Menjawab Azan ketika Sedang
Buang Hajat
Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, kita
mendengar suara azan berkumandang setidaknya lima kali dalam satu hari, sesuai
dengan jumlah shalat yang diwajibkan bagi umat Islam pada setiap harinya. Suara
azan ini tidak boleh kita sikapi dengan acuh, sebab menjawab kumandang azan
merupakan sebuah kesunnahan bagi setiap orang yang mendengarnya.
Namun apakah kesunnahan ini berlaku secara
umum bagi setiap orang yang mendengar azan? Mengingat terkadang seseorang
mendapati suara azan saat berada di tempat yang tidak layak untuk mengucapkan
kalima-kalimat dzikir yang terkandung dalam azan, seperti pada saat buang hajat
misalnya. Lantas apakah tetap dianjurkan bagi orang yang sedang buang hajat
untuk menjawab suara azan yang ia dengarkan?
Kesunnahan menjawab azan rupanya tidak
berlaku bagi orang yang sedang buang hajat, sebab buang hajat dianggap sebagai
keadaan yang tidak layak untuk mengucapkan segala macam dzikir dan pembicaraan,
sehingga dihukumi makruh. Kemakruhan bagi orang yang sedang buang hajat tidak
hanya berlaku pada menjawab azan, tapi juga pada semua anjuran yang terkandung
nilai dzikir di dalamnya. Seperti menjawab salam, mengucapkan hamdalah bagi
orang yang bersin, dan kesunnahan lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kitab
al-Adzkar an-Nawawiyah:
ـ
(باب النهي عن الذكر
والكلام على الخلاء) يكره الذكر والكلام حال قضاء الحاجة، سواء كان في الصحراء أو
في البنيان، وسواء في ذلك جميع الأذكار والكلام، إلا كلام الضرورة حتى قال بعض
أصحابنا : إذا عطس لا يحمد الله تعالى، ولا يشمت عاطسا، ولا يرد السلام، ولا يجيب
المؤذن، ويكون المسلم مقصرا لا يستحق جوابا، والكلام بهذا كله مكروه كراهة تنزيه،
ولا يحرم، فإن عطس فحمد الله تعالى بقلبه ولم يحرك لسانه فلا بأس، وكذلك يفعل حال
الجماع
“Bab tentang larangan berdzikir dan berbicara
saat berada di jamban (toilet). Berdzikir dan berbicara dimakruhkan ketika
sedang buang hajat, baik buang hajat dilakukan di tempat terbuka atau di
ruangan. Kemakruhan tersebut berlaku pada semua jenis dzikir dan pembicaraan
kecuali perkataan yang bersifat darurat. Bahkan sebagian ashab (ulama Syafi’iyah)
berpandangan bahwa ketika (di jamban) bersin maka tidak dianjurkan mengucapkan
hamdalah dan tidak pula dianjurkan mengucapkan tasymith (ucapan Yarhamukallâh),
tidak dianjurkan menjawab azan ketika azan sedang berkumandang dan orang yang
mengucapkan salam dengan lalai tidak berhak untuk dijawab, dan mengucapkan
ucapan pada semua keadaan di atas adalah dihukumi makruh tanzih, tidak sampai
dihukumi haram. Ketika seseorang bersin lalu ia mengucapkan hamdalah dalam
hatinya tanpa menggerakkan lisannya maka hal ini tidak dipermasalahkan, hal
tersebut juga dapat dilakukan ketika dalam keadaan bersetubuh.” (Syekh Yahya
bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, juz I, hal. 51)
Terkhusus pada permasalahan menjawab salam,
Rasulullah pernah mengalami hal ini. Salah satu sahabatnya mengucapkan salam
pada Rasulullah saat beliau sedang buang hajat, dan salam ini tidak beliau
jawab. Peristiwa ini seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadits:
وعن
المهاجر بن قنفذ رضي الله عنه قال : " أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو يبول،
فسلمت عليه، فلم يرد حتى توضأ، ثم اعتذر إلي وقال : إني كرهت أن أذكر الله تعالى
إلا على طهر رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه
“Diriwayatkan dari Sahabat Muhajir bin
Qanfadz RA, bahwa beliau berkata: Aku mendatangi Nabi Muhammad Saw saat beliau
sedang buang hajat, lalu aku mengucapkan salam pada beliau namun salam itu
tidak dijawabnya sampai beliau melaksanakan wudhu, lalu beliau menjelaskan
padaku, ‘Aku tidak senang menyebutkan nama Allah kecuali aku dalam keadaan
suci’.” (HR Abu Daud)
Memperhatikan referensi dalam kitab al-Adzkar
an-Nawawiyah di atas, tersirat suatu penjelasan bahwa bagi orang yang bersin,
tetap disunnahkan untuk mengucapkan hamdalah dalam hati. Namun apakah hal ini
juga berlaku orang yang menjawab azan, sehingga bagi orang yang sedang buang
hajat tetap disunnahkan menjawab azan dalam hati tanpa perlu dilafalkan dalam
lisan?
Dalam kitab Faid al-Qadir dijelaskan bahwa
anjuran berdzikir dalam hati berlaku pada setiap keadaan apa pun, sehingga juga
berlaku bagi orang yang sedang buang hajat. Berdasarkan ketentuan ini,
maka bagi orang yang buang hajat tetap dianjurkan menjawab azan dalam hatinya
tanpa perlu melafalkan dalam lisannya. Berikut penjelasan dalam kitab Faid
al-Qadir:
فتتأكد
مداومة ذكر الله تعالى في جميع الاحوال لكن يستثنى من الذكر القرآن حال الجنابة
بقصده فإنه حرام ويستثنى من عمومه أيضا المجامع وقاضي الحاجة فيكره لهما الذكر
اللساني أما القلبي فمستحب على كل حال
“Melanggengkan dzikir pada Allah sangat
dianjurkan pada setiap keadaan, akan tetapi dikecualikan dalam berdzikir yakni
membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub dengan menyengaja membaca Al-Qur’an,
sesungguhnya hal tersebut diharamkan. Dikecualikan pula dari keumuman anjuran
berdzikir yakni bagi orang yang sedang bersetubuh dan sedang buang hajat, maka
bagi dua orang tersebut dimakruhkan mengucapkan dzikir secara lisan, sedangkan
dzikir dalam hati tetap disunnahkan dalam keadaan apapun.” (Al-Manawi, Faid
al-Qadir, juz 5, hal. 424)
Sedangkan dalam kitab I’anah at-Thalibin
dijelaskan bahwa bagi orang yang sedang buang hajat dianjurkan untuk menjawab
seluruh kalimat azan setelah selesai melaksanakan aktifitas buang hajat.
Berikut referensi yang menegaskan hal ini:
وتكره
لمجامع وقاضي حاجة، بل يجيبان بعد الفراغ
“Makruh menjawab azan bagi orang yang sedang
bersetubuh dan buang hajat, akan tetapi dua orang ini tetap dianjurkan menjawab
azan ketika sudah selesai bersetubuh dan buang hajat.”(Syekh Zainuddin
al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 279)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
menjawab azan secara lisan bagi orang yang sedang buang hajat adalah hal yang
dimakruhkan, namun ia tetap dianjurkan untuk menjawab azan dalam hati dan
menjawab semua azan secara lisan ketika telah selesai melakukan buang hajat. Wallahu
a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar