Ketentuan Fiqih soal Shalat
Fardhu di Kursi
Salah satu kewajiban dalam melaksanakan
shalat fardhu adalah melaksanakannya dengan cara berdiri. Kewajiban berdiri
pada shalat fardhu ini berlaku bagi setiap orang yang mampu berdiri secara
normal tanpa disertai rasa sakit. Sedangkan bagi orang yang tak mampu berdiri
atau mampu berdiri tapi disertai rasa sakit yang berat, boleh untuk shalat
fardhu dengan cara duduk. Ketentuan ini merupakan salah satu implementasi dari
sebuah hadits:
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku melarang kalian suatu hal maka
jauhilah, dan jika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah
semampu kalian.” (HR Bukhari)
Lalu bolehkah menggunakan perantara kursi
pada saat shalat dengan duduk ketika seseorang tidak mampu berdiri?
Para ulama berpandangan bahwa duduk bagi
orang yang tidak mampu berdiri adalah hal yang diperbolehkan dengan ketentuan
ketika ia memang benar-benar tidak mampu berdiri atau tidak mampu untuk duduk
secara manual di lantai dan tetap melakukan rukun-rukun yang lain seperti sujud
dan ruku’ secara sempurna selama rukun-rukun tersebut masih dapat dilakukan
tanpa adanya rasa sakit.
Hal demikian seperti yang dijelaskan oleh Syekh
Said Ramadhan al-Buthi dalam salah satu kumpulan fatwa-fatwanya:
مسألة
الصلاة على الكرسي يعود حكمه إلى ما يقوله الطبيب الموثوق به للمريض، فإن منعه من
الصلاة قاعداً، أي منعه من ثني ركبتيه على الأرض، فليس أمامه إلا الصلاة على
الكرسي عندما يهوي للسجود، وصلاته عندئذ صحيحة على كل المذاهب، وإن منعه من الصلاة
قائماً لسبب ما ولم يمنعه من الحالات الأخرى، أي لم يمنعه من السجود على الأرض
بوضع جبهته عليها، وجب عليه ذلك ولم تصح صلاته على الكرسي، إلا إن هوى عند السجود
على الأرض كغيره وخصوصية الكرسي لا معنى لها ولا حاجة إليها عندئذ
“Permasalahan. Shalat di atas kursi hukumnya
kembali pada keterangan dokter yang terpercaya bagi orang yang sakit. Jika
dokter melarangnya untuk duduk dengan menekuk dua lututnya di tanah maka ia
harus menyiapkan kursi di depannya ketika hendak turun untuk sujud. Shalat
demikian dihukumi sah menurut seluruh mazhab. Jika dokter melarangnya untuk
berdiri karena suatu sebab, tapi ia tidak melarang untuk melakukan sujud dengan
meletakkan dahinya di tanah, maka wajib baginya untuk sujud dan tidak sah
shalat yang ia lakukan di kursi kecuali jika melakukan sujud di tanah, seperti
halnya rukun yang lain. Mengkhususkan kursi tidak ada artinya dan tidak
dibutuhkan pada keadaan demikian.” (Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi,
Istifta’at an-Nas lil Imam as-Syahid al-Bhuti, hal. 99)
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
dipahami bahwa melaksanakan shalat fardhu dengan cara duduk di kursi bagi orang
yang masih mampu untuk berdiri adalah hal yang tidak diperbolehkan, bahkan
menimbulkan dosa bila dilakukan dengan sengaja dan sembrono terhadap salah satu
kewajiban shalat fardhu. Hal demikian ditegaskan oleh Imam An-Nawawi:
وأما
الفرض فإن الصلاة قاعدا مع قدرته على القيام لم يصح فلا يكون فيه ثواب بل يأثم به
قال أصحابنا وإن استحله كفر وجرت عليه أحكام المرتدين كما لو استحل الزنى والربا
أو غيره من المحرمات الشائعة التحريم
“Shalat fardhu yang dilaksanakan dengan duduk
padahal dia mampu berdiri adalah tidak sah, bahkan ia terkena dosa. Para Ashab
(ulama Syafi’iyah) berkata, ‘Jika ia menganggap halal melakukan shalat fardhu
dengan duduk, padahal masih bisa bediri maka ia menjadi kafir dan berlaku
baginya hukum-hukumnya orang yang murtad, sebagaimana orang yang menghalalkan
zina, riba, dan perkara haram lain yang telah masyhur keharamannya.” (Syekh
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 6, hal. 14)
Sedangkan dalam konteks shalat sunnah,
melaksanakan shalat dengan cara duduk, baik itu secara langsung di lantai atau
dengan perantara kursi adalah hal yang diperbolehkan. Mengapa? Sebab berdiri
dalam shalat sunnah bukanlah suatu kewajiban tapi merupakan kesunnahan. Meski
begitu orang yang melaksanakan shalat sunnah dengan cara duduk hanya
mendapatkan pahala setengah dibanding orang yang melaksanakan shalat sunnah
dengan berdiri. Ketentuan ini berdasarkan hadits:
مَنْ
صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ
القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ
“Barangsiapa yang shalat (sunnah) dengan
berdiri maka lebih utama, barangsiapa yang shalat dengan duduk maka baginya
setengah dari pahala orang yang berdiri dan barangsiapa yang shalat dengan
tidur maka baginya setengah pahala dari orang yang duduk.” (HR. Bukhari)
Walhasil, melaksanakan shalat fardhu dengan
cara duduk di kursi hanya diperbolehkan bagi orang yang tidak mampu untuk
berdiri. Selain itu, tidak diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu dengan
duduk di kursi, jika masih tetap dilakukan maka shalatnya tidak sah dan wajib
untuk mengulanginya dengan cara berdiri secara sempurna. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar