Selasa, 07 Januari 2020

(Ngaji of the Day) Ketentuan Fiqih soal Shalat Fardhu di Kursi


Ketentuan Fiqih soal Shalat Fardhu di Kursi

Salah satu kewajiban dalam melaksanakan shalat fardhu adalah melaksanakannya dengan cara berdiri. Kewajiban berdiri pada shalat fardhu ini berlaku bagi setiap orang yang mampu berdiri secara normal tanpa disertai rasa sakit. Sedangkan bagi orang yang tak mampu berdiri atau mampu berdiri tapi disertai rasa sakit yang berat, boleh untuk shalat fardhu dengan cara duduk. Ketentuan ini merupakan salah satu implementasi dari sebuah hadits:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika aku melarang kalian suatu hal maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian.” (HR Bukhari)

Lalu bolehkah menggunakan perantara kursi pada saat shalat dengan duduk ketika seseorang  tidak mampu berdiri?

Para ulama berpandangan bahwa duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri adalah hal yang diperbolehkan dengan ketentuan ketika ia memang benar-benar tidak mampu berdiri atau tidak mampu untuk duduk secara manual di lantai dan tetap melakukan rukun-rukun yang lain seperti sujud dan ruku’ secara sempurna selama rukun-rukun tersebut masih dapat dilakukan tanpa adanya rasa sakit. 

Hal demikian seperti yang dijelaskan oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam salah satu kumpulan fatwa-fatwanya:

مسألة الصلاة على الكرسي يعود حكمه إلى ما يقوله الطبيب الموثوق به للمريض، فإن منعه من الصلاة قاعداً، أي منعه من ثني ركبتيه على الأرض، فليس أمامه إلا الصلاة على الكرسي عندما يهوي للسجود، وصلاته عندئذ صحيحة على كل المذاهب، وإن منعه من الصلاة قائماً لسبب ما ولم يمنعه من الحالات الأخرى، أي لم يمنعه من السجود على الأرض بوضع جبهته عليها، وجب عليه ذلك ولم تصح صلاته على الكرسي، إلا إن هوى عند السجود على الأرض كغيره وخصوصية الكرسي لا معنى لها ولا حاجة إليها عندئذ

“Permasalahan. Shalat di atas kursi hukumnya kembali pada keterangan dokter yang terpercaya bagi orang yang sakit. Jika dokter melarangnya untuk duduk dengan menekuk dua lututnya di tanah maka ia harus menyiapkan kursi di depannya ketika hendak turun untuk sujud. Shalat demikian dihukumi sah menurut seluruh mazhab. Jika dokter melarangnya untuk berdiri karena suatu sebab, tapi ia tidak melarang untuk melakukan sujud dengan meletakkan dahinya di tanah, maka wajib baginya untuk sujud dan tidak sah shalat yang ia lakukan di kursi kecuali jika melakukan sujud di tanah, seperti halnya rukun yang lain. Mengkhususkan kursi tidak ada artinya dan tidak dibutuhkan pada keadaan demikian.” (Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Istifta’at an-Nas lil Imam as-Syahid al-Bhuti, hal. 99)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa melaksanakan shalat fardhu dengan cara duduk di kursi bagi orang yang masih mampu untuk berdiri adalah hal yang tidak diperbolehkan, bahkan menimbulkan dosa bila dilakukan dengan sengaja dan sembrono terhadap salah satu kewajiban shalat fardhu. Hal demikian ditegaskan oleh Imam An-Nawawi:

وأما الفرض فإن الصلاة قاعدا مع قدرته على القيام لم يصح فلا يكون فيه ثواب بل يأثم به قال أصحابنا وإن استحله كفر وجرت عليه أحكام المرتدين كما لو استحل الزنى والربا أو غيره من المحرمات الشائعة التحريم

“Shalat fardhu yang dilaksanakan dengan duduk padahal dia mampu berdiri adalah tidak sah, bahkan ia terkena dosa. Para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkata, ‘Jika ia menganggap halal melakukan shalat fardhu dengan duduk, padahal masih bisa bediri maka ia menjadi kafir dan berlaku baginya hukum-hukumnya orang yang murtad, sebagaimana orang yang menghalalkan zina, riba, dan perkara haram lain yang telah masyhur keharamannya.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 6, hal. 14)

Sedangkan dalam konteks shalat sunnah, melaksanakan shalat dengan cara duduk, baik itu secara langsung di lantai atau dengan perantara kursi adalah hal yang diperbolehkan. Mengapa? Sebab berdiri dalam shalat sunnah bukanlah suatu kewajiban tapi merupakan kesunnahan. Meski begitu orang yang melaksanakan shalat sunnah dengan cara duduk hanya mendapatkan pahala setengah dibanding orang yang melaksanakan shalat sunnah dengan berdiri. Ketentuan ini berdasarkan hadits:

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

“Barangsiapa yang shalat (sunnah) dengan berdiri maka lebih utama, barangsiapa yang shalat dengan duduk maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri dan barangsiapa yang shalat dengan tidur maka baginya setengah pahala dari orang yang duduk.” (HR. Bukhari)

Walhasil, melaksanakan shalat fardhu dengan cara duduk di kursi hanya diperbolehkan bagi orang yang tidak mampu untuk berdiri. Selain itu, tidak diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu dengan duduk di kursi, jika masih tetap dilakukan maka shalatnya tidak sah dan wajib untuk mengulanginya dengan cara berdiri secara sempurna. Wallahu a’lam. []

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar