Rabu, 08 Januari 2020

(Ngaji of the Day) Hukum Menikahi Anak Tiri dan Ibu Tiri


Hukum Menikahi Anak Tiri dan Ibu Tiri

Sepasang calon pengantin datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) guna mendaftarkan rencana pernikahan mereka. Hari itu juga keduanya melakukan proses pemeriksaan data di hadapan petugas. Permasalahan muncul ketika petugas KUA mendapati nama ibu kandung calon pengantin perempuan yang tertulis di Akta Lahir sama dengan nama mantan istri calon pengantin laki-laki yang tertera di Surat Kematian.

Petugas pun menelisik. Didapati satu fakta bahwa calon pengantin perempuan itu adalah anak tiri dari calon pengantin laki-laki. Ya, perempuan itu adalah anak dari mantan istri sang calon pengantin laki-laki yang meninggal beberapa waktu lalu. Sebelumnya almarhumah menikah dengan laki-laki tersebut dengan berstatus janda dan memiliki seorang gadis dari pernikahan sebelumnya dengan laki-laki lain. Tak lama setelah menikah laki-laki tersebut berkehendak untuk menikahi anak perempuan tirinya.

Kasus di atas adalah satu dari sekian banyak kasus pernikahan yang terjadi di masyarakat. Seseorang berkehendak menikahi anak tirinya, baik ayah menikahi anak perempuan tiri atau ibu menikahi anak laki-laki tirinya.

Lalu bagaimana Islam mengatur hal yang demikian?

Pembahasan pernikahan anak dan orang tua tiri ini ada dua macam di mana masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Pertama seorang laki-laki yang menikahi anak perempuan tirinya dan kedua seorang anak laki-laki yang menikahi ibu tirinya.

Menikahi Anak Tiri

Pada permasalahan pertama, di mana seorang laki-laki menikahi anak perempuan tirinya, para ulama sepakat ada dua hukum yang berbeda yang ditentukan oleh alasan dasarnya (illat). Bila laki-laki yang hendak menikahi anak perempuan tirinya pernah berhubungan badan dengan ibu dari anak tiri itu maka tidak halal baginya menikahi anak tiri tersebut. Bahkan ia tidak hanya tidak halal menikahi anak perempuan tiri itu namun juga haram baginya menikahi anak-anak perempuan dari anak-anaknya sang istri (cucu perempuan tiri). (Lihat: ‘Alauddin Ali Al-Baghdadi, Tafsîr Al-Khâzin, [Mesir: Darul Kutub Al-Arabiyah Al-Kubra, tt.], juz I, hal. 363).

Sebaliknya bila ketika menikah dengan ibunya anak tiri itu ia belum pernah mencampurinya maka halal baginya menikahi anak tirinya, tentunya dengan catatan ia sudah tidak lagi menjadi suami dari sang ibu, baik karena cerai ataupun karena mati.

Ketentuan hukum yang seperti ini oleh para ulama didasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 23:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

Artinya: “(dan diharamkan bagi kalian menikahi) anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang ada dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang telah kalian campuri. Namun bila kalian belum mencampuri istri-istri itu maka tak mengapa bagi kalian (menikahi anak-anak tiri itu).”

Ayat 23 surat An-Nisa di atas dengan sangat jelas menyebutkan keharaman menikahi anak perempuan tiri yang ibunya telah dicampuri dan kebolehan menikahinya bila sang ibu belum pernah dicampuri.

Menikahi Ibu Tiri

Permasalahan berikutnya adalah ketika yang menikah adalah anak laki-laki dengan ibu tirinya. Gambaran ini terjadi manakala seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan di mana sang laki-laki adalah seorang duda dan memiliki anak laki-laki dari istri sebelumnya. Ketika pasangan ini berpisah karena perceraian atau karena matinya si laki-laki, bolehkah anak laki-laki si duda itu menikahi ibu tirinya yang notabene adalah mantan istri bapaknya?

Berbeda dengan kasus yang pertama di mana kebolehan dan larangan menikahi anak perempuan tiri didasarkan pada satu kondisi sudah atau belumnya sang ibu disetubuhi, maka pada kasus kedua ini ulama secara tegas menyatakan haramnya seorang anak menikahi setiap perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah kandungnya.

Muhammad Al-Khathib As-Syarbini di dalam kitab Al-Iqnâ’ menuliskan:

ـ (و) تحرم (زَوْجَة الْأَب) وَهُوَ من ولدك بِوَاسِطَة أَو غَيرهَا أَبَا أَو جدا من مَا نكح آباؤكم من النِّسَاء إِلَّا مَا قد سلف

Artinya: “dan haram menikahi istrinya ayah, (ayah) yaitu orang yang melahirkanmu dengan perantaraan ataupun tanpa perantaraan baik berupa ayah kandung ataupun kakek, yaitu perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayah-ayahmu, kecuali apa yang telah terjadi di masa lalu.” (Muhammad Al-Khathin As-Syarbini, Al-Iqnâ’, [Beirut: Darul Fikr, 1995], hal. 419)

Apa yang disampaikan As-Syarbini di atas menyatakan keharaman seorang anak laki-laki menikahi mantan istri bapaknya dan juga mantan istri kakeknya terus ke atas. 

Berdasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 22:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian kecuali yang telah berlalu. Sesungguhnya hal itu sangat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan.”

Keharaman menikahi mantan istrinya ayah (ibu tiri) ini bersifat mutlak, baik sang mantan istri sudah pernah disetubuhi oleh ayahnya atau pun belum pernah disetubuhi. Bahkan dalam ayat tersebut Allah menyebut pernikahan semacam ini sebagai sesuatu yang sangat keji, dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk perilaku. Ini dikarenakan istri ayah berada pada kedudukan seorang ibu dan haram hukumnya menikahi seorang ibu. Maka perbuatan yang demikian akan medatangkan kehinaan dan kemarahan Allah (‘Alauddin Ali Al-Baghdadi, Tafsîr Al-Khâzin, juz I, hal. 362). 

Wallâhu a’lam. 

[]

Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di Kementerian Agama Kota Tegal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar