Hukum Menikahi Anak Tiri
dan Ibu Tiri
Sepasang calon pengantin datang ke Kantor
Urusan Agama (KUA) guna mendaftarkan rencana pernikahan mereka. Hari itu juga
keduanya melakukan proses pemeriksaan data di hadapan petugas. Permasalahan
muncul ketika petugas KUA mendapati nama ibu kandung calon pengantin perempuan
yang tertulis di Akta Lahir sama dengan nama mantan istri calon pengantin
laki-laki yang tertera di Surat Kematian.
Petugas pun menelisik. Didapati satu fakta
bahwa calon pengantin perempuan itu adalah anak tiri dari calon pengantin
laki-laki. Ya, perempuan itu adalah anak dari mantan istri sang calon pengantin
laki-laki yang meninggal beberapa waktu lalu. Sebelumnya almarhumah menikah
dengan laki-laki tersebut dengan berstatus janda dan memiliki seorang gadis
dari pernikahan sebelumnya dengan laki-laki lain. Tak lama setelah menikah
laki-laki tersebut berkehendak untuk menikahi anak perempuan tirinya.
Kasus di atas adalah satu dari sekian banyak
kasus pernikahan yang terjadi di masyarakat. Seseorang berkehendak menikahi
anak tirinya, baik ayah menikahi anak perempuan tiri atau ibu menikahi anak
laki-laki tirinya.
Lalu bagaimana Islam mengatur hal yang
demikian?
Pembahasan pernikahan anak dan orang tua tiri
ini ada dua macam di mana masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Pertama
seorang laki-laki yang menikahi anak perempuan tirinya dan kedua seorang anak
laki-laki yang menikahi ibu tirinya.
Menikahi Anak Tiri
Pada permasalahan pertama, di mana seorang
laki-laki menikahi anak perempuan tirinya, para ulama sepakat ada dua hukum
yang berbeda yang ditentukan oleh alasan dasarnya (illat). Bila
laki-laki yang hendak menikahi anak perempuan tirinya pernah berhubungan badan
dengan ibu dari anak tiri itu maka tidak halal baginya menikahi anak tiri
tersebut. Bahkan ia tidak hanya tidak halal menikahi anak perempuan tiri itu
namun juga haram baginya menikahi anak-anak perempuan dari anak-anaknya sang
istri (cucu perempuan tiri). (Lihat: ‘Alauddin Ali Al-Baghdadi, Tafsîr
Al-Khâzin, [Mesir: Darul Kutub Al-Arabiyah Al-Kubra, tt.], juz I, hal.
363).
Sebaliknya bila ketika menikah dengan ibunya
anak tiri itu ia belum pernah mencampurinya maka halal baginya menikahi anak
tirinya, tentunya dengan catatan ia sudah tidak lagi menjadi suami dari sang
ibu, baik karena cerai ataupun karena mati.
Ketentuan hukum yang seperti ini oleh para
ulama didasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 23:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “(dan diharamkan bagi kalian
menikahi) anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang ada dalam
pemeliharaanmu dari istrimu yang telah kalian campuri. Namun bila kalian belum
mencampuri istri-istri itu maka tak mengapa bagi kalian (menikahi anak-anak
tiri itu).”
Ayat 23 surat An-Nisa di atas dengan sangat
jelas menyebutkan keharaman menikahi anak perempuan tiri yang ibunya telah
dicampuri dan kebolehan menikahinya bila sang ibu belum pernah dicampuri.
Menikahi Ibu Tiri
Permasalahan berikutnya adalah ketika yang
menikah adalah anak laki-laki dengan ibu tirinya. Gambaran ini terjadi manakala
seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan di mana sang laki-laki
adalah seorang duda dan memiliki anak laki-laki dari istri sebelumnya. Ketika
pasangan ini berpisah karena perceraian atau karena matinya si laki-laki,
bolehkah anak laki-laki si duda itu menikahi ibu tirinya yang notabene adalah
mantan istri bapaknya?
Berbeda dengan kasus yang pertama di mana
kebolehan dan larangan menikahi anak perempuan tiri didasarkan pada satu
kondisi sudah atau belumnya sang ibu disetubuhi, maka pada kasus kedua ini
ulama secara tegas menyatakan haramnya seorang anak menikahi setiap perempuan
yang pernah dinikahi oleh ayah kandungnya.
Muhammad Al-Khathib As-Syarbini di dalam
kitab Al-Iqnâ’ menuliskan:
ـ
(و) تحرم (زَوْجَة الْأَب) وَهُوَ من ولدك بِوَاسِطَة أَو غَيرهَا أَبَا أَو جدا
من مَا نكح آباؤكم من النِّسَاء إِلَّا مَا قد سلف
Artinya: “dan haram menikahi istrinya ayah,
(ayah) yaitu orang yang melahirkanmu dengan perantaraan ataupun tanpa
perantaraan baik berupa ayah kandung ataupun kakek, yaitu perempuan-perempuan
yang telah dinikahi ayah-ayahmu, kecuali apa yang telah terjadi di masa lalu.”
(Muhammad Al-Khathin As-Syarbini, Al-Iqnâ’, [Beirut: Darul Fikr, 1995],
hal. 419)
Apa yang disampaikan As-Syarbini di atas
menyatakan keharaman seorang anak laki-laki menikahi mantan istri bapaknya dan
juga mantan istri kakeknya terus ke atas.
Berdasarkan pada firman Allah dalam Surat
An-Nisa ayat 22:
وَلَا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi
perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian kecuali yang
telah berlalu. Sesungguhnya hal itu sangat keji dan dibenci oleh Allah dan
seburuk-buruk jalan.”
Keharaman menikahi mantan istrinya ayah (ibu
tiri) ini bersifat mutlak, baik sang mantan istri sudah pernah disetubuhi oleh
ayahnya atau pun belum pernah disetubuhi. Bahkan dalam ayat tersebut Allah
menyebut pernikahan semacam ini sebagai sesuatu yang sangat keji, dibenci oleh
Allah dan seburuk-buruk perilaku. Ini dikarenakan istri ayah berada pada
kedudukan seorang ibu dan haram hukumnya menikahi seorang ibu. Maka perbuatan
yang demikian akan medatangkan kehinaan dan kemarahan Allah (‘Alauddin Ali
Al-Baghdadi, Tafsîr Al-Khâzin, juz I, hal. 362).
Wallâhu a’lam.
[]
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di Kementerian
Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar