Pemanfaatan Kotoran Hewan
Oleh: M. Masyhuri Mochtar
Dalam madzhab Syafi’i, semua kotoran hewan
baik yang boleh dimakan dagingnya atau tidak adalah najis hukumnya. Akan
tetapi, perkembangan zaman telah menorehkan beberapa temuan menarik dengan
ditemukannya beberapa manfaat terkait dengan kotoran hewan. Misalnya, sebagai
bahan bakar setelah melalui proses pengolahan atau yang kita kenal biogas. Ada
pula kotoran hewan dijadikan sebagai pupuk. Lantas bagaimana fikih menyikapi
perkembangan tersebut?
Setidaknya ada dua bahasan utama dalam pemanfaatan kotoran hewan. Pertama, at-tanawul atau mengonsumsi yang meliputi makan, minum dan melumuri (taddammukh). Untuk hal ini, penggunaan kotoran hewan sebagai konsumsi dihukumi haram kecuali dalam keadaan darurat atau yang mendekati darurat. Dalil yang biasa digunakan oleh fuqaha’ adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya ,“(Nabi memerintahkan) mereka untuk meminum dari kencing onta dan susu onta” (HR.Bukhari). anjuran Nabi tersebut dalam konteks pengobatan karena pada saat itu para sahabat sedang sakit perut.
Kedua, al-Intifa’ atau pemanfaatan kotoran hewan. Untuk hal ini, ada enam model pemanfaatan kotoran hewan yang banyak disinggung dalam kitab-kitab fikih.
Pertama, kotoran hewan digunakan sebagai
pupuk tanaman atau yang disebut dengan pupuk kandang. Pupuk kandang biasanya
dibuat dari kotoran ayam, sapi dan kambing. Dalam hal ini hukumnya adalah
boleh. Hanya saja, penggunaan kotoran sebagai pupuk ini ada yang mengatakan
makruh, berikut memakan buahnya.
Kedua, digunakan untuk menyamak kulit hewan,
baik yang sudah menjadi bangkai atau tidak; selain kulit anjing dan babi.
Penggunaan semacam ini hukumnya juga diperbolehkan, karena proses penyamakan
kulit termasuk peralihan rupa (Ihâlah) bukan penghilangan najis (Izâlah)
sehingga setelah proses penyamakan, kulit dalam keadaan mutanajjis (terkena
najis) yang masih diharuskan untuk disucikan.
Ketiga, kotoran hewan digunakan sebagai
campuran batu-bata atau grabah,seperti gentong dan kendi. Dalam hal ini, ulama
berbeda pendapat menanggapinya, terkait dengan kesucian grabah dan air yang ada
didalamnya. Menurut Imam al-Qulyubi batu bata atau gerabah tersebut dihukumi
sehingga diperbolehkan untuk diperjualbelikandan dijadikan bahan bangunan.
Termasuk juga, air yang ada didalamnya dihukumi suci. Berkaitan dengan ini,
dasar pemikiran al-Qulyubi adalah sebuah kaidah umum bahwa kesulitan dapat
menarik pada kemudahan (al-Masyaqqah Tajlibut-Taisir). Pendapat al-Qulyubi ini
diikuti oleh Imam az-Ziyadi. Pendapat ini, berbeda dengan imam Abu ath-Thayyib
dan Ibnul-Imad.
Keempat, kotoran hewan digunakan sebagai
bahan bakar, seperti memanggang roti dan sate atau memasak dengan kuali,
makanan dari hasil pembakaran ini dihukumi suci dan boleh memakannya. Hanya
saja, ada perbedaan mengenai najis yang melekat pada makanan. Pendapat yang
kuat, tidak wajib membuangnya Karena dihukumi ma’fu. Lantas bagaimana dengan
hukum asap yang muncul dari najis? Memang, asap (Dukhan) hasil pembakaran benda
najis adalah najis dan bisa menajiskan jika mengena pada pakaian yang basah.
Akan tetapi, jika menurut pandangan umum masyarakat dianggap sedikit maka
hukumnya juga ma’fu.
Kelima, kotoran hewan yang dijadikan sebagai
makanan ternak, seperti ayam dan lele, hukumnya juga boleh dan hewan pemakannya
dihukumi suci dan halal dimakan, walaupun makruh. Dalam hal ini, tidak bisa
dibenturkan dengan kaidah Aghlabiyah berupa, “ Idza Ijtama’a al-Halal wa
al-Haram Ghuliba al-Haram” yang artinya, Jika halal dan haram bertemu maka
haram yang dimenangakan. Sebab, kasus hewan pemakan benda najis ini termasuk pengecualian
dari kaidah tersebut.
Keenam, kotoran hewan digunakan sebagai bahan
bakar melalui uap nyang ditimbulkan atau dalam bahasa modern disebut Bio Gas.
Bio Gas atau uap tersebut biasanya dihasilkan melalui penimbunan kotoran hewan
dalam septic tank. Gas yang dihasilkan kemudian disimpan dalam sebuah tabung
gas yang dapat dialirkan ke kompor gas dan bisa dijadikan untuk memasak dan
memanggang. Lantas, bagaimana penggunaan Bio Gas tersebut.
Dalam bahasa fikih, uap tersebut disebut
Bukhar. Bukhar berbeda dengan dukhan yang timbul akibat pembakaran. Dalam segi
hukum fikih, keduanya berbeda: Bukhar hukumnya suci, sedang Dukhan hukumnya
najis. Dari itu, pemanfaatan Bukhar (Bio Gas) sama dengan benda suci yang lain
sehingga jika dibuat memasak makanannya dihukum suci dan boleh memakannya.
Selain pembahasan diatas, penting pula
disinggung disini mengenai hukum penjualan kotoran hewan. Kotoran hewan jelas
dihukumi najis, sehingga tidak sah untuk diperjualbelikan. “Adapun apa yang
merupakan najis ‘aini (najis secara dzatnya) seperti khamr, bangkai, darah, dan
kotoran-kotoran serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari hal-hal
ini,” kata al-Mawardi dalam Hâwi al-Kabir-nya.
Dalam madzhab Syafi’i, benda najis, termasuk kotoran hewan dihukumi tidak sah diperjual-belikan. Dasar yang biasa digunakan adalah sabda Nabi yang artinya, “Sesunguhnya Allah mengharamkan menjual Khamr, bangkai, babi dan patung.” (R.Muttafaq ‘alaihi).
Dalam madzhab Syafi’i, benda najis, termasuk kotoran hewan dihukumi tidak sah diperjual-belikan. Dasar yang biasa digunakan adalah sabda Nabi yang artinya, “Sesunguhnya Allah mengharamkan menjual Khamr, bangkai, babi dan patung.” (R.Muttafaq ‘alaihi).
Lantas bagaimana solusinya agar kotoran hewan
bisa dimanfaatkan dan terhindar dari akad jual-beli? Tawaransementara dari
sebagian ulama adalah dengan akad Ijarah terhadap pemilik hewan dan upah yang
diberikan adalah upah pengumpulan kotoran hewan, buka sebagai timbal balik
kotorannya. Dengan demikian, peternak sebagai tenaga jasa (ajîr), sedang petani
sebagai pengguna jasa (mu’jir). Dengan demikian, kotoran hewan tidak bisa
dijualtapi hanya pindah kepemilikan (naql al-yad). []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
assalamualaikum ustad,salam dari Malaysia,Menarik perkongsian di blog ini..jazakallah khair
BalasHapus