Guru sebagai Pengajar, Fasilitator, dan Orang Tua
Oleh:
Yusuf Suharto*
Pendidikan adalah aktivitas
yang terjadi sepanjang hayat manusia. Setiap orang mengalami proses
pembelajaran ini. Pada mulanya ia menjadi pembelajar, berikutnya ia menjadi
pengajar atau pendidik dalam konteks universal.
Pun dalam konteks universal, setiap orang adalah pembelajar, yang siap menerima ilmu atau pengalaman orang lain. Imam Ali, sebagaimana dikutip dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim menyatakan, “saya adalah hamba dari seorang yang mengajariku walaupun satu huruf”.
Dalam konteks pendidikan saat
ini, yang disebut pendidik ini dikenal dengan sebutan guru atau dosen. Jenjang
pendidikan ini dimuali dari Play Group (kelas bermain), TK (Taman kanak-kanak),
SD (Sekolah dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) , dan SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas), dan perguruan tinggi.
Paradigma yang lama percaya
bahwa guru itu tugasnya mengajar, dalam pengertian mengajari siswa sebagai
objek belajar yang tidak tahu apa-apa atau minim pengetahuan dan pengalaman.
Belajar dengan demikian sekedar atau lebih menekankan pada transfer of
knowledge saja. Atau dapat disebut belajar itu adalah hanya menekankan
aspek kognitif siswa belaka, tanpa mengembangkan afeksi dan psikomotornya.
Sebenarnya paradigm lama ini
beralasan juga, jika kita melihat bahwa zaman dahulu itu, fasilitas serba
terbatas, apa-apa susah, pendek kata perangkat belajar itu minim. Sehingga
adalah pilihan yang paling memungkinkan ketika guru itu memakai metode ceramah
belaka dan murid mencatat.
Namun pada masa kini, ketika
sumber belajar itu beragam, ketika buku itu bukan satu- satunya sumber belajar.
Ketika teknologi dan informasi sedemikian berkembang, ada internet, melimpahnya
perpustakaan, fasilitas dan sebagainya, maka memakai paradigm yang lama adalah
masalah yang besar.
Dus, menjadi pendidik saat ini
adalah sinergi yang kokoh antara menjadi guru dalam pengertian mengajari,
fasilitator dalam pengertian menyediakan diri untuk berbagi bersama dalam
curahan ilmu, dan sekaligus menjadi orang tua yang senantiasa membimbing dan
mengarahkan para siswa- siswi. Berikut penjabaran fungsi kependidikan ini
secara lebih detail.
Menjadi Guru yang Baik
Pameo Jawa, guru itu digugu lan
ditiru yang maknanya adalah guru itu dipercaya dan dibuat percontohan adalah
bukti yang kuat bahwa transfer of knowledge yang dilakukan itu harus
bersumber pada nilai bahwa guru itu dalam asalnya harus dapat menjadi teladan
sejati para siswa. Jadi menjadi semata- mata guru yang sekedar mengajar, tentu
saja tidak cukup. Bukankah ada kalimat yang.berbunyi,”jangan kau menggurui”,
kalimat ini cenderung memiliki makna yang negatif. Menggurui itu bermakna
mengajari semata, bersikap dan bertindak seolah- olah menjadi seorang guru yang
hanya mengajari saja, dan mungkin menganggap yang diajak berkomunikasi tidak
mempunyai kec akapan pengetahuan.
Menjadi guru yang baik dengan
demikian bermakna bahwa bagaimanapun ia adalah sosok yang mengajari, maka
kemudian diistilahkan sebagai guru, namun harus ada ajeksi-ajeksi lain yang
menyertainya.
Jadi menjadi guru haruslah
menggambarkan totalitas kompetensi yang di dalamya ada fungsi kepengasuhan atau
sebagai layaknya orang tua, dan di dalamnya ada fungsi pendampingan, penyertaan
dan keterhubungan satu dengan lainnya yang disebut sebagai fasilitator.
Fasilitator
Fasilitator adalah istilah Inggris
yang telah di Indonesia kan. Ia bermakan bahwa guru juga harus berfungsi
sebagai pemberi fasilitas atau melakukan fasilitasi. Guru menjadi penjembatan
yang baik di depan para siswanya. Dalam fungsinya ini guru lebih banyak
melakukan sharing belajar, atau bisa disebut belajar bersama. Ketika guru
menyampaikan kompetensi dasar sebuah mata pelajaran, ia tidak akan
mengeksplorasi pelajaran itu, ia hanya memancing pengetahuan yang ia yakin
telah diketahui oleh para siswanya. Kumpulan- kumpulan pengetahuan itu ketika
dicakupkan akan menjadi sistematika pengetahuan yang luar biasa.
Dalam hal ini murid tidak
dipandang sebagai semata objek pembelajaran, tetapi ia adalah subjek
pembelajaran itu sendiri, dan bahkan guru harus siap terbuka untuk mengalami
pembelajaran bersama.
Orang Tua
Orang tua adalah fungsi
pembelajaran yang bermakna bahwa guru harus dapat berfungsi sebagai orang tua
yang baik dan bijaksana. Guru tidak hanya bertanggung jawab menuntaskan standar
minimal penilaian suatu kompetensi dasar atau bahkan keseluruhan materi bahan
pembelajaran. Tetapi ia harus ikut mendampingi aspek sikap dan perubahan
perilaku yang diharapkan dari peserta didik.
Fungsi sebagai orang tua ini
dilandasi bahwa secara nyata usia guru tentu di atas para siswa, sehingga
diharapkan ia dapat menanamkan nilai-nilai kebaikan pada para peserta didik,
dapat melindungi kepentingan bersama, memberi teladan dan memotivasi para siswa
untuk berbuat sesuatu yang positif.
Sinergi Tiga Fungsi
Ketiga fungsi ini ketika
bersinergi, maka akan terlihat bahwa pendidikan itu tidak sesempit yang
dibayangkan sementara orang, bahwa pendidikan itu hanya berfungsi sebagai
pengajaran semata. Namun, sebenarnya pendidikan itu bertujuan membebaskan dan
bersifat setara.
Bukankah lebih baik ketika para
siswa itu telah lulus, ia bahkan lebih pintar, lebih kompeten dari gurunya
sendiri dan dengan demikian sang guru merasa berhasil mendidik mereka?
Adalah kekerdilan ketika guru
menutupi pengetahuan, atau pura- pura tahu, walau sebenarnya tidak tahu.
Sejatinya, guru yang merdeka adalah ketika muridnya dimerdekakan dari belenggu-
belenggu rutinitas yang membosankan.
Menghafal materi penting
keagamaan tentu saja bukanlah hal cela, bahkan ia adalah kompetensi yang
dianjurkan oleh agama. Tetapi hendaknya guru dapat lebih memilih variasi
metode. Dalam hal ini teori kontrukstivis dapat diterapkan di samping teori
belajar sosio kultural.
Teori konstruktivis
mengandaikan bahwa siswa belajar dari bangunan-bangunan pengalaman hidupnya
yang kemudian dimatangkan dalam pembelajaran bersama. Dengan demikian, adalah
tugas guru bersama para siswa untuk mengkonstruk pemahaman bersama, sehingga
suatu pembelajaran dapat dicapai.
Teori sosio kultural
mengandaikan bahwa siswa hadir dalam pembelajaran yang tidak kosong realitas.
Setiap individu pembelajar telah memiliki pengalaman- pengalaman unik dalam
pergulatan sosial kulturalnya. Ketika ia melihat ada banyak ketimpangan sosial yang
terjadi di sekelilingnya, maka ia diharapkan dengan pembelajaran yang terkait
itu agar dapat menyelesaikan realitas sosial yang timpang di hadapannya.
Nah, pola pembelajaran sinergis
yang mendayagunakan fungsi kepengasuhan dan pendampingan ini adalah pola yang
memungkinkan peran-peran pembelajaran yang kritis dan transformative dapat
diaplikasikan.
Murid dengan demikian tidak
belajar dalam kerangka teoritis belaka. Tetapi ia belajar aplikatif. Terkait
dengan pembelajaran yang aplikatif ini penulis teringat ketika salah seorang
siswa penulisyang baru saja studi banding di beberapa sekolah yang ada di
Singapura beberapa waktu yang lalu, menyatakan dengan terus terus pada penulis
bahwa pembelajaran yang di hadapinya lebih banyak teoritisdari pada aplikatif.
Ia kemudian membandingkan pembelajaran yang diterapkan Singapura, yang
menurutnya pembelajaran di sana lebih aplikatif, menyentuh persoalan- persoalan
yang nyata.
Dalam kesempatan lain dia juga
menyatakan bahwa pembelajaran banyak guru itu tidak dihubungkan dengan
pengembangan karakter, dan dalam konteks keagamaan, tidak atau belum menyentuh
kesadaran iman para murid.
Guru katanya, lebih sibuk
menyelesaikan ketuntasan kompetensi dasar secara teoritis,namun abai dalam
pembinaan karakter dan peneguhan keimanan. Sehingga hal ini menyebabkan
kegersangan spiritualitas para siswa. Ketika mereka belajar materi Pendidikan
Agama, maka yang didapatkan adalah ulasan- ulasan dan doktrin agama semata,
tetapi belum berhasil menyentuh qalbu para siswa.
Saya terpana oleh
keterusterangan dan keberanian semacam ini , sesuatu yang tidak dapat saya
bayangkan terjadi pada tahun 90- an lalu, ketika saya masih menjadi siswa SMP.
Keberanian dan kejujuran,dan yang lebih penting kritik ini, menurut penulis
tidak mungkin atau sulit terjadi ketika suasana pembelajaran diformat secara
kaku. Ketika relasi guru dan murid sebatas hubungan antara pemberi pengetahuan
dan murid sebagai objek yang diberi pengetahuan.
Sepanjang ini saya memang
berusaha mengkombinasikan antara tiga fungsi kependidikan itu, sebagai guru
yang sekaligus sebagai fasilitator (bahkan dalam makna sebagai teman), dan
sebagai orang tua.
Saya kira dengan hadirnya era
keterbukaan dan demokratis saat ini, sinergi tiga hal tersebut adalah niscaya.
Sebagai teman belajar (fasilitator), saya kadang atau bahkan kerap disuguhi
pengetahuan yang belum saya ketahui. Kadang pula ketika saya menyebutkan
sesuatu, mereka dapat mengoreksi ketika ternyata apa yang saya sampaikan adalah
hanya satu variasi pendapat, dan mereka menyajikan pendapat lain yang dalam
kerangka teoritis sedang sedang diuji oleh masa,yang mana di antara berbagai
variasi itu yang benar atau yang mana yang paling dirasa benar.
Nah, semangat menerima
perbedaan, dan kemudian mengakuinya sebagai realitas adalah hal penting juga
harus terus ditanamkan pada para siswa.
Jika dahulu kita merasa efektif
untuk menyeragamkan segala hal atas nama ketertiban, kesatuan, yang dalam hal
ini sikap ini membuat kita tidak siap menerima perbedaan yang diyakini orang
lain.Lihatlah, ketika atas nama mayoritas segelintir anak bangsa kita nistakan
dan kita beri perlakuan kekerasan, seperti kasus teror dan pembungkaman politik
zaman orde baru, dengan menculik para aktivis dan golongan yang berbeda.
Bukankah itu menyalahi prinsip
kebhinekaan kita,”Bhineka Tunggal IKA (berbeda- beda tetapi tetap satu jua),
dan dengan sendirinya itu mengingkari pasal Pancasila,’ Persatuan Indonesia’
dan ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan’.
Adalah tuntutan zaman, dan
sebuah kebenaran yang sesuai dengan jiwa Pancasila kita bersama, bahwa
keberagaman ini adalah keniscayaan sejarah dan kenyataan kekinian dari
masyarakat Indonesia. Oorang banyak menyebut paham ini sebagai pluralisme,
sebagaimana dicontohkan oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden
RI).
Atas pandanganya yang
menghargai keberbedaan dan melindungi kaum minoritas ini beliau disemati gelar
Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme. Lihatlah, dua istilah itu yang terkait dengan
pembahasan kita ini. Guru bangsa maknanya adalah orang yang mengajari rakyat
bangsa ini untuk menjadi rakyat yang baik dalam menjaga kesatuan bangsanya. Dan
Bapak Pluralisme, sebagaimana dinyatakan Presiden RI, Susilo B. Yudhoyono, juga
banyak rakyat Indonesia, antara lain oleh Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif.
Istilah ‘Bapak’ di sini adalah peran atau fungsi ‘orang tua’ yang mengajari dan
membimbing masyarakat untuk menghargai keberbedaan atau pluralitas.
Akhirnya , marilah kita bersama
sebagai guru mantap untuk memilih dan mengubah paradigm lama kita, dari yang
sekedar semangat mengajari menuju semangat mengajari, mendidik, menemani dan
mebimbing para peserta didik kita menjadi manusia yang beriman, amanah,unggul,
kritis, dan transformative untuk mengembalikan kejayaaan negeri ini seperti
dulu pada masa Majapahit dan era revolusi ketika semua unsur bangsa bahu
membahu mengusir penjajahan. Saat ini penjajahan itu adalah individualisme,
materialisme dan bentuk- bentuk neo imperialisme yang menggerogoti kebangsaan
dan nasionalisme kita.
*Sekretaris Persatuan Guru
Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar