j. 7, h. 95)
Imam al-Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh
Sahih Muslim, sebagaimana dikutip Kiai Ali Mustafa, juga menguatkan bahwa tidak
ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Sehingga hal tersebut bisa
dikategorikan sebagai bagian dari konsensus (ijma’) ulama.
Maka dari itu kita perlu meneliti lebih dalam
ketika membaca sebuah hadits. Karena tidak semua hal yang kita temukan dalam
hadits itu wajib kita ikuti. Kita wajib mengikuti jika hal tersebut merupakan
bagian dari agama. Namun sebaliknya, jika tidak berkaitan dengan agama, maka
kita tidak wajib mengikuti. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar