Kamis, 27 Juni 2013

(Ngaji of the Day) Pemanfaatan Kotoran Hewan


Pemanfaatan Kotoran Hewan

Oleh: M. Masyhuri Mochtar

 

Dalam madzhab Syafi’i, semua kotoran hewan baik yang boleh dimakan dagingnya atau tidak adalah najis hukumnya. Akan tetapi, perkembangan zaman telah menorehkan beberapa temuan menarik dengan ditemukannya beberapa manfaat terkait dengan kotoran hewan. Misalnya, sebagai bahan bakar setelah melalui proses pengolahan atau yang kita kenal biogas. Ada pula kotoran hewan dijadikan sebagai pupuk. Lantas bagaimana fikih menyikapi perkembangan tersebut?


Setidaknya ada dua bahasan utama dalam pemanfaatan kotoran hewan. Pertama, at-tanawul atau mengonsumsi yang meliputi makan, minum dan melumuri (taddammukh). Untuk hal ini, penggunaan kotoran hewan sebagai konsumsi dihukumi haram kecuali dalam keadaan darurat atau yang mendekati darurat. Dalil yang biasa digunakan oleh fuqaha’ adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya ,“(Nabi memerintahkan) mereka untuk meminum dari kencing onta dan susu onta” (HR.Bukhari). anjuran Nabi tersebut dalam konteks pengobatan karena pada saat itu para sahabat sedang sakit perut.


Kedua, al-Intifa’ atau pemanfaatan kotoran hewan. Untuk hal ini, ada enam model pemanfaatan kotoran hewan yang banyak disinggung dalam kitab-kitab fikih.

 

Pertama, kotoran hewan digunakan sebagai pupuk tanaman atau yang disebut dengan pupuk kandang. Pupuk kandang biasanya dibuat dari kotoran ayam, sapi dan kambing. Dalam hal ini hukumnya adalah boleh. Hanya saja, penggunaan kotoran sebagai pupuk ini ada yang mengatakan makruh, berikut memakan buahnya.

 

Kedua, digunakan untuk menyamak kulit hewan, baik yang sudah menjadi bangkai atau tidak; selain kulit anjing dan babi. Penggunaan semacam ini hukumnya juga diperbolehkan, karena proses penyamakan kulit termasuk peralihan rupa (Ihâlah) bukan penghilangan najis (Izâlah) sehingga setelah proses penyamakan, kulit dalam keadaan mutanajjis (terkena najis) yang masih diharuskan untuk disucikan.

 

Ketiga, kotoran hewan digunakan sebagai campuran batu-bata atau grabah,seperti gentong dan kendi. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat menanggapinya, terkait dengan kesucian grabah dan air yang ada didalamnya. Menurut Imam al-Qulyubi batu bata atau gerabah tersebut dihukumi sehingga diperbolehkan untuk diperjualbelikandan dijadikan bahan bangunan. Termasuk juga, air yang ada didalamnya dihukumi suci. Berkaitan dengan ini, dasar pemikiran al-Qulyubi adalah sebuah kaidah umum bahwa kesulitan dapat menarik pada kemudahan (al-Masyaqqah Tajlibut-Taisir). Pendapat al-Qulyubi ini diikuti oleh Imam az-Ziyadi. Pendapat ini, berbeda dengan imam Abu ath-Thayyib dan Ibnul-Imad.

 

Keempat, kotoran hewan digunakan sebagai bahan bakar, seperti memanggang roti dan sate atau memasak dengan kuali, makanan dari hasil pembakaran ini dihukumi suci dan boleh memakannya. Hanya saja, ada perbedaan mengenai najis yang melekat pada makanan. Pendapat yang kuat, tidak wajib membuangnya Karena dihukumi ma’fu. Lantas bagaimana dengan hukum asap yang muncul dari najis? Memang, asap (Dukhan) hasil pembakaran benda najis adalah najis dan bisa menajiskan jika mengena pada pakaian yang basah. Akan tetapi, jika menurut pandangan umum masyarakat dianggap sedikit maka hukumnya juga ma’fu.

 

Kelima, kotoran hewan yang dijadikan sebagai makanan ternak, seperti ayam dan lele, hukumnya juga boleh dan hewan pemakannya dihukumi suci dan halal dimakan, walaupun makruh. Dalam hal ini, tidak bisa dibenturkan dengan kaidah Aghlabiyah berupa, “ Idza Ijtama’a al-Halal wa al-Haram Ghuliba al-Haram” yang artinya, Jika halal dan haram bertemu maka haram yang dimenangakan. Sebab, kasus hewan pemakan benda najis ini termasuk pengecualian dari kaidah tersebut.

 

Keenam, kotoran hewan digunakan sebagai bahan bakar melalui uap nyang ditimbulkan atau dalam bahasa modern disebut Bio Gas. Bio Gas atau uap tersebut biasanya dihasilkan melalui penimbunan kotoran hewan dalam septic tank. Gas yang dihasilkan kemudian disimpan dalam sebuah tabung gas yang dapat dialirkan ke kompor gas dan bisa dijadikan untuk memasak dan memanggang. Lantas, bagaimana penggunaan Bio Gas tersebut.

 

Dalam bahasa fikih, uap tersebut disebut Bukhar. Bukhar berbeda dengan dukhan yang timbul akibat pembakaran. Dalam segi hukum fikih, keduanya berbeda: Bukhar hukumnya suci, sedang Dukhan hukumnya najis. Dari itu, pemanfaatan Bukhar (Bio Gas) sama dengan benda suci yang lain sehingga jika dibuat memasak makanannya dihukum suci dan boleh memakannya.

 

Selain pembahasan diatas, penting pula disinggung disini mengenai hukum penjualan kotoran hewan. Kotoran hewan jelas dihukumi najis, sehingga tidak sah untuk diperjualbelikan. “Adapun apa yang merupakan najis ‘aini (najis secara dzatnya) seperti khamr, bangkai, darah, dan kotoran-kotoran serta kencing maka tidak boleh menjual sesuatupun dari hal-hal ini,” kata al-Mawardi dalam Hâwi al-Kabir-nya.
Dalam madzhab Syafi’i, benda najis, termasuk kotoran hewan dihukumi tidak sah diperjual-belikan. Dasar yang biasa digunakan adalah sabda Nabi yang artinya, “Sesunguhnya Allah mengharamkan menjual Khamr, bangkai, babi dan patung.” (R.Muttafaq ‘alaihi).

 

Lantas bagaimana solusinya agar kotoran hewan bisa dimanfaatkan dan terhindar dari akad jual-beli? Tawaransementara dari sebagian ulama adalah dengan akad Ijarah terhadap pemilik hewan dan upah yang diberikan adalah upah pengumpulan kotoran hewan, buka sebagai timbal balik kotorannya. Dengan demikian, peternak sebagai tenaga jasa (ajîr), sedang petani sebagai pengguna jasa (mu’jir). Dengan demikian, kotoran hewan tidak bisa dijualtapi hanya pindah kepemilikan (naql al-yad). []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

1 komentar:

  1. assalamualaikum ustad,salam dari Malaysia,Menarik perkongsian di blog ini..jazakallah khair

    BalasHapus