Jalan Menuju Salat Khusuk
Oleh: Ahmad Dairobi
Entahlah apakah masih ada ulama yang lebih
piawai dalam mengurai salat khusuk dibanding dengan imam al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumiddin. Beliau memberikan ulasan yang begitu memukau, mendalam dan mengena
mulai dari kerangka dasar sampai pada tips-tips praktis untuk menggapai
kekhusukan dalam salat.
Salat yang kita lakukan ada dua unsur : unsur perkataan (bacaan) dan unsur perbuatan (gerakan) tujuan inti dalam doa-doa yang kita baca dalam salat adalah untuk munajat atau berdialog dengan allah Swt. Sedangkan tujuan inti dari salat adalah untuk menunjukkan pengagungan kita terhadap Allah Swt.
Bila pada saat salat seseorang tidak meresapi atau bahkan tidak sadar mengenai kalimat apa yang ia baca dan gerakan apa yang ia lakukan, maka salatnya nyaris tidak berarti apa-apa. Apa yang ia ucapkan dan ia lakukan mirip dengan perkataan atau perbuatan orang yang sedang mabuk atau mengigau.
Maka kata imam al-Ghazali, "kendatipun para ulama fikih menyatakan salatnya sah, sebetulnya itu adalah fatwa darurat, sebab bagaimanapun nilai salat terletak pada kekhusukannya". kita berharap status orang yang lupa dalam seluruh salatnya tidak sama dengan status orang yang meninggalkannya sama sekali,” demikian kata imam al-Ghazali.
Dalam pandangan imam al-Ghazali, kekhusukan dalam salat itu ada enam tingkat.
Pertama: tingkat kesadaran hati (hudurul-qalbi). Maksudnya, pikiran dan hati sadar dengan apa yang sedang diucapkan dan sedang dilakukan; pikiran dan hati tidak disibukkan dengan hal-hal yang lain.
Kedua: tafahhum, atau merasapi arti dari apa yang ia baca. Maksudnya, ia tidak hanya sadar dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya, tapi juga memahami apa artinya.
Ketiga: takzim, maksudnya selain sadar dan mengerti, ucapan dan gerakan yang ia lakukan itu didasari oleh rasa takzim kepada Allah. Ketika berbicara dengan bawahan, seseorang sadar dan mengerti dengan apa yang ia katakan, ia mengucapkan bukan didorong oleh rasa takzim. Bermunajat kepada Allah tentu tidak sama dengan berbicara dengan bawahannya.
Keempat: haibah atau rasa takut yang timbul dari rasa takzim. Orang yang takut kepada ular tidak bisa disebut haibah karena tidak timbul dari rasa hormat; sedangkan orang yang takut kepada guru atau raja bisa disebut haibah karna timbul dari rasa hormat, apalagi jika takut kepada Allah.
Kelima: raja’ atau harapan. Maksudnya, selain didorong oleh perasaan takzim dan rasa haibah, ia juga memiliki harapan untuk mendapat pahala dari Allah.
Keenam: haya’ atau malu, maksudnya perasaan-perasaan diatas masih ditambah dengan perasaan malu terhadap Allah karena hatinya dikuasai oleh perasaan lalai dan berdosa.
Menurut imam al-Ghazali, satu-satunya hal
yang menyebabkan tidak khusuk adalah apa yang melintas atau menghuni pikiran
kita. Maka untuk bisa khusuk, lintasan pikiran itu mesti dienyahkan. Kecintaan
seseorang pada hal-hal yang bersifat duniawi juga berperan dalam khusuk
tidaknya seseorang.
Oleh karna itu, sebaiknya seseorang mesti
belajar untuk lebih fokus pada Allah Swt. sebagai tuhan yang ia munajati pada
saat salat, maka ia pun tidak akan sadar siapa yang ada di kanan kirinya, atau
bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, ia tidak tahu meskipun masjid yang
ditempati roboh sebagaimana yang terjadi pada ulama-ulama salaf semacam
Abdullah bin Azzubair dan muslim bin Yasar. Betapa nikmatnya salat bagi mereka
yang bisa menikmatinya. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar