Senin, 06 Januari 2020

(Ngaji of the Day) Kata Pendaku Salafi ‘Orang Jahiliyah Bertauhid tatkala Susah’, Benarkah?


Kata Pendaku Salafi ‘Orang Jahiliyah Bertauhid tatkala Susah’, Benarkah?

Banyak tokoh pendaku Salafi yang mengatakan bahwa sebenarnya kaum musyrikin jahiliyah itu bertauhid tatkala susah dan mereka menjadi syirik hanya tatkala senang saja. Misalnya saja Syekh Muhammad Taqiyuddin al-Hilali yang berkata:

أن المشركين الأولين كانوا إذا مسهم الضر وځدوا الله تعالى فلم يدعوا غيره، وإذا كانوا في وقت الرخاء أشركوا به، وعبدوا غيره، أما مشرکو هذا الزمان، فإنهم أجهل وأضل؛ لأنهم مشركون بالله في الشدة وفي الرخاء، ولا يكادون يوحدون الله تعالى في أي حال

“Sesungguhnya kaum musyrikin awal apabila tertimpa kesusahan, mereka bertauhid pada Allah sehingga tak berdoa pada selainnya. Apabila mereka dalam keadaan senang, maka mereka syirik menyekutukan Allah dan menyembah selainnya. Adapun kaum musyrikin di masa ini, mereka lebih bodoh dan lebih sesat sebab mereka menyekutukan Allah di saat susah dan senang dan hampir-hampir tak pernah bertauhid pada Allah dalam keadaan apa pun.” (Muhammad Taqiyuddin al-Hilali, Sabîl al-Rasyâd Fî Hadyi Khair al-‘Ibâd, 511).

Kesimpulan seperti itu jauh sebelumnya juga disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab, pendiri sekte Wahhabiyah, yang berkata:

فأعلم أن شرك الأولين أخف من شرك أهل زماننا بأمرين أحدهما: أن الأولين لا يشركون ولا يدعون الملائكة والأولياء والأوثان مع الله إلا في الرخاء، وأما الشدة فيخلصون لله الدعاء

“Maka ketahuilah bahwa kesyirikan orang awal lebih ringan dari kesyirikan penduduk masa kita ini sebab dua hal; salah satunya adalah mereka tidak melakukan syirik dan tak berdoa pada malaikat, wali, berhala bersamaan dengan berdoa pada Allah kecuali dalam keadaan senang saja. Adapun dalam keadaan susah, mereka memurnikan doa pada Allah.” (Ibnu Utsaimin, Syarh Kasyf as-Syubuhât, 76)

Alasan mereka sehingga sampai pada kesimpulan tersebut adalah beberapa firman Allah seperti berikut:

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isra’: 57)

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

"Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)" (QS. Al-Ankabut 65)

Sebenarnya ayat-ayat tersebut dan banyak lagi yang serupa sama sekali tak mengatakan bahwa orang-orang musyrik itu bertauhid tatkala susah. Yang ada, ayat tersebut hanya mengatakan bahwa orang-orang jahiliyah itu tak berdoa pada berhala sewaktu mereka susah dan terdesak tetapi hanya pada Allah saja yang mereka yakini sebagai sesembahan terhebat, Sang Pencipta langit dan bumi. Seperti diungkapkan oleh Imam al-Qurthubi, para musyrikin itu meyakini bahwa berhala yang mereka sembah tak bisa berbuat apa pun tatkala ada kesulitan besar (أَنَّ الْأَصْنَامَ لَا فِعْلَ لَهَا فِي الشَّدَائِد الْعِظَامِ) )al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, X: 291).

Namun demikian, harus dicatat bahwa dalam hati mereka tetap meyakini bahwa berhala-berhala itu layak disembah dan dimintai pertolongan bila masalahnya tak begitu berat. Sebab itulah ketika keadaan genting sudah usai, maka mereka kembali menampakkan kesyirikannya dengan berdoa pada berhala lagi. Andai mereka sama sekali tak meyakini berhala itu bisa memberikan manfaat dan pertolongan dalam hal yang tidak begitu berat, tentu mustahil mereka menyembahnya dan berdoa padanya.

Hakikat kesyirikan itu meyakini dalam hati bahwa ada sesembahan (إله) yang benar selain Allah. Meskipun sedang menyembah Allah, tapi bila dalam hati seseorang ada sesembahan lain yang sedang tak ia sembah, maka itu sudah syirik. Meskipun orangnya sedang shalat di masjid, kalau hatinya mendua pada sesembahan lain, maka tetaplah ia syirik. Jadi, adalah kurang tepat kalau ada yang berkata bahwa orang musyrikin bertauhid, meskipun di level tertentu saja. Sudah jelas Al-Qur’an berkali-kali menyebut mereka sebagai orang musyrik dan tak sekalipun menyebut mereka sebagai muwahhid (orang yang bertauhid). Sebab itulah, Allah berfirman tentang hati para musyrikin itu yang mencintai berhala mereka seperti halnya mereka juga mencintai Allah.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 165).

Sebaliknya meskipun seseorang berada di depan berhala, berdoa pada Allah di rumah ibadah agama lain, berada di kuburan atau di mana pun, bila dalam hatinya yakin bahwa hanya Allah saja sesembahan yang benar sehingga semua objek di depannya sama sekali tak layak disembah, maka ia tetap bertauhid meyakini lâ ilâha illallâh. Inilah yang dilakukan kaum muslimin awal sebelum hijrah ke Madinah ketika mereka menunaikan shalat di area Ka’bah yang saat itu masih penuh dengan berhala. Demikian pula ketika kaum muslimin mencium Hajar Aswad, menghadap ke Ka’bah atau menempelkan pipinya di Multazam, sama sekali tak ada yang sedang menyembah hajar aswad, ka’bah atau multazam sebab hari mereka bersih dari syirik.

Dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah), meyakini Allah sebagai pencipta langit dan bumi dan pemberi rezeki saja tak cukup menjadikan seseorang disebut bertauhid bila ia masih meyakini ada sekutu (شريك) atau tandingan (ند) bagi Allah dalam hal apa pun. Seseorang dianggap bertauhid hanya apabila telah meyakini bahwa Allah tak mempunyai satu pun tandingan dalam hal Dzat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Dengan kata lain, seorang disebut muwahhid apabila meyakini tak ada apa pun di dunia ini yang menyamai Allah atau dapat memberi manfaat dan mudarat sekecil apa pun tanpa izin Allah. 

Dengan keyakinan seperti ini, mustahil seorang muwahhid akan menyembah selain Allah meskipun secara lahiriah ia berdoa di kuburan atau bertawassul dengan Nabi Muhammad sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam hadis yang sahih. Dengan demikian diketahui bahwa kesimpulan para pendaku Salafi yang mengatakan bahwa orang-orang pada saat ini telah syirik, bahkan lebih buruk dari kesyirikan orang jahiliyah, sebab berdoa di kuburan atau bertawassul tatkala keadaan susah adalah kesimpulan yang amat gegabah dan tak berdasar. Tak terhitung jumlah para ulama besar dalam sejarah, termasuk Imam Ahmad, yang melakukan hal semacam ini dan tanpa sedikit pun diragukan bahwa mereka adalah muwahhid sejati. 

Yang layak dianggap syirik hanyalah perbuatan menyembah dan memohon kepada selain Allah saja (bukan dalam rangka bertawassul) yang biasanya dilakukan oleh non-muslim. Kadang tindakan semacam ini juga dilakukan oleh orang muslim yang teramat bodoh dan jauh dari pendidikan Islam, tetapi ini sedikit sekali sebab secara naluriah seorang yang bersyahadat akan tahu bahwa tindakan seperti itu bertentangan dengan syahadatnya.

Jadi, orang-orang musyrik jahiliyah tak pernah bertauhid sebab tak memenuhi syarat tauhid di atas. Namun al-Qur’an menginfokan bahwa orang-orang musyrik itu benar-benar bertauhid nanti tatkala telah kiamat. Ketika mereka sudah melihat azab Allah dengan mata kepala mereka sendiri, barulah mereka bertauhid. Tentu saja taubat ini sudah tak berguna. Bagaimana redaksi tauhid mereka? Perhatikan ketegasan dalam ayat berikut:

فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا

"Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar (kufur) kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka tak bermanfaat keimanan mereka ketika telah melihat azab Kami.” (QS. Ghafir: 84-85)

Redaksi tauhid di ayat itu jelas dengan pernyataan bahwa mereka ingkar pada sesembahan-sesembahan selain Allah dan hanya beriman pada Allah semata. Redaksi tegas semacam ini tak terucap ketika mereka masih hidup, bahkan tatkala sedang kesusahan sekalipun, sebab kenyataannya mereka tetap menaruh rasa cinta pada berhala-berhala mereka dan merasa berhala-berhala itu dapat memberi manfaat sebagai sekutu Allah atau minimal sebagai pembela (شفيع) di hadapan Allah. Sebab itulah mereka berstatus musyrik hingga matinya. Wallahu a'lam. []

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar