Politik Belah Bambu
Untuk menjaga eksistensi penjajahannya di
Indonesia, Belanda menggunakan taktik divide et impera (memecah-belah lalu
menguasai). Dengan cara itu kerajaan di nusantara diintrik, berselisih lalu
perang, akhirnya Belanda datang mendamaikan dan tampil sebagai pemenang.
Untuk menghadapi kelompok Islam, Belanda juga
mengambil strategi serupa, tetapi dengan taktik lain yaitu dengan politik
“belah bambu” (satu diinjak yang lain disanjung). Islam pesantren yang sangat
anti kolonial dan berjalan sesuai dengan tradisinya sendiri disebut Islam kuno,
Islam tua atau Islam kolot, yang dicitrakan serba buruk.persoalannya hanya
tidak sesuai dengan selera kolonial, tetapi juga karena punya kepribadian.
Sementara kelompok Islam yang mau bekerja
sama dengan belanda dengan membangun sistem sekolah modern, berpakaian ala
Belanda, berpikir dan berperilaku seperti Belanda disebut sebagai Islam modern,
yang kemudian disanjung Belanda sebagai Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Kelompok terakhir ini tidak hanya disanjung dalam sepanjang literatur dan
forum, tetapi juga disubsidi oleh pemerintah kolonial.
Dengan kenyataan itu, para ilmuwan, politisi
dan sejarawan Belanda menafikan peran Islam pesantren yang dianggap tradisional
karena menentang penjajah. Karena itu Belanda membiarkan serangan kaum modernis
terhadap kehidupan pesantren, bahkan di sana-sini memberikan umpan, dengan
mengatakan Islam pesantren itu masih bercorak Hindu, anemis, sehingga menjadi sasaran
Islam puritan untuk melakukan Islamisasi pesantren.
Belanda sangat risau terhadap keberadaan
pesantren, bukan hanya karena selama ini dianggap sebagai basis perlawanan atas
pemerintah kolonial. Tetapi yang lebih mengerikan lagi pesantren mempunyai sistem
pendidikan sendiri yang bersifat kerohanian, yang tidak hanya merupakan warisan
tradisi islam, tetapi juga warisan tradisi nusantara pada umumnya, sehingga
watak lokal dari Islam ini sangat kental, padahal Belanda mau
meng-universal-kan kebudayaan sesuai dengan selera Eropa. Sementara pesantren
menolak seluruh tradisi Eropa sejak dari cara berbakaian, bahasa dan sistem
pendidikannya yang sekuler.
Bisa dilihat dalam buku yang ada, pada
umumnya ditulis orang Barat, peran kiai atau pesantren dalam revolusi tidak
penah ada. Belanda memang alergi terhadap pesantren, karena mengalami trauma
perang Diponegoro, yang berbasis di pesantren. Maka pesantren harus dieliminir
dengan membangun pendidikan Barat untuk membelokkan ajaran Islam.
Dengan demikian Islam bisa diatur dan
dijinakkan. Pesantren sulit dijinakkan, karena punya paradigma sendiri, karena
itulah dibenci para politisi dan peneliti atau ilmuwan Barat pada umumnya.
Anehnya kebencian dan serangan itu sering dibungkus dengan kedok akademis,
obyektif, padahal pemikirannya sangat subyektif, ditentukan selera dan
kepentingan pemerintah kolonial. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar