Sejarah Munas Alim
Ulama dari Masa ke Masa
Musyawarah Nasional Alim Ulama atau biasa disingkat Munas Alim Ulama, merupakan forum pertemuan yang diselenggarakan PBNU untuk membahas masalah keagamaan. Pada mulanya, kegiatan tersebut sekurang-kurangnya sekali dalam satu periode kepengurusan.
Namun, menurut
Sekretaris Jenderal PBNU H Helmy Faishal Zaini, sejak Muktamar NU ke-32 di
Makassar pada 2010, diputuskan bahwa Munas yang biasanya diselenggarakan
bersamaan dengan Konferensi Besar NU, harus dilaksanakan sekurang-kurangnya dua
kali dalam satu periode kepengurusan.
Menurut Ensiklopedia
NU, dari sisi peserta, Munas Alim Ulama dapat mengundang tokoh-tokoh alim ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah dari dalam maupun dari luar pengurus NU, terutama tokoh
pengasuh pesantren, dan dapat pula mengundang tenaga ahli yang diperlukan.
Sementara berdasar hasil keputusannya, Munas tidak dapat mengubah AD/ART,
keputusan muktamar, dan tidak mengadakan pemilihan pengurus.
Dalam sejarah NU,
masih menurut Ensiklopedia NU, Munas diadakan pertama kali di Kaliurang tahun
1981. Masalah-masalah yang dibicarakan, selain mengukuhkan KH Ali Maksum
sebagai Rais Am, juga memutuskan persoalan-persoalan yang dijawab peserta
Munas, di antaranya: bayi tabung, cangkok mata, bank mata, cangkok ginjal dan
jantung, dan lain-lain.
Munas berikutnya
diadakan di Situbondo pada 1983. Dalam munas bersejarah ini diputuskan
Deklarasi Situbondo, yang merespons tentang Pancasila. Setelah itu, Munas
diadakan di Cilacap tahun 1987; di Bandar Lampung tahun 1992 yang memutuskan
sistem pengambilan hukum di lingkungan NU boleh menggunakan pola manhaji dengan
syarat-syarat tertentu; di Bagu, Lombok Tengah, NTB tahun 1997; dan di Asrama
Haji Pondok Gede, Jakarta tahun 2002; serta Munas 2012 di Kempek, Cirebon. Dan
yang terbaru dilaksanakan di Lombok tahun 2017.
Menurut sejarawan NU
H Abdul Mun’im Dz, Munas Alim Ulama sebenarnya dilakukan pada tahun 1954 di
Cipanas, Bogor, Jawa Barat. Namun, peserta Munas itu adalah
organisasi-organisasi Islam, kecuali Muhammadiyah. Posisi NU saat itu adalah
pelopor Munas. Dengan demikian, Munas tahun 1954 bisa dikatakan sebagai Munas
umat Islam, minus Muhammadiyah.
Konteks Munas tahun
1954 adalah respons ulama-ulama terhadap gerakan sebagian umat Islam yang
merongrong pemerintahan di bawah Presiden Soekarno yang dinilai tidak sah
secara hukum Islam. Terutama dari Pimpinan Darul Islam (DI) Kartosuwiryo yang
mengklaim diri sebagai Amirul Mukminin, pemimpin umat Islam di "negara
Islam" yang dideklarasikannya.
Munas itu melahirkan
gelar waliyyul amri ad-dlaruri bis syaukah untuk Soekarno yang intinya
menegaskan posisi presiden Indonesia (Soekarno) sebagai pemimpin yang sah
berdasarkan agama Islam.
Khoirul Amam dalam
catatannya di NU Online berjudul Waliyul Amri 1954: Penyerahan Kedaulatan
Itsbat Ramadhan kepada Pemerintah mengatakan, keputusan ini merupakan
kelanjutan dari Keputusan Muktamar NU sebelum proklamasi kemerdekaan yang
dilaksanakan di Banjarmasin pada tahun 1936.
Pada muktamar pertama
kali di luar Jawa tersebut, para kiai mencari jawaban dari pertanyaan Indonesia
(Hindia Belanda) menurut ajaran Islam?
Para kiai waktu itu
berpendapat bahwa Hindia Belanda adalah darus salam karena pernah ada
kerajaan-kerajaan Islam, kemudian saat itu direbut kaum kafir penjajah
(Belanda). Pendapat mereka berasal dari kitab Bughyatul Mustarsyidin. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar