Pola Penulisan Al-Qur’an,
dari Nabi atau Ijtihad Sahabat?
Pola penulisan mushaf dalam Al-Qur’an yang
sekarang beredar adalah Rasm Utsmani. Kata “utsmanî” sendiri merujuk kepada
nama khalifah ketiga, yaitu Utsman bin Affan, atas jasa dan kontribusinya dalam
pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an secara sempurna dan utuh.
Pola penulisan mushaf ini, sebagaimana
disinggung pada pembahasan yang lalu, tidak memiliki kaidah yang baku sesuai
dengan penulisan bahasa Arab secara konvensional.
Sehubungan dengan itu, para ulama berbeda
pendapat tentang pola penulisan Al-Qur’an ini, apakah pola penulisan ini sesuai
petunjuk Nabi (tauqifî) atau hasil itijhad para sahabat?
Dalam kitab Manahilul Irfân karya Syekh Abdul
Adhim al-Zurqani dijelaskan bahwa perbedaan ini terbagi dalam tiga pendapat:
Pertama, pendapat mayoritas ulama, menurutnya
pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf adalah bersifat tauqifî, yaitu sesuai
petunjuk dan perintah Nabi. Hal ini didasarkan pada dua hal: (1) penulisan
Al-Qur’an dilakukan oleh kuttab al-wahyi (para penulis Al-Qur’an) di masa Nabi ﷺ. Apa yang ditulis
oleh mereka tentu telah mendapatkan persetujuan dari Nabi; (2) tulisan ini
tetap ada dan terus berlanjut pada masa Abu Bakar, dan pada masa Utsman bin
Affan hingga sampai masa para tabi’in (generasi yang menjumpai sahabat) dan
tabi’it tabi’in (generasi yang menjumpai tabi’in). Dengan demikian, penulisan
ini merupakan kesepakatan sahabat. Tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan penetapan Nabi, baik menambah huruf maupun
menguranginya tanpa petunjuk Nabi.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Haram
hukumnya menyalahi penulisan Rasm Utsmanî, baik dalam penulisan huruf, ya’,
alif, dan wawu.”
Kedua, sebagian ulama, termasuk Imam
al-Baqillanî dan Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa penulisan Al-Qur’an dalam
mushaf itu merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi. Tidak bersifat tauqifî.
Hal ini didasarkan pada dua fakta: (1) tidak ditemukan nash (dalil) baik berupa
ayat Al-Qur’an maupun sunnah, yang menunjukkan keharusan menulis Al-Qur’an
sesuai Rasm Utsmanî; (2) seandainya pola penulisan mushaf itu bersifat tauqifî,
sesuai petunjuk Nabi, kenapa menggunakan istilah “rasm ustmanî” bukan “rasm
nabawî”?.
Imam al-Baqillanî menyatakan bahwa sunnah
menuliskan Al-Qur’an dengan pola yang mudah, sebab Nabi memerintahkan para
sahabat menulis Al-Qur’an namun beliau tidak menunjukkan pola tertentu dan
tidak melarang menulis pola tertentu juga.
Oleh sebab itu, bentuk dan model penulisan
itu tidak lain hanyalah suatu tanda atau simbol. Segala bentuk serta model
penulisan Al-Qur’an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan.
Sedangkan rasm utsmani yang menyalahi rasm imla’î (menurut kaidah
penulisan Arab konvensional) yang dikenal masyarakat, menyulitkan banyak orang
dan dapat mengakibatkan kesulitan dan keserupaan bagi pembaca.
Ketiga, pendapat ini sepertinya ingin
mengakomodasi dua pendapat di atas dengan melihat kebutuhan dan kondisi
sosialnya. Di satu sisi memperbolehkan bahkan mengharuskan menulis Al-Qur’an
dengan menggunakan pola imla’î, dalam rangka memudahkan masyarakat umum.
Artinya, bagi mereka yang tidak mengerti, tidak boleh menulis Al-Qur’an dengan
Rasm Utsmanî agar tidak jatuh pada keserupaan dan perubahan.
Di sisi yang lain dianjurkan menulis dengan
pola Rasm Utsmani untuk menjaga dan melestarikan sebagai warisan yang berharga
bagi generasi selanjutnya. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Nawawi dan Imam
al-Zarkasyi.
Sehubungan dengan ini, Imam al-Zurqanî
berkata:
وهذا الرأي
يقوم على رعاية الاحتياط للقرآن من ناحيتين: ناحية كتابته في كل عصر بالرسم
المعروف فيه إبعادا للناس عن اللبس والخلط في القرآن وناحية إبقاء رسمه الأول
المأثور يقرؤه العارفون ومن لا يخشى عليهم الالتباس. ولا شك أن الاحتياط مطلب ديني
جليل خصوصا في جانب حماية التنزيل
“Pendapat ini dimaksudkan untuk menjaga
eksistensi Al-Qur’an dari dua aspek: pertama, yaitu penulisan Al-Qur’an dengan
penulisan yang dikenal (masyarakat umum), agar terhindar dari keserupaan dan
kekacauan dan kesalahan dalam membacanya. Kedua, upaya pelestarian rasm-nya
yang orisinil, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mengerti (arif), yang
tidak dikhawatirkan terjadi kekacauan dalam membacanya. Tidak diragukan lagi
bahwa berhati-hati merupakan tuntutan agama yang agung, utamanya dalam hal
menjaga Al-Qur’an”.
Oleh karena itu, dari tiga pendapat di atas,
penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Muslim
di seluruh dunia. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani, jika tidak
dikatakan sebagai petunjuk Nabi, ia merupakan suatu kesepakatan para sahabat.
Kesepakatan sahabat memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang wajib diikuti
oleh kaum Muslim. Termasuk pola penulisan Al-Qur’an.
2. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm
Utsmani merupakan sunnah yang harus dikuti. Hal ini dinyatakan dalam kitab
al-Minhaj fi fiqh al-Syafi’i, “Kalimat (الربوا)
ditulis dengan wawu dan alif sebagaimana dalam Rasm Utsmani. Dalam Al-Qur’an
tidak ditulis dengan ya’ dan alif, karena Rasm Utsmani adalah sunnah yang harus
diikuti.”
3. Pola penulisan Al-Qur’an sesuai dengan
Rasm Utsmani adalah sebuah keniscayaan, utamanya penyatuan pola penulisan
Al-Qur’an bagi seluruh ummat Muslim dengan rasm utsmani, agar seragam sesuai
dengan penulisan awal dan agar terhindar dari fitnah. Sehingga tidak ada
ungkapan-ungkapan yang muncul, “Mushaf kami lebih bagus dari mushaf kalian,
rasm kami lebih baik daripada rasm kalian!”
4. Boleh menulis Al-Qur’an tanpa menggunakan
Rasm Utsmani apabila digunakan untuk kepentingan pembelajaran bagi orang
masyarakat awam, umumnya di kalangan sekolah-sekolah yang masih butuh
pengetahuan tentang bahasa Arab.
5. Pola penulisan Al-Qur’an dengan rasm
utsmani memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah memiliki petunjuk
pada makna yang tersembunyi, seperti dalam surat al-Dzarîat ayat 47, pada
lafadz (بأييد).
والسماء
بنيناها بأييد
Dalam lafadz tersebut ditambah huruf ya’
setelah huruf ya’, karena mempunyai petunjuk atas keagungan kekuatan Allah ﷻ, yang dapat
menciptakan langit, kekuatan ini tidak sama dengan kekuatan makhluknya. Dalam
kaidah dikatakan: ziyâdatul mabnâ tadullu ‘alâ ziyâdatil ma‘nâ (penambahan
konsonan huruf menunjukkan atas penambahan makna). []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar