Kata Pendaku Salafi ‘Orang
Jahiliyah Bertauhid tatkala Susah’, Benarkah?
Banyak tokoh pendaku Salafi yang mengatakan
bahwa sebenarnya kaum musyrikin jahiliyah itu bertauhid tatkala susah dan
mereka menjadi syirik hanya tatkala senang saja. Misalnya saja Syekh Muhammad
Taqiyuddin al-Hilali yang berkata:
أن
المشركين الأولين كانوا إذا مسهم الضر وځدوا الله تعالى فلم يدعوا غيره، وإذا
كانوا في وقت الرخاء أشركوا به، وعبدوا غيره، أما مشرکو هذا الزمان، فإنهم أجهل وأضل؛
لأنهم مشركون بالله في الشدة وفي الرخاء، ولا يكادون يوحدون الله تعالى في أي حال
“Sesungguhnya kaum musyrikin awal apabila
tertimpa kesusahan, mereka bertauhid pada Allah sehingga tak berdoa pada
selainnya. Apabila mereka dalam keadaan senang, maka mereka syirik menyekutukan
Allah dan menyembah selainnya. Adapun kaum musyrikin di masa ini, mereka lebih
bodoh dan lebih sesat sebab mereka menyekutukan Allah di saat susah dan senang
dan hampir-hampir tak pernah bertauhid pada Allah dalam keadaan apa pun.” (Muhammad
Taqiyuddin al-Hilali, Sabîl al-Rasyâd Fî Hadyi Khair al-‘Ibâd, 511).
Kesimpulan seperti itu jauh sebelumnya juga
disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab, pendiri sekte Wahhabiyah,
yang berkata:
فأعلم
أن شرك الأولين أخف من شرك أهل زماننا بأمرين أحدهما: أن الأولين لا يشركون ولا
يدعون الملائكة والأولياء والأوثان مع الله إلا في الرخاء، وأما الشدة فيخلصون لله
الدعاء
“Maka ketahuilah bahwa kesyirikan orang awal
lebih ringan dari kesyirikan penduduk masa kita ini sebab dua hal; salah
satunya adalah mereka tidak melakukan syirik dan tak berdoa pada malaikat,
wali, berhala bersamaan dengan berdoa pada Allah kecuali dalam keadaan senang
saja. Adapun dalam keadaan susah, mereka memurnikan doa pada Allah.” (Ibnu
Utsaimin, Syarh Kasyf as-Syubuhât, 76)
Alasan mereka sehingga sampai pada kesimpulan
tersebut adalah beberapa firman Allah seperti berikut:
وَإِذَا
مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا
نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan,
niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia
menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu
tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 57)
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا
نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
"Maka apabila mereka naik kapal, mereka
berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya, tetapi
ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah)" (QS. Al-Ankabut 65)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut dan banyak lagi
yang serupa sama sekali tak mengatakan bahwa orang-orang musyrik itu bertauhid
tatkala susah. Yang ada, ayat tersebut hanya mengatakan bahwa orang-orang
jahiliyah itu tak berdoa pada berhala sewaktu mereka susah dan terdesak tetapi
hanya pada Allah saja yang mereka yakini sebagai sesembahan terhebat, Sang
Pencipta langit dan bumi. Seperti diungkapkan oleh Imam al-Qurthubi, para
musyrikin itu meyakini bahwa berhala yang mereka sembah tak bisa berbuat apa
pun tatkala ada kesulitan besar (أَنَّ الْأَصْنَامَ
لَا فِعْلَ لَهَا فِي الشَّدَائِد الْعِظَامِ) )al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, X: 291).
Namun demikian, harus dicatat bahwa dalam
hati mereka tetap meyakini bahwa berhala-berhala itu layak disembah dan
dimintai pertolongan bila masalahnya tak begitu berat. Sebab itulah ketika
keadaan genting sudah usai, maka mereka kembali menampakkan kesyirikannya
dengan berdoa pada berhala lagi. Andai mereka sama sekali tak meyakini berhala
itu bisa memberikan manfaat dan pertolongan dalam hal yang tidak begitu berat,
tentu mustahil mereka menyembahnya dan berdoa padanya.
Hakikat kesyirikan itu meyakini dalam hati
bahwa ada sesembahan (إله) yang benar selain Allah. Meskipun sedang menyembah Allah, tapi
bila dalam hati seseorang ada sesembahan lain yang sedang tak ia sembah, maka
itu sudah syirik. Meskipun orangnya sedang shalat di masjid, kalau hatinya
mendua pada sesembahan lain, maka tetaplah ia syirik. Jadi, adalah kurang tepat
kalau ada yang berkata bahwa orang musyrikin bertauhid, meskipun di level
tertentu saja. Sudah jelas Al-Qur’an berkali-kali menyebut mereka sebagai orang
musyrik dan tak sekalipun menyebut mereka sebagai muwahhid (orang yang
bertauhid). Sebab itulah, Allah berfirman tentang hati para musyrikin itu yang
mencintai berhala mereka seperti halnya mereka juga mencintai Allah.
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya
kepada Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 165).
Sebaliknya meskipun seseorang berada di depan
berhala, berdoa pada Allah di rumah ibadah agama lain, berada di kuburan atau
di mana pun, bila dalam hatinya yakin bahwa hanya Allah saja sesembahan yang
benar sehingga semua objek di depannya sama sekali tak layak disembah, maka ia
tetap bertauhid meyakini lâ ilâha illallâh. Inilah yang dilakukan kaum muslimin
awal sebelum hijrah ke Madinah ketika mereka menunaikan shalat di area Ka’bah
yang saat itu masih penuh dengan berhala. Demikian pula ketika kaum muslimin
mencium Hajar Aswad, menghadap ke Ka’bah atau menempelkan pipinya di Multazam,
sama sekali tak ada yang sedang menyembah hajar aswad, ka’bah atau multazam
sebab hari mereka bersih dari syirik.
Dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah
(Asy’ariyah-Maturidiyah), meyakini Allah sebagai pencipta langit dan bumi dan
pemberi rezeki saja tak cukup menjadikan seseorang disebut bertauhid bila ia
masih meyakini ada sekutu (شريك) atau tandingan (ند) bagi Allah dalam hal apa pun. Seseorang
dianggap bertauhid hanya apabila telah meyakini bahwa Allah tak mempunyai satu
pun tandingan dalam hal Dzat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Dengan kata lain,
seorang disebut muwahhid apabila meyakini tak ada apa pun di dunia ini
yang menyamai Allah atau dapat memberi manfaat dan mudarat sekecil apa pun
tanpa izin Allah.
Dengan keyakinan seperti ini, mustahil
seorang muwahhid akan menyembah selain Allah meskipun secara lahiriah ia
berdoa di kuburan atau bertawassul dengan Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana diajarkan
oleh Nabi Muhammad ﷺ sendiri dalam hadis
yang sahih. Dengan demikian diketahui bahwa kesimpulan para pendaku Salafi yang
mengatakan bahwa orang-orang pada saat ini telah syirik, bahkan lebih buruk
dari kesyirikan orang jahiliyah, sebab berdoa di kuburan atau bertawassul
tatkala keadaan susah adalah kesimpulan yang amat gegabah dan tak berdasar. Tak
terhitung jumlah para ulama besar dalam sejarah, termasuk Imam Ahmad, yang
melakukan hal semacam ini dan tanpa sedikit pun diragukan bahwa mereka adalah muwahhid
sejati.
Yang layak dianggap syirik hanyalah perbuatan
menyembah dan memohon kepada selain Allah saja (bukan dalam rangka bertawassul)
yang biasanya dilakukan oleh non-muslim. Kadang tindakan semacam ini juga
dilakukan oleh orang muslim yang teramat bodoh dan jauh dari pendidikan Islam,
tetapi ini sedikit sekali sebab secara naluriah seorang yang bersyahadat akan
tahu bahwa tindakan seperti itu bertentangan dengan syahadatnya.
Jadi, orang-orang musyrik jahiliyah tak
pernah bertauhid sebab tak memenuhi syarat tauhid di atas. Namun al-Qur’an
menginfokan bahwa orang-orang musyrik itu benar-benar bertauhid nanti tatkala
telah kiamat. Ketika mereka sudah melihat azab Allah dengan mata kepala mereka
sendiri, barulah mereka bertauhid. Tentu saja taubat ini sudah tak berguna.
Bagaimana redaksi tauhid mereka? Perhatikan ketegasan dalam ayat berikut:
فَلَمَّا
رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا
بِهِ مُشْرِكِينَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا
بَأْسَنَا
"Maka ketika mereka melihat azab Kami,
mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar (kufur)
kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka tak
bermanfaat keimanan mereka ketika telah melihat azab Kami.” (QS. Ghafir: 84-85)
Redaksi tauhid di ayat itu jelas dengan
pernyataan bahwa mereka ingkar pada sesembahan-sesembahan selain Allah dan
hanya beriman pada Allah semata. Redaksi tegas semacam ini tak terucap ketika
mereka masih hidup, bahkan tatkala sedang kesusahan sekalipun, sebab
kenyataannya mereka tetap menaruh rasa cinta pada berhala-berhala mereka dan
merasa berhala-berhala itu dapat memberi manfaat sebagai sekutu Allah atau
minimal sebagai pembela (شفيع) di hadapan Allah. Sebab itulah mereka berstatus musyrik hingga
matinya. Wallahu a'lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar